Share

Jean atau Joana?

Lebih dari 15 tahun yang lalu. Saat itu adalah malam hari terakhir di bulan Agustus, sekaligus menjadi malam hari terakhir libur musim panas. Ini adalah tahun pertamanya di Perancis. Azmi membayangkan kembali ke perkualiahan membuatnya tegang. Sungguh kebebasan itu sebenarnya adalah tanggung jawab yang lebih besar, dan tanggung jawab itu sendiri berarti beban yang sangat berat.

Dalam hati Azmi mengutuki dirinya sendiri. Bisa-bisanya dia berani mengambil keputusan untuk melanjutnya pendidikan kedokteran di Perancis. Nilai pas-pasannya saat lulus sekolah menengah atas di Indonesia pun sungguh diragukan akan mampu berhasil dengan mulus memasuki jurusan kedokteran pada perguruan tinggi negeri di negara sendiri. Namun berkat kelimpahan materi yang dimiliki keluarganya, papa Azmi yang juga seorang dokter berhasil menemukan agensi yang mampu mengurus segalanya hingga Azmi akhirnya berhasil duduk manis di Sorbonne University.

Azmi sebenarnya sangat pintar, nilai IQ-nya bahkan di atas rata-rata. Hanya saja, hampir seluruh mata pelajaran yang diajarkan di sekolah tak mampu dinikmatinya. Di ruang kelas, pikiran Azmi melanglang buana entah kemana. Keinginan dan hobi melukisnya membuatnya menjadikan seluruh buku pelajaran dan buku sekolahnya sebagai media lukis.

Selepas ujian kelulusan sekolah menengah atas, Azmi memohon pada kedua orangtuanya untuk melanjutkan pada institut seni yang ada di Kota Yogyakarta. Kakak dari temannya yang berkuliah di perguruan tinggi bidang seni tersebut sudah banyak bercerita mengenai betapa menyenangkannya berkulian di jurusan seni. Betapa Azmi sungguh-sungguh sudah banyak berkhayal. Yogyakarta yang merupakan kota yang kental dengan aroma seni dan budaya sangat menarik perhatiannya.

“Tidak bisa, lebih baik kau tak usah kuliah. Bantu-bantu saja di dapur, bersama akak-akak yang kerja di dapur!” jawab papanya atas permohonan Azmi. Begitulah kerasnya papa Azmi, bungu, sulung, anak tengah pun diperlakukan samma. Rengekan si bungsu tak akan ada artinya bagi papa.

“Kau harus jadi dokter juga, titik, tak ada koma. Siapa lagi yang akan lanjutkan rumah sakit. Mana tau pelukis mau atur rumah sakit?” Papanya melanjutkan omelan. Azmi kesal, otaknya berputar mencari cara. Namun tampaknya semua sia-sia. Bujukan, rayuan, segala rupa dilancarkan pada papa. Tak ada hasil signifikan, papa tak bergeming.

“Kau mau ke Jogja, pergilah, masuk ke UGM, pilih kedokteran. Belajar yang rajin supaya diterima. Kau mau ke kota lain pun, pergilah, asal kau balik kemari jadi dokter. Mau ke ujung dunia pun kau, pergilah, kembali kesini jadi dokter, kau jalankan rumah sakit kita”, papa Azmi memang sungguh keras tiada duanya. Tapi sontak mendengar kalimat terakhir ini memberi Azmi ide yang cemerlang. Sekarang dia tahu apa yang harus dilakukan.

“Baiklah Pa, jangan marah-marah, Azmi masuk kedokteran, tapi tak mau disini. Mau di Eropa”, sekarang matanya berbinar. Tak ada rotan akarpun jadi. Tak bisa jadi pelukis sekarang, setidaknya kegemarannya berpetualan bisa terpuaskan.

Tapi bukan Azmi namanya, si bungsu yang banyak akal, kalau tidak tahu apa rencana selanjutnya. Dalam pikiran, juga berdasar informasi dari banyak teman di segala usia, Azmi menyusun langkah, sungguh panjang skenario yang sudah tercipta. Azmi berencana, masuk kuliah di Eropa, lalu pada tahun-tahun berikutnya, dia akan mencari pekerjaan part time, mengumpulkan uang, dan di tahun terakhir akan menyambung ke jurusan seni, dengan biaya sendiri dari hasil kerjanya. Dengan begitu, papa akan mendapatkan apa yan diinginkan, Azmi pu masih bisa bersuka ria.

Ujian masuk tidak begitu sulit bagi Azmi yang sedah mempersiapkan segalanya. Terlebih ujian masuk kuliah di Perancis tidak serupa di negeri sendiri. Azmi hanya perlu wawancara dan menyediakan berbagai dokumen sekolahnya, lengkap dengan hasil tes inteligensianya yang membanggakan. Motivasi yang besar dalam pikirannya membuatnya berhasil lulus tes bahasa dalam sekejap pula.

Kenyataannya, setelah masuk ke bangku kuliah, semua tak berlangsung sesuai rencana. Ujian masuk memang tertembus, tapi tugas belajar yang mengharuskannya aktif di kelas ditambah dengan beban belajar teori membuatnya kembali mengutuki diri malam itu. Bagaimana dia bisa punya waktu untuk bekerja part time, kalau jadwal kuliah ditambah tugas sungguh padat.

Beruntung dia mempunyai Jean, sahabat sekaligus temannya satu apartemen. Setidaknya, Jean sudah sangat membantu Azmi dalam mengerjakan tugas-tugas kuliahnya. Malam ini, Jean akan kembali ke apartemen mereka setelah mengunjungi orangtuanya. Kalau saja kedua orangtua Azmi tahu bahwa Jean sebenarnya bukan Joana, teman perempuan, seperti yang diceritakan Azmi, tentunya orangtuanya sudah mati berdiri.

Bagi Azmi jean sungguh berbeda. Tidak ada hubungan cinta sebagaimana pasangan laki-laki dan perempuan. Jean selalu diperlakukan Azmi sebagai perempuan, sesuai dengan gambaran dirinya sendiri yang ada di pikiran Jean. Azmi pun memberinya dan memanggilnya dengan nama Joana. Jean yang terlahir sebagai laki-laki tidak merasa sebagai laki-laki, melainkan dia merasakan bahwa dirinya adalah perempuan. Sebagai sahabat, Azmi menyayangi Jean dan mampu menerima apapun yang ada dalam pikirannya. Memahami perasaan dan rasa sakitnya, memahami kebingungannya.

Bel pintu apartemennya berbunyi. Azmi yang sedang duduk sendiri di balkon berlari menuju pintu. Hatinya setidaknya menjadi bahagia, setidaknya ada yang akan menemaninya mengutuk diri sendiri malam ini.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status