POV Author Ragil menatap gadis yang masih memakai mukena itu berlalu dari hadapannya. Ia tidak bisa mencegah karena merasa tidak berhak untuk memaksa untuk tetap tinggal. Meskipun dalam hati ia masih ingin berbincang-bincang dengannya. Pria itu bersyukur jika akhirnya, Mina mau membawa kerang mutiara yang sengaja ia berikan padanya itu pulang. Benda itu adalah bukti kebersamaan masa kecil mereka yang pernah ada. Ia begitu terkesan, sebagai anak kota yang baru pertama kali menetap di kampung untuk waktu yang cukup lama. Ia mengenal Mina sebagai gadis desa yang masih sama-sama duduk di sekolah dasar dan menjadi teman akrab satu-satunya di sana.Gadis itu agak lamban berpikir ketika diajaknya bicara dan bisa menjawab pertanyaannya. Namun, gerakannya sangat cepat ketika ia mencari kerang-kerang air tawar itu di sungai. Mina mendapat begitu banyak, sedangkan Ragil hanya dapat beberapa biji saja.Bukan hanya itu kenangannya bersama Mina, awalnya Ia tidak menyangka kalau gadis itu san
Ragil merahasiakan siapa sebenarnya dirinya, di hadapan semua tetangganya termasuk Mina. Ia tidak mengatakan jika dirinya adalah, seorang yang sukses bertani dan berkebun. Jadi, isu dan hal negatif tentang dirinya pun merebak begitu saja, di lingkungan sekitar tempat tinggalnya. Meskipun begitu, ia tidak ambil pusing.Namun ia sering melihat Mina yang selalu mencuriga kepadanya, terlihat jelas dari sikap kewaspadaannya. Walaupun informasi yang ia dapatkan tentang Mina tidaklah bagus, tapi ia tetaplah lapang dada. Ia mendengar bahwa, Mina termasuk anak yang bodoh di kelas. Namun, dalam kehidupan seperti sekarang ini, Mina begitu realistis dan terlihat pintar di matanya. Ragil pernah berpikir bagaimana seandainya wanita itu menjadi istrinya kelak. Ia akan menerima apa pun, kekurangan Mina dan tidak akan menganggap serius omongan orang tentang Mina yang miring.Saat Mina kecelakaan, ia sangat panik dan dengan tergesa-gesa membawanya ke rumah sakit. Tanpa menunggu konfirmasi atau pers
Aku membiarkan Bu Kokom terus berceloteh selama menempati langkahku sampai di depan pintu. Dia terus saja mengungkapkan rasa penasarannya, kenapa aku menemui laki-laki itu. Dia juga mengatakan pikiran pribadinya tentang sosok Mas Ragil, yang ingin aku memahaminya seperti apa yang dia pahami. Setelah ia selesai bicara, aku berbalik dan menatapnya penuh dengan senyuman.“Bu, apa tidak bisa kalau tidak mengurus urusan orang sebentar saja? Jadi, apa yang jadi urusan saya dan Mas Ragil biarlah tetap menjadi urusan kami berdua, tidak perlu ibu mencampurinya kecuali, Bu Kokom memang terlibat! Kalau memang Ibu ingin tahu ada urusan apa saya dengan mas Ragil, maka jawaban saya adalah, Saya tidak punya urusan apa-apa!”Aku kira ucapan formalku bisa diterima dengan baik hingga dia mengerti tapi nyatanya tidak karena Bu Kokom kembali bertanya.“Kalau tidak punya urusan apa-apa tidak mungkin Mbak Mina deketin Mas Ragil sampai bela-belain datang ke tempatnya! Iya, kan?”“Kan, sudah saya bilang
“Abid kamu kenapa?” kata ibu sambil menoleh ke belakangnya. “Ada apa ya, Buk?” tanyaku heran.Aku mencoba menanyakan kegaduhan yang terjadi di belakang layar, di dekat Ibu dan Linda yang menurutku, mereka duduk di ruang tamu yang tidak jauh dari ruang tengah. Kemungkinan Abid sedang berada di sana dan tentu saja dia bisa mendengar apa yang kami bicarakan. Namun, aku tidak mendapatkan jawaban dari rasa penasaranku, karena layar telepon ibuku tiba-tiba saja padam.Mungkin saja suara pecahan gelas yang kudengar itu cukup berantakan sehingga membuat Ibuku kerepotan. Aku tidak berusaha melakukan panggilan kembali karena aku pikir mereka sedang sibuk membereskan kekacauan yang dilakukan oleh Abid.Aku menyambungkan telepon ke pengisi daya, lalu berniat untuk mengangkat jemuranku yang aku pikir sudah mulai kering. Saat aku melakukannya, kulihat beberapa ibu-ibu sedang duduk berkerumun di depan rumah Teh Nena. Aku mendengar suara mereka berbicara cukup keras seolah memang sengaja agar ak
“Kenapa berhenti di sini, Bid?” tanyaku sambil menetapnya dengan tajam.Aku berusaha mengalahkan rasa takutku sendiri.“Saya mau bicara sama Mbak Mina dari hati ke hati!” katanya.“Eh, apa maksudnya ini, apa kamu punya masalah sama Mbak sebelumnya?”“Bisa dibilang begitu, Mbak! Kalau memang benar Mbak ini kenal sama Ismawati, saya mau dengar gimana kisah kematiannya dulu menurut ingatan Mbak Mina?” tanyanya lagi, dengan wajah serius, tatapannya yang tajam terarah tepat ke mataku.“Kamu kenal juga ya, sama dia?” tanyaku heran.“Terus terang, Mbak, saya dulu pernah jadi pacarnya!”Tiba-tiba kepalaku pusing sekali, seperti ada sesuatu yang menolak untuk kuingat tentang Ismawati, dan nama Samarcandra selalu muncul secara bersamaan di otakku. Aku memikirkan nama belakang Abid itu, memang terasa aneh dalam ingatanku, tapi aku sendiri tidak tahu apa hubungannya dengan itu. “Oh, eh, apa? Kamu pernah jadi pacarnya? Tapi kok, aku nggak tahu?”“Mbak Mina dulu akrab nggak sama dia?”“
Selain pesan dari mas Ragil ada juga pesan lain dari Abid yang mengatakan sesuatu hal yang aneh. Dia terus saja mendesak ku untuk mengingat sesuatu yang berhubungan dengan Ismawati dan kematiannya waktu itu.Aku mengabaikan pesannya.Hari itu aku melakukan aktivitas seperti biasanya dan di sela-sela istirahat, aku menelepon ibu.Aku menanyakan apa yang aku alami setelah mengucapkan salam.“Buk, apa ibu ingat tentang kejadian Ismawati dan apa yang terjadi kepadaku waktu dia meninggal waktu itu, Buk?”“Kenapa tiba-tiba kamu tanya soal itu?”“Nggak apa, Buk, cuman pengen tanya aja!”“Sudah ibu bilang dari dulu, tidak usah mengingat soal Ismawati!” suara ibu membentakku begitu keras dan ucapannya itu justru membuatku semakin takut.“Tahu nggak, yang bikin kamu bodoh itu karena kamu itu ingat kejadian soal Ismawati! Mina, awas kalau kamu ingat lagi soal itu, ibu nggak bisa ngakuin kamu jadi anakku!” kata perempuan yang sudah melahirkan aku itu dan langsung menutup teleponnya.“Dih
“Aku itu udah nanya berulang kali sama Mina, dia bilang nggak kenal sama Ragil, ya dia jawabnya nggak kenal sama kamu, Gil!” kata bapak. Aduh bapak, malu-maluin aku!Aku melihat ke arah bapak dan mas Ragil secara bergantian, bapak menatapku dengan kesal sedangkan mas Ragil menatapku melotot.Aku diam saja meninggalkan mereka dan membuka rumahku sendiri, lalu menggelar karpet untuk bapak.Kulihat Mas Ragil kembali masuk ke petakannya sendiri. Bapak mengikuti dan kembali melirik ke arahku dengan sudut mata yang sinis, sedangkan Teh Mela pulang ke rumahnya sendiri, setelah berpamitan pada Bapak.Pakde Surya juga ikut masuk dan duduk di samping bapak aku menyediakan dua gelas kopi.“Gak usah bikin kopi, tadi juga udah ngopi di tempat Ragil!” kata bapak dan pakde Yusro hampir bersamaan.Aku langsung saja bicara pada permasalahannya, mengingat hari sudah semakin sore dan sepertinya pakde Yusro mau pulang. Aku tidak mungkin menahan mereka lebih lama.“Bapak itu jangan salah paham
Hidup memang tak pernah akan sesuai dengan kehendak kita sebab diri kita saja bukanlah milik kita seutuhnya. Hakikatnya hidup milik Allah, segala sesuatu berasal dari Allah dan akan kembali pada-Nya, pula.Aku memikirkan hidupku sambil berjalan ke arah pintu untuk melihat siapa gerangan yang mengetuknya. Dari balik tirai jendela aku mengintip dan kulihat Abid berdiri di sana.“Ada apa Abid ke sini malam-malam begini?” aku bergumam seorang diri.Tiba-tiba hatiku berdebar kencang, rasa takut menghampiriku. Aku bersandar di dinding sambil mengelus dada mencoba menenangkan debarannya. Nama Tuhan kusebut secara berulang dan aku kembali ke kamar dengan langkah yang gemetar. Aku tidak akan membukakan pintu untuk pria itu.Dari dalam aku mendengar seseorang bicara pada Abid, dan kembali kuintip dari balik tirai, ternyata ada Mas Ragil. Lalu, dua pria itu bicara di sana, tapi aku tidak bisa mendengar pembicaraan mereka.Aku segera mematikan telepon genggam agar Abid atau siapa pun tidak b