“Tu-tunggu sebentar.”Meskipun mencoba berhenti berjalan, Flora tetap tidak bisa melakukannya karena punggungnya didorong dari belakang dengan laporan tebal oleh Abraham, mengingat pria itu tidak suka bersentuhan. Sampai di ambang pintu ruang CEO, Flora seperti dilemparkan begitu saja hingga spontan mengumpat pelan.Ia segera berbalik dan berjalan mendekat sebelum Abraham menutup pintu ruangannya. “Tadi saya hanya bercanda. Maksud saya mengucapkan kata-kata puitis .... Kau seperti belerang di dasar—”Brak!Pintu dibanting tepat di depan wajah Flora. Abraham juga menutup tirai kaca setelah melirik tajam pada Flora.“Dasar tidak berperasaan.” Flora mendengus kasar, lantas mengusap wajah. Bagaimanapun, dia harus membuat kencan itu tidak pernah berhasil. Sekali Abraham memiliki pasangan, maka rencana balas dendamnya akan berantakan.Merasa pintu kokoh itu tidak akan terbuka hingga beberapa saat ke depan, Flora memutuskan beranjak dari sana. Kepalanya menjadi sedikit pening karena memikirk
Flora mengucapkan terima kasih kepada supir taksi sebelum dia turun. Rumah dua lantai bergaya klasik yang didominasi warna putih dan abu-abu gelap di depan sana adalah tujuan kedatangan Flora. Tanpa adanya gerbang, ia bisa langsung menuju pintu utama, menekan bel.Paper bag di tangan Flora sedikit bergemerisik saat terkena sapuan angin. Butuh hingga dua puluh detik hingga pintu dibuka dari dalam. Abraham dalam balutan kaus putih dan celana panjang hitam muncul dengan kerutan di dahinya.“Ada apa kamu kemari?” tanyanya.Sungguh sambutan yang ramah. Flora memasang senyum cerah. “Agenda Bapak untuk satu bulan ke depan sudah saya persiapkan, termasuk agenda prioritas. Tapi saya masih perlu mendiskusikan beberapa hal, terutama terkait dengan rapat direksi minggu depan. Selain itu ....” Flora mengangkat paper bag-nya. “Tadi saya memasak rendang. Kesukaan Bapak, bukan?”Abraham menatap menyelidik pada Flora. “Agenda bisa kamu kirimkan file-nya pada saya, kenapa sampai harus repot-repot datan
“Atas nama Nona Flora Ilona, ya? Mari saya antar.”Seorang pegawai restoran bersuara ramah dan sopan membimbing Flora menuju meja yang sudah dia reservasi diam-diam, bersamaan ketika dia diminta mereservasi meja untuk kencan Abraham. Bagaimanapun, Flora tidak akan bisa bernapas tenang jika belum melihat sendiri bagaimana kencan pria itu berjalan.Meskipun berhasil memaksa Abraham untuk memakai pakaian pantai dengan memanfaatkan keterbatasan waktu yang ada, bilang jika pengacara seperti Lysee pasti sangat menghargai ketepatan waktu sehingga tidak mungkin pria itu berganti pakaian dulu, Flora tetap harus memastikan kencan itu gagal.Flora mempercepat langkahnya, membuat pegawai restoran mengimbanginya. Sebentar lagi Abraham pasti akan segera tiba di sini, bisa gawat kalau dia memergoki Flora sedang mengikutinya. Dalam hati Flora bersyukur taksi yang dia tumpangi sejak berpisah dengan Abraham di butik, memiliki supir yang bisa diandalkan. Dia tiba di restoran lebih dulu dari pria itu.Pa
Tangan Flora terangkat untuk menurunkan topi saat Abraham tiba-tiba mengarahkan pandangannya pada satu lukisan di dekatnya. Dalam sekejap, jantungnya seperti akan lepas dari tempatnya. Beruntung, sepertinya pria itu hanya mengamati secara acak, karena genap tiga detik dia kembali menatap lukisan balerina yang tergantung di depannya.Meskipun tahu tidak memiliki kesempatan untuk mengusik kencan Abraham dan Lysee, Flora tetap mengikuti mereka yang kini melanjutkan sesi kencan ke pameran di sebuah galeri seni. Sama sekali tidak ada tanda-tanda kencan ini akan gagal karena baik Abraham maupun Lysee menampilkan sikap yang baik dan menunjukkan antusiasme terhadap hubungan lebih lanjut.Ah, bahkan saat mereka berdiri berdampingan, membicarakan lukisan yang menarik perhatian, kata-kata saja tidak cukup untuk menggambarkan betapa serasinya mereka. Flora berani bersumpah jika dia belum pernah melihat kecocokan yang mengagumkan seperti itu.Tiba-tiba Flora termenung, menatap kosong lukisan abstr
“Luna, sepertinya Javier buang air besar.”Suara Sakha yang menyiaratkan sedikit kebingungan itu membuat Luna mengangkat wajah dari ponsel. Ia melirik putranya yang sedang digendong pria itu, lantas menghela napas berlebihan.“Kamu, kan, bisa membersihkan dan mengganti popoknya. Sudah kubilang aku sedang tidak enak badan. Sekali-kali apa susahnya berperan sebagai ayah yang baik, aku sudah mengurusnya setiap hari.” Alis Luna berkerut lelah, memberengut.Merasa hanya itu satu-satunya pilihan yang tersisa—daripada terjadi perdebatan—Sakha mengembuskan napas pelan, berjalan menuju kamar mandi untuk membersihkan putranya.Luna hanya meliriknya malas, lantas kembali memusatkan tatapannya pada layar ponsel yang menampilkan laman tentang daftar tas terbaru dari salah satu brand ternama, menilai kiranya mana yang akan dia beli bulan ini. Meskipun dia tidak tahu bagaimana menghadapi rekan kerjanya nanti karena insiden foto perundungan itu, penampilan Luna tidak boleh ikut terpengaruh. Dia harus
“Hentikan.”Suara rendah hampir tanpa nada itu membuat Flora mengerjap beberapa kali.“Kamu.”Saat akhirnya sang pemilik suara mengalihkan pandangan dari kamera dan menoleh padanya, Flora baru sadar jika orang yang pria itu maksud adalah dirinya.“Ya?”Kairo mendengus pelan. “Berhenti menatapku sambil tersenyum seperti idiot.”Alih-alih merasa tersinggung, senyum Flora malah semakin lebar. Abraham yang baru menyelesaikan sesi foto bahkan sampai mengernyit samar, menyelipkan sedikit ironi dalam tatapannya seolah menganggap Flora sudah tidak waras.“Jangan salah sangka, ini namanya senyum ramah dan sopan. Sikap seperti ini adalah landasan kesopanan seorang sekretaris.” Flora menimpali santai dengan mata yang berbinar.Kairo memindai cepat Flora dari rambutnya yang digulung rapi hingga sepatu berhak hitamnya. “Yah, kamu memang cocok dengan peran bodoh menyedihkan. Setidaknya otakmu sedikit bisa berguna.” Ujung bibir Kairo sedikit terangkat, menyunggingkan seringaian beriringan dengan nad
Jarak halte dengan rumahnya sebenarnya tidak lebih dari tiga ratus meter, namun malam ini langkah Flora terasa berat dan jarak yang tidak seberapa itu terasa amat panjang dan melelahkan. Dengan langkah yang hampir terlihat seperti diseret, Flora meniti jalan yang nyaris tidak ada seorang pun yang lewat. Helaan napas berat berkali-kali lolos dari bibirnya.Luna. Nama itu menyesaki pikirannya. Wajah wanita itu membayang jelas pada setiap ayunan kaki Flora. Isakannya, gurat kelelahannya, pun tatapannya yang goyah. Flora tidak tahu apa yang harus dilakukannya setelah ini. Keraguan yang tidak pernah diperkirakannya datang begitu saja seolah menunjukkan jika dia memang masih manusia bernurani.Melewati jalan setapak yang membelah taman kecil di depan rumahnya, Flora mendorong pintu bertepatan dengan tangannya yang memijat pelan pelipis ketika ia merasakan pening menghinggapi kepalanya. Saat ini, Flora hanya ingin cepat-cepat membersihkan diri lalu bergelung di bawah selimut yang lembut.“Ah
Studio itu hangat. Lantai pertama diperuntukkan untuk pekerjaan. Flora bisa melihat beberapa kamera tua diletakkan di meja dan rak sebagai pajangan, dan pintu sedikit terbuka di sisi kanan menunjukkan sebagian ruangan berdinding putih dengan berbagai perlengkapan pemotretan. Ada tangga spiral yang menghubungkan lantai satu dengan lantai dua—lantai pribadi yang sepertinya juga digunakan sebagai tempat tinggal Kairo.Flora duduk di sofa hitam empuk, satu tangannya melintang untuk memeluk lengan yang lain. Gaun tidur berlengan pendek itu sekarang baru terasa tidak nyaman. Rasa dingin karena hujan baru terasa menjalar, pun perih dari telapak kakinya yang terluka.Suara pintu dari arah kanan membuat Flora menoleh sekilas, lantas segera menunduk. Kairo datang dengan selimut tipis, mengulurkannya pada Flora dengan ekspresi agak enggan.“Terima kasih,” gumam Flora sembari menerima selimut yang segera ia gunakan untuk membalut tubuhnya. Aroma yang ‘Kairo’ sekali langsung menyambut hidungnya, k