Share

Mencari Akar Permasalahan

Zora memandang Daya yang menggelengkan kepalanya dan memberikan ekspresi serta gerak bibir mengisyaratkan bahwa dia tidak ingin pergi. Matanya membesar, bingung dengan kemauan kakaknya itu. Daya memilih membiarkan Tante Azmi mengetahui mereka berdua di tangga. Zora yang sudah berdiri tidak menyetujui dan menarik lengan Daya supaya berdiri. Namun terlambat, Tante Azmi sudah menginjakkan kakinya di anak tangga setelah belokan.

Menyadari mereka berdua sedang beradu argumen dalam bahasa isyarat, Tante Azmi tersenyum namun tetap naik dengan tenang dan tidak mengeluarkan sepatah katapun hingga anak tangga terakhir. Daya dan Zora yang bersiap menyapa mengurungkan niatnya melihat tante Azmi memberikan isyarat untuk diam dengan menaruh jari telunjuknya melintang vertikal pada bibirnya.

Melewati Daya dan Zora, Tante Azmi menarik pelan tangan kedua keponakannya tersebut, mengajak mereka untuk mengikuti Tante Azmi. Tante Azmi memandang mereka berdua dan menunjuk ruang baca. Daya dan Zora mengangguk pertanda memahami maksud Tante Azmi.

Di depan ruang baca, Zora membuka pintu ruangan yang terbuat dari kaca berbingkai itu. Suasana ruangan tersebut teraasa hangat. Ruangan bernuansa warna coklat tua tersebut dikelilingi oleh rak buku berwarna senada, berbeda tipis dengan warna bernuansa kayu yang mengkilat. Jendela besar pada salah satu sisinya menyuguhkan pemandangan taman belakang rumah yang bersinar terang dipenuhi lampu-lampu taman berwarna kuning cerah.

Tante Azmi mengajak kedua keponakannya duduk di sofa besar bersarung kulit warna coklat tua yang ada di ruangan baca tersebut. Zora memilih duduk di bagian kursi santai, sedangkan Daya duduk pada sofa panjang tepat sebelah Tante Azmi.

“Jadi apa kabar kalian berdua? Tante rasa tidak begitu baik, kalian mendengarkan pembicaraan tante dengan papa kalian?” Tante Azmi memulai pembicaraan. Raut wajahnya lurus, tanpa reaksi marah atau menegur.

“Maaf ya tante, kami tidak sengaja, tadi kami hendak turun untuk menyapa tante...” belum selesai kata-kata Daya, Zora melanjutkan.

“Iya tante, kami tidak bermasuk menguping pembicaraan, kami hanya mendengar tante sedang berbicara serius dengan papa dan merasa segan untuk bergabung, sehingga memutuskan menunggu”, sambung Zora dengan nada suara membela diri.

Tante Azmi hanya tersenyum mendengarkan kedua keponakannya tersebut berlomba-lomba berbicara, “Baiklah, tapi selama menunggu kalian mendengar pembicaraan tante dengan papa kan?”

“Sedikit banyaknya iya tante”, jawab Daya. Zora hanya mengangguk membenarkan kata-kata kakaknya. Kemudian, kedua kakak adik tersebut tertunduk, bagai telah melakukan kesalahan besar.

“Tante kesini juga karena udah kangen sama kalian. Tadinya mau kesini sekalian besok bersama si kembar Audrey dan Brielle”, Tate Azmi mencoba mencairkan suasana agar Daya dan Zora tidak terlalu tegang.

Mendengat nama si kembar lucu Audrey dan Brielle, mata Daya dan Zora kembali bersinar. Keduanya menanyakan kabar kedua sepupunya itu. Audrey dan Brielle adalah putri kembar Tante Azmi yang berusia tiga tahun. Tante Azmi menceritakan panjang dan lebar mengenai kepandaian baru Audrey dan Brielle. Si kembar cilik yang cantik itu sekarang sedang senang-senangnya bermain bersama kucing peliharaan mereka. Tate Azmi bercerita bahwa minggu lalu Tante Azmi dan Om Faiz telah menghadiahkan dua ekor kucing kecil yang lucu kepada mereka berdua. Sejenak perhatian Daya dan Zora teralihkan pada certa Tante Azmi mengenai sepupu kecilnya itu.

Ketika membicarakan mengenai pelajaran yang dipelajari si kembar di sekolah untuk anak berusia dini, Tante Azmi menanyakan perkembangan Zora di sekolah sebagai pendahuluan yang kemudian diakhiri dengan menayakan hasil ujian akhir Daya. Daya menyampaikan bahwa dirinya sedang menunggu pengumuman kelulusan.

“Tante memang sudah medengar dari papa kalian, tapi tante ingin mendengar langsung dari Daya”, Tante Azmi memulai pembicaraan dengan Daya. Zora merasa tidak enak mendengarkan omongan mereka berdua, ingin memberi ruang pada Daya agar bisa berbicara lebih leluasa pada Tante Azmi.

“Apa benar Daya tidak ingin menjadi dokter? Seperti papa dan mamamu? Seperti keluarga kita yang lainnya?” tante Azmi bertanya segera setelah Zora keluar dari ruang baca.

“Iya tante, Daya benar-benar tidak ingin. Daya ingin menjadi seorang pemusik, menjadi cellis”, Daya menatap Tante Azmi. Daya menceritakan mengenai hasil tes minat dan bakat yang dilakukannya di sekolah sebelumnya. Hasil tersebut juga menunjukkan bahwa Daya lebih berminat ke bidang seni pertunjukan dan seni rupa, selain dari musik, dan literatur. Namun papa Daya mengabaikan saja hasil dari tes tersebut. Papa berkata bahwa Daya memiliki kemampuan untuk mengikuti pendidikan dan menjadi seorang dokter. Tante Azmi mengangguk perlahan dan mendengarkan Daya dengan cermat.

“Lalu apakah Daya memang ingin melanjutkan di luar negeri?” Tate Azmi melanjutkan pertanyaan. Daya sebenarnya ingin bermain musik, apapun caranya. Namun Daya tentunya juga memiliki impian dan cita-cita, bukan hanya sekedar mengisi waktu luang. Selain itu, Daya yang menyukai cello dan musik klasik merasa akan memperoleh ilmu yang lebih baik apabila bisa menempuh pendidikan di bagian dunia yang menjadi asal dari asal musik itu sendiri.

“Lalu kalau tidak di luar negeri? Kalau papa dan mama ingin Daya tetap berada di rumah?” Tante Azmi mencoba mencari jawaban dari Daya.

“Permasalahannya di kota ini hanya tidak ada universitas yang menawarkan jurusan itu Tante, atau mungkin Daya bisa melanjutkan di institut seni di kota lain?” Wajah Daya tampak memelas. Tante Azmi melihat kesungguhan Daya yang ingin mengikuti mimpi-mimpi dan mengejar cita-citanya. Tante Azmi mengangguk-angguk pelan, memberi tanda bahwa dia bisa memahami perasaan Daya.

“Lalu bagaimana yang Daya rasakan mengenai diri Daya?” sebenarnya ini pokok yang lebih besar, yang menjadi inti utama dari dipanggilnya Tante Azmi oleh papa dan mama Daya. Daya menarik nafas panjang, lagi-lagi memejamkan matanya pelan. Seraya berharap dan berdoa semoga penjelasannya bisa diterima Tante Azmi.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status