Flora telah merangkai masa depannya bersama Sakha, menggulung seluruh benang yang menyulam cerita hidupnya dalam satu wadah bernama pernikahan. Dia telah melakukan tugasnya sebagai seorang istri, memberikan segala yang dia punya. Nyatanya bagi Sakha semua itu tidak cukup sehingga dia perlu mencari pelengkap sudut kecil di hatinya yang terasa hampa. Sakha menemukan jawaban itu pada Luna, membuat mereka terikat dalam sebuah hubungan gelap. Dunianya runtuh dalam sekejap mata ketika Flora mengetahui perselingkuhan suaminya, rasa untuk bertahan menguap seiring dengan sesak yang tak henti menderanya. Namun kemudian, Flora memilih untuk bangkit, membalaskan segala rasa sakit, kekecewaan, dan pengkhianatan. Baginya, gigi harus dibayar dengan kepala, mata dibayar dengan nyawa. Dia akan menyanyikan syair pembalasan dendam dengan sempurna. Pembalasan itu mengantarkan Flora menuju dua nama; Abraham Ganendra, si CEO perfeksionis yang menjadi kunci keberhasilan rencananya, dan Kairo, pria misterius yang telah membangkitkan iblis dalam diri Flora.
View More“Ini aku sedang bersiap-siap pulang, Flo. Sebentar lagi check out dari hotel.”
Ponsel yang tertempel di telinga Sakha menyalurkan suara istrinya di seberang sana. Sesekali Sakha mengangguk—meski istrinya tidak bisa melihat gerakannya, dua-tiga kali menyahut pendek.
“Hm? Tentu saja aku sudah membelikannya. Keripik belimbing dan puding nasi hitam—heuk.” Sakha tersentak kaget saat dasinya dinaikkan dengan kasar, seperti ingin mencekiknya. Dia meneguk saliva pelan, sebelum tangannya terangkat untuk mengusap rambut seseorang di depannya.
Seseorang berambut sepunggung itu memutar kedua bola matanya, lantas menyentakkan tangannya dari dasi sembari mendorong dada Sakha pelan, mengurungkan niat untuk menyelesaikan ikatan dasi. Wajahnya tertekuk, sorot matanya sarat akan kekesalan. Situasi ini benar-benar terasa begitu menyebalkan baginya.
“Bersabarlah sebentar lagi.” Sakha berucap tanpa suara, menatap memelas pada wanita di depannya, sementara istrinya di seberang sana masih bicara tentang memastikan tidak ada barang yang tertinggal di hotel.
Wanita berambut sepunggung itu mendengus, melipat tangan di depan dada.
“Ah ....” Sakha mengusap tengkuknya, saat istrinya mengucapkan ‘I love you’, menimbang tentang bagaimana sebaiknya tanggapannya. Wanita di depannya ini jelas tidak akan senang jika Sakha membalas perkataan sayang dari istrinya.
Dua detik tidak kunjung membalas istrinya, Sakha memantapkan hati, melemparkan tatapan permohonan maaf pada wanita di depannya, sebelum membalas istrinya dengan suara pelan, “I love you too, Flo.”
Seperti yang diperkirakan, wanita itu beringsut menjauh dengan wajah masam saat Sakha menutup panggilan, menghempaskan diri di tempat tidur hotel.
“Luna ....” Sakha mendekat, duduk di sampingnya dengan ekspresi serba salah. “Aku tidak bisa tidak membalas ucapan Flora. Dia mungkin akan berpikir macam-macam.” Sakha berusaha membujuk.
“Aku benar-benar sudah muak. Sebaiknya kamu tentukan pilihan sekarang. Aku atau istrimu!” Luna menantang, melirik tajam.
Sakha menghela napas berat, mengusap wajah. Urusan ini menjadi kapiran. Dia seperti berjalan di atas tali yang membentang di antara dua jurang, tiupan angin sekecil apa pun bisa membuatnya terempas jatuh.
“Baik, aku akan menceraikan Flora,” ucap Sakha kemudian. Tangannya diam-diam mencengkeram sprai di belakangnya. “Tapi aku perlu waktu untuk mempersiapkan segalanya.”
Perlahan, senyum cerah terbit di wajah Luna. Air mukanya berubah dalam sekejap mata. Dia mengangguk senang, lantas memeluk Sakha dengan erat sebagai tanda terima kasihnya.
“Sial, kita terlambat, Luna. Bergegas masukkan baju ke koper. Pesawat kita akan berangkat sebentar lagi.”
***
“Aduh, melihatnya saja sudah terasa melelahkan.”
Flora mengesah berlebihan saat baju-baju yang berantakan pertama kali menyambutnya setelah membuka koper Sakha, saksi perjalanan bisnisnya selama ini. Baju-baju itu seperti gumpalan-gumpalan mimpi buruk. Entah karena ada hal mendesak apa, Sakha seperti terburu-buru membereskan barang-barangnya, memasukkan secara sembarangan ke dalam koper.
Flora menyeret keranjang baju di sampingnya, memasukkan satu persatu pakaian suaminya sembari memeriksa apa ada barang yang tertinggal di saku atau noda yang menyedihkan.
Saat tangannya hendak memastikan saku jas suaminya telah bersih benda meluncur jatuh dari saku jas, berdenting mengenai lantai. Flora mengedarkan pandangannya ke lantai, menemukan sebuah benda mungil dengan setitik permata yang tampak berkilau ditimpa selarik cahaya dari sela jendela.
Sebuah cincin.
Flora memeriksa cincin itu sebentar, untuk kemudian senyum merekah di bibirnya seiring rona merah menjalar di pipinya.
“Tiga tahun menikah, di tetap saja masih romantis. Aduh ....”
Tangan Flora kembali cekatan memeriksa baju Sakha, memasukkan ke keranjang. Dan ketika Flora tengah menggerutu karena menemukan noda air kopi di kemeja putih Sakha, dia menemukan sesuatu yang membuat gerutuannya terhenti, tubuhnya membeku dalam sekejap mata. Mimpi buruk yang sebenarnya baru saja datang.
Sekitar Flora terasa menggelap, kicau burung lenyap. Hanya ada satu warna yang menjadi pusat dunianya sekarang. Merah. Melekat pada pakaian tipis yang terlihat mencolok di antara baju-baju Sakha yang berwarna gelap.
Lesakan dari perut dan dadanya seperti mencekik kerongkongan Flora seiring tangannya yang terulur gentar ke arah benda itu. Waktu seperti bergerak jauh lebih lambat. Dan ketika akhirnya ujung jari Flora menyentuhnya, hal pertama yang dia rasakan adalah kelembutan yang menawarkan luka.
Lingerie merah.
Dengan gemetar Flora meraih pakaian itu, menariknya dengan hati yang mulai runtuh. Jelas lingerie itu bukan miliknya. Aroma parfum yang menguar dari sana pun sama sekali berbeda dengannya. Segala pikiran buruk mulai berkelebat. Diamnya berubah menjadi bulir air yang mengalir membasahi pipi. Tubuh Flora luruh, tangannya terkulai.
Langit-langit ruangan terasa mencekam, dinding-dinding sekan mengimpitnya. Di tengah kelam pikirannya, Flora teringat satu hal. Dia segera merogoh saku celananya, meraih cincin yang baru saja jatuh dari jas Sakha.
Flora pandangi lekat-lekat cincin itu, untuk kemudian mencoba memasangkannya di jari manisnya. Tersendat di tengah jari, cincin itu terlalu kecil. Dengan gerakan gusar, Flora memasangkannya di jari telunjuk. Cincin itu tetap terlalu kecil. Jari tengah apalagi.
Isakan Flora menyusul air mata yang tak henti turun. Dia melemparkan cincin itu, membuat benda itu bergulir, berhenti di sudut ruangan bersamaan dengan denting pelan. Flora mengacak rambutnya frustrasi seiring ribuan sembilu yang menghunjam hatinya.
Dan di tengah tangis memilukan itu, Flora bertanya pada keheningan: inikah akhir dari dongengnya?
***
Nadine berada di mejanya, sedang fokus pada layar komputer ketika Flora mendorong cepat pintu studio. Mata perempuan itu terbelalak seiring ia yang spontan bangkit berdiri dengan punggung menegak. Gesturnya menjadi waspada.“Kairo—di mana dia?” Flora langsung bertanya, keadaan saat ini mendesak, ia tidak punya waktu untuk berbasa-basi.“Eh, saya akan menanyakan dulu—”“Aku akan ke atas.” Tanpa menunggu persetujuan Nadine terlebih dahulu, Flora berderap ke arah tangga lantai dua.“Tidak bisa begitu!” Nadine nyaris melompat untuk menghentikan. Ia tergopoh berlari untuk menghalangi, merentangkan tangannya di depan Flora.Flora baru ingin membuka mulut ketika suara dari belakang sana menghentikannya, juga membuat Nadine menoleh.“Biarkan dia, Nadine.” Kairo berdiri di anak tangga paling bawah, memakai pakaian santai, dan melemparkan tatapan tajam pada Flora. “Kamu boleh pulang. Aku akan selesaikan sisanya.”Dari air muka Nadine, bisa Flora pastikan perempuan itu agak kurang setuju. Ia men
Sudah nyaris lima belas menit Flora bergeming di meja kerjanya dengan pandangan yang nanar dan menerawang. Deretan tulisan di layar komputer menjadi terasa jauh sekali, seolah-olah kisah yang tertulis di sana milik seseorang dari antah-berantah yang tidak ia kenal.‘Istri Rowan Ganendra Ditemukan Meninggal di Halaman Belakang Rumah, Diduga Melompat dari Lantai Empat.’Itu adalah artikel ketujuh yang Flora baca mengenai dugaan bunuh diri ibu Abraham, membacanya berkali-kali dengan harapan apa yang dibacanya tidak benar. Namun, segala yang tertulis dalam artikel-artikel itu nyaris semuanya sama: Elsie Ganendra melakukan bunuh diri dengan melompat dari lantai empat rumahnya pada tengah malam, dua puluh tahun silam.Punggung Flora yang menegang, perlahan mengendur saat ia bersandar pada kursi dan mengembuskan napas panjang. Ia melirik ke arah ruangan Abraham yang terlihat melalui kaca, menemukan pria itu yang sedang melakukan pembicaraan dengan salah satu kepala departemen. Flora memandan
‘Aku akan pulang terlambat, Flo.’Flora menyandarkan punggungnya ke kursi sembari menghirup uap cokelat hangat ketika ia membaca pesan itu, dari Sakha. Ia segera menutup pesan tanpa membalas, lantas kembali menyesap cokelatnya.“Aduh, manis sekali.” Flora melemparkan tatapan tenang pada langit senja. “Tentu saja kamu harus menghibur pacarmu yang sedang sedih.”Seluruh kejadian di kantor kembali berputar di kepala Flora, lalu sebentuk seringaian terbit di bibirnya. Hari ini ia berhasil membuat topeng samaran Luna perlahan retak. Itu yang ingin ia tunjukkan pada rekan-rekan kerja wanita itu. Perlahan-lahan, dan dengan cara yang menyakitkan.Telepon semalam yang berisi kemesraan Flora dengan Sakha hanya alat untuk membuat emosi Luna menjadi tidak stabil. Ketika seseorang dalam kondisi seperti ini, cukup beri sedikit saja tekanan, maka ia akan kehilangan kendali dengan mudah. Sisi Luna yang temperamental telah Flora pertontonkan kepada rekan-rekan kerjanya, memperkecil kemungkinan ia akan
“Untuk makan siang.” Flora meletakkan paper bag di meja Abraham. “Sama seperti Bapak, saya juga tidak suka berutang budi.”Abraham mengalihkan pandangan dari layar komputer, melirik paper bag. “Ini bukan rendang varian depresi, kan? Saya sedang tidak berminat memakan sesuatu yang dibumbui keputusasaan.”Flora membalasnya dengan cibiran tanpa suara. “Tahu tidak, demi memasak ini saya bangun pagi-pagi buta sekali, tidur hanya beberapa jam saja. Dan setelah ini harus mengerjakan tugas yang seperti tumpukan dosa itu. Setidaknya beri saya ucapan terima kasih.”Salah satu alis Abraham terangkat, menilai penampilan Flora. “Tapi kamu tidak terlihat seperti orang yang kurang tidur.”Oh, tentu saja Abraham tidak akan menemukan kesuraman di wajah Flora. Pesta besar baru saja ia gelar dengan meriah, mana mungkin ia akan menyia-nyiakan kesempatan ini untuk murung dan meratapi nasib.“Yah, tidak ada gunanya juga bertingkah menyedihkan. Saya tidak ingin menjadi pecundang yang pantas dikasihani.” Flo
Mobil sedan hitam Abraham merapat taman depan rumah Flora. Sunyi mengungkung sekitar, hanya derik samar serangga dari kejauhan yang terdengar. Lampu penerangan di jalan setapak yang membelah taman sudah menyala, tanda Sakha sudah pulang. Tanpa sadar Flora mendengus masam, sejujurnya ia sedang tidak ingin berhadapan dengan wajah memuakkan pria itu.“Jangan lakukan hal bodoh. Kalau tiba-tiba kamu ingin sekali memukul kepalanya, bergegas pergi ke ruangan lain dan tenangkan diri kamu.”Wejangan dari Abraham itu akhirnya membuat Flora tertawa, sebagian kekesalannya mulai mencair. “Tenang saja, malam ini saya menjadi anak baik. Mereka tidak boleh mati semudah itu.” Ia mengerlingkan matanya. “Mau masuk dulu? Saya cukup pandai membuat teh yang enak.”“Sudah cukup ‘karma’ yang harus saya terima hari ini. Terlalu lama bersama kamu akan membuat saya ikut tidak waras.” Abraham menyugar singkat rambutnya. “Masuklah. Istirahat dengan baik.”Flora menarik napas panjang, mengangguk. “Terima kasih unt
Dingin yang disalurkan lantai butik terasa lebih menggigit, keheningan pekat menyelimuti Abraham dan Flora yang masih bersembunyi di balik punggung sofa. Suara Sakha sudah tidak lagi terdengar, sepertinya dia sudah selesai memilih sepatu dan sekarang sedang menuju kasir.Sudut mata Abraham menangkap seorang pegawai yang tampak terkejut melihat mereka duduk di lantai, hendak berjalan mendekat. Namun, baru selangkah, tangan Abraham terangkat untuk menghentikannya. Pegawai itu sedikit membungkuk, sebelum menjauh dari sana.Flora masih menunduk muram, bergeming seolah satu-satunya hal yang paling menarik baginya hanya lantai marmer butik. Abraham memandangnya lama, bertahan tidak bersuara. Sejujurnya, ia tidak pandai menghibur orang lain. Abraham selalu merasa canggung tiap kali mencoba berinteraksi layaknya orang awam, ia kurang mengerti caranya.“Mereka sudah kembali bersama rupanya ....”Gumaman Flora membuat Abraham mengerjap beberapa kali. Ia baru ingin mengajak Flora pergi dari sana
Selamat datang di dunia fiksi kami - Goodnovel. Jika Anda menyukai novel ini untuk menjelajahi dunia, menjadi penulis novel asli online untuk menambah penghasilan, bergabung dengan kami. Anda dapat membaca atau membuat berbagai jenis buku, seperti novel roman, bacaan epik, novel manusia serigala, novel fantasi, novel sejarah dan sebagainya yang berkualitas tinggi. Jika Anda seorang penulis, maka akan memperoleh banyak inspirasi untuk membuat karya yang lebih baik. Terlebih lagi, karya Anda menjadi lebih menarik dan disukai pembaca.
Comments