“Gak usah, Mas! Gak apa saya sendiri saja!” Aku memaksakan diri untuk bicara dengan halus, menolak keberadaan pria itu sekamar denganku. “Gak apa, Mbak Mina, bair ada yang jaga! Kan, enak kalau butuh apa-apa!” Bukan Mas Ragil yang menjawab pertanyaanku melainkan para ibu tukang gosip itu. Memangnya aku butuh apa? Di kasihani? Tidak! Aku Cuma butuh suami bucin yang mau aku nikahi! Ups! “Nggak apa, kok, Dek Mina! Saya nggak keberatan sama sekali!” kata Mas Ragil menanggapi ucapan ibu-ibu tadi. “Terima kasih Buibu!” akhirnya aku cuma bisa bilang begitu. Sebelum pergi, Bu RT, Teh Mela dan Teh Nena serta, Bu Kokom, melirik padaku dengan tatapan penuh selidik. Namun, sekali lagi aku tidak berdaya untuk menolak pria itu tetap berada di sisiku. “Dek, mau minum? Pasti haus, kan?” tanya Mas Ragil begitu para tetanggaku itu pergi. Aku mengangguk. “Kamu ini sebenarnya sudah sadar dari tadi malam, tapi dokter ngasih obat tidur biar bisa istirahat,” katanya, sambil meraih air mineral dalam
“Assalamualaikum, Mbak Mina! Loh, Mbak Mina kenapa?” Sudah kuduga akan seperti itu reaksi Ismaya. Ia tampak begitu terkejut karena tidak ada kabar apa pun tentang keadaanku padanya. Ah, mana ada bencana yang memberi berita sebelum kedatangannya.Mata Ismaya tampak berkaca-kaca, aku tidak menyangka kalau calon istri adikku itu, begitu sensitif perasaannya. Landu segera menceritakan apa yang dia alami barusan hingga mendapati aku yang terbaring di rumah sakit. Tak lupa ia mengatakan kejadian kecelakaan sesuai versi Mas Ragil.“Oh, jadi kepala Mbak Mina bocor?” tanyanya, mungkin kepalaku bisa disamakan dengan panci. Tiba-tiba ibu mendekat.“Lihat, nih! Kepala calon Mbak ipar kamu ini botak! Profesor juga bukan!” kata ibu seraya membuka jilbabku dan memperlihatkan perban yang begitu besar di sisi sebelah kiri kepalaku. Tentu saja aku terkejut melihat penampakan diriku di layar itu. Kepalaku botak sebelah! Ternyata sebegitu parahnya lukaku hingga sebagian rambut hilang karena di c
“Maaf, saya tidak tahu! Ada apa ya Mbak?” lagi-lagi Abid balik bertanya.“Nggak apa-apa, kayaknya saya salah orang!”“Sudah, sudah! Biar adikmu pulang, kamu ini malah tanya yang bukan-bukan!” Ibu berkata sambil melambaikan tangannya pada Linda dan Abid, isyarat untuk mengabaikanku.Mereka lantas berpamitan, tapi masih kurasakan tatapan Abid yang tajam ke arahku. “Mina, gimana sekarang kepalamu?” tanya bapak dengan wajah yang khawatir.“Alhamdulillah, Pak. Kepalaku masih nempel di leher!”“Hus! Kamu ini selalu saja kalau ngomong sama orang tua nggak pake otak!” kata ibuku sambil menepuk kakiku karena beliau duduk di ujung tempat tidur sedangkan bapak duduk di kursi sebelahku.Aku duduk bersandar di kepala brankar rumah sakit yang sudah di setel oleh Linda tadi, sebelum pergi. Melihat bapak dan ibu berada di dekatku, membuat hatiku bahagia. Namun, hal yang mengganjal adalah kebersamaan kami karena harus menungguku di rumah sakit. Kalau aku melihat bapak, beliau adalah laki-lak
“Siapa, ya?” tanyaku dari dalam kamar, pada orang yang menggangguku. Berhubung tidak ada jawaban, aku memaksakan diri ke luar dengan menyeret langkah malas.“Mbak Mina, ini saya!”Aku mendengar Teh Mela bicara tepat saat aku sudah berdiri di depan pintu dan bersiap untuk membukanya.“Ada apa, Teh?” Langsung saja aku bertanya, karena sedang tidak ingin basa nasi dengan siapa pun juga.“Alhamdulillah, Mbak Mina sudah pulang beneran, aku cuma mastiin aja, kok! Soalnya tadi kayak liat ada orang di kontrakan!”Cuma mastiin aja semuamu! Aku lagi pusing, tahu?“Lah, memangnya lagi pada ke mana?” tanyaku penasaran.“Acara tujuh bulanan anak Bu RT, mau punya cucu baru dia!”“Oh, pantas saja sepi kontrakannya, ya sudah, kalau gitu saya mau tidur lagi!” kataku, hendak menutup pintu. Namun, tiba-tiba aku teringat tentang baju yang pernah kupakai di rumah sakit. Ditambah soal nomor telepon nyasar di smartphoneku, dia tersangka utamanya. Jadi, aku memanggil Teh Mela lagi.“Teh, baju yang s
“Kamu tadi tanya apa?” katanya setelah motor berhenti di sisi jalan.Aku turun dan berdiri di sampingnya sedangkan dia masih duduk tenang di atas motor yang entah punya siapa. Aku tidak pernah melihat motor itu di kontrakan, tapi mungkin saja punya suami teh Mela. Dia sepertinya sudah biasa pakai barang punya pemilik kontrakannya. Aneh.“Siapa yang sudah bayar biaya rumah sakitku?” Mas Ragil tidak menjawab, dan tetap duduk tenang di atas motor dalam diam. Dia mendengarkan semua ocehanku tentang balas budi, berbuat baik dan sedekah, tanpa memotong kalimatku sedikit pun. Menurutku, semua perbuatan baik itu jelas ada kaitannya dengan apa yang aku tanyakan. Bukan hanya tentang balas budi sebenarnya, tetapi sebagai manusia dan punya hati nurani, setidak-tidaknya bisa berbuat hal yang sama, seperti orang yang sudah berbuat baik itu. “Coba pikir, nggak ada salahnya kan?”Itu pertanyaan terakhirku dan dia tetap saja tidak bicara, seolah dia menganggapku seorang pembicara dan dia adalah
“Mbak Mina, sudah siap?” kata Linda yang saat itu sudah siap dengan riasan pengantin dan gaunnya yang luar biasa.“Eh, iya, sudah!” Aku menjawabnya gugup, aku takjub sekaligus cemburu dengan pakaian pengantin itu, tapi dia adikku yang cantik. Jadi wajar kalau ada pria seperti Abid mencintainya. Aku baru tahu kalau ia adalah direktur di perusahaan keluarganya, yang ternama.Aku harus kuat, kan? Siapa sih, yang tidak mau dinikahi laki-laki mapan, kaya dan tampan seperti dia?“Maasyaallah, cantik sekali kamu, Lin?” aku berkata spontan sambil memeluknya.“Ah, Mbak Mina juga cantik, ayo! Mbak, kita berangkat sebelum acaranya di mulai!”“iya, ayo!” aku berkata sambil menggandeng tangan Linda. Landu mengikuti di belakangku. Dia juga sangat tampan dengan stelan jas putihnya.Linda tampak berjalan kesusahan dengan pakaian yang pas di badan itu, saat hendak memasuki mobil yang menjemput kami menuju gedung resepsi.Maklumlah, gedung yang di sewa keluarga untuk ijab kabul dan pesta, bukan
Aku ragu, apakah harus menjawabnya jujur atau tidak, dan aku memutuskan untuk mengabaikan semua pesan itu.“Mas Ragil, maafkan aku!” gumamku dalam hati.“Dari mana saja kamu Mina!” tanya bapak yang tiba-tiba berdiri di sampingku, entah bagaimana beliau bisa ada di sini. Aku sampai terkejut dan celingukkan ke kanan dan ke kiri. Hatiku lega dan bersyukur karena tidak melihat Mas Ragil di sekitarku.“Astagfirullah, Bapak ngagetin Mina aja! Bapak sendiri dari mana?”“Dari toilet!”“Sama, Mina juga dari sana!”“Alhamdulillah, Bapak kira kamu kabur karena nggak kuat lihat pesta adikmu yang sudah bahagia!” Bapak berkata sambil merengkuh bahuku.Aku tersenyum menanggapinya, “Bapak kira aku nggak bahagia, gitu?”“Kamu pasti bahagia melihat adikmu bahagia juga ... Mina, Bapak bangga padamu, Nduk!”“Mina juga bangga sama Bapak!”Aku bahagia karena Bapak begitu pengertian padaku. Namun berbeda dengan ibu, yang sejak aku pulang sampai hari ini ia mendiamkanku. Beliau tidak banyak bicara
*Apa sih maksud Ibuk ini, memangnya Ibu kira aku sebodoh apa?”“Wah pinter jawab, Mina sekarang, Pak!” kata ibu sambil melirik pada bapak. Laki-laki itu asyik menonton televisi yang menayangkan siaran langsung, sepak bola dari dua klub bola terkenal di dunia.“Alhamdulillah!” jawab bapak datar.“Kenapa kamu ngeliatin kamar Linda terus, jangan mikir yang macam-macam ... soalnya Ibu tahu, kamu nggak bakal kepikiran ke sana!” kata Ibuk lagi.“Kepikiran ke mana memangnya?”Aku kesal, Ibu sudah lama tidak menegurku dan seolah-olah sudah berubah. Namun, perubahan itu hanya terjadi selama pernikahan dua adikku dan, sekarang ibu kembali seperti dulu. Sebenarnya aku bersyukur, tetapi tetap saja perasaanku jadi sedih begini. “Ya, mana Ibu tahu pikiran yang ada di otakmu itu!”“Alhamdulillah! Pak, Ibu tahu aku punya pikiran di otak!”“Hus! Semua manusia yang hidup normal itu pasti punya otak dan pikiran ... itu salah satu kelebihan yang diberikan Allah pada manusia, yaitu memiliki akal!