Bu Surti punya tanah yang cukup luas peninggalan Bapak Mutia. Tapi, hanya di bangun rumah sederhana di atas tanah itu. Selain rumah dan tanah yang di tempati, Bu Surti juga punya sawah dan kebun yang cukup luas. Tapi, akhirnya di jual sedikit demi sedikit untuk menambah biaya hidup yang semakin mahal. Orang tua Mutia juga ingin anak-anaknya minimal lulus SMA. Akhirnya hanya tinggal sawah sepetak yang di miliki oleh keluarga Mutia.“Ibu dan Zaki sudah bicara jika rumah ini akan di berikan padamu nduk?” Gerakan tangan Mutia yang sedang menjahit baju seketika terhenti.“Loh, bukannya kebalik ya Bu? Zaki itu kan anak laki-laki. Dia harus dapat bagian yang lebih banyak.” Mutia menggelengkan kepalanya tidak setuju.“Nggak masalah mbak. Lagipula aku sudah beli tanah kita dulu dengan nama Ibu. Bahkan luas tanahnya jadi semakin besar.” Mata Mutia membulat kaget. Zaki yang baru saja keluar dari kamarnya duduk di sofa baru berwarna abu-abu.“Yang benar?” “Iya lah. Masa aku bohong.” Zaki dan Bu
“Ada apa mbak?” Tanya Zaki yang saat ini sedang ada di rumah. Mutia menunjuk benda yang keluar dari dalam kotak tadi. Mata Zaki membulat saat melihat bangkai tikus yang tertutup dengan sebuah foto. Zaki berlari ke belakang untuk mengambil plastik. Mutia yang sudah lebih tenang, turun dari kursi lalu mengambil kotak yang di gunakan sebagai tempat bangkai tikus itu. Ada logo sebuah toko di kotak itu.“Ini fotonya Mbak Mutia. Bukannya foto ini yang kemarin di unggah di face*** ya?” Zaki menunjukkan foto yang sudah berlumuran dengan darah bangkai tikus itu. Sebuah foto yang Mutia upload saat memakai gaun pengantin jahitannya sendiri. Untuk mempromosikan usaha jasa rias dan sewa gaun pengantin miliknya.Meskipun masih takut, tapi Mutia mengambil foto yang di pegang oleh Zaki. Kotak kado yang di pegangnya juga sudah berpindah ke tangan adik laki-laki Mutia itu. “Ini memang fotoku. Aku nggak bisa melacak siapa yang menerorku cuma dari facebook aja.” Ujar Mutia lesu.“Aku tahu kotak kado ini
Saka menghela nafasnya lebih dulu. Raut wajahnya terlihat penuh penyesalan. Tapi, Mutia tidak mau percaya begitu saja pada Bapak dari anaknya itu. Apalagi kalau pembahasannya sudah terkait dengan harta.“Aku benar-benar minta maaf padamu dan Tiara. Aku bisa maklum kalau kamu tidak mengajak Tiara untuk datang menjengukku.”“Baguslah kalau kamu sudah sadar mas. Aku tidak tahu kapan Tiara bisa siap untuk bertemu dengan kamu. Karena saat in Tiara sudah menjalani proses terapi untuk trauma yang kalian berikan untuk anak kita.” Saka menundukan kepalanya. Suara Mutia terdengar sangat datar, tapi menusuk.“Kamu tenang aja. Aku nggak akan menghalangi kamu untuk bertemu dengan Tiara. Asal dengan syarat jika kamu sudah benar-benar berubah dan kejiwaan Tiara juga sudah membaik. Sejahat apapun perlakuan kalian pada anakku dulu, aku tidak mau Tiara hidup dalam dendam. Biarlah hatinya beku saat bertemu denganmu. Asal bukan dendam yang ada dalam hatinya.”“Terima kasih Tia. Aku benar-benar sangat ber
Breeeett…Suara kencang itu kembali terdengar. Mutia yang baru saja mencuci tangannya di wastafel kembali masuk ke dalam kamar Nyonya Honda. Majikannya itu justru tertawa cekikikan. Bau tak sedap segera memenuhi ruangan ini.“Cepat belsihkan lagi. Kamu cih gak mau nyunggu aku celecai BAB.” Ujar Nyonya Honda sinis dengan kalimat yang tidak jelas. Lima bulan pasca Mutia bekerja di sini, kondisi kesehatan Nyonya Honda semakin membaik. Majikan Mutia itu sudah bisa bicara dan menggerakan tubuh bagian atas. Terapi yang di jalani juga dengan biaya yang sangat mahal. Meskipun kadang ucapan Nyonya Honda tidak terdengar jelas.“Iya Nyonya.” Mutia kembali membuka lemari untuk mengambil baju ganti. Ponselnya yang bergetar membuat Mutia mengambil hp yang ia masukan ke dalam saku itu. Layar hp memperlihatkan peringatan jika lima belas menit lagi waktunya menunaikan sholat isya'.“Maaf Nyonya. Apakah saya boleh menunaikan sholat maghrib dulu. Sebentar lagi waktunya habis.” Nyonya Honda hanya mengang
Pagi harinya, Nyonya Honda menanyakan kenapa wajah Mutia terlihat berantakan. Mutia menceritakan semuanya pada sang majikan tanpa ada yang di tutupi. Sedangkan tangannya sibuk menyeka tubuh Nyonya Honda dengan air hangat. “Saya sudah coba hubungi agensi tadi pagi. Tapi, mereka bilang saya tidak mungkin membatalkan kontrak. Walaupun Nyonya mengijinkan saya untuk pulang. Saya sendiri jadi serba salah karena di satu sisi saya tidak ingin anak saya terus di aniaya Bapaknya. Tapi, di sisi lain saya tidak mungkin bisa membayar denda dari agensi.”“Oh begitu.” Nyonya Honda yang baru saja mandi dan berganti baju sudah di dudukan Mutia di atas kursi rodanya.“Apa tidak ada orang yang bisa kalian percaya untuk membawa anakmu pergi?” Mutia menggelengkan kepala dengan lemah.“Tetangga tidak bisa banyak membantu. Mereka takut suami saya bisa berbuat lebih nekat lagi.”“Lalu apa yang akan kamu lakukan?” “Saya tidak akan mengirimkan uang lagi Nyonya. Untuk memberikan mereka pelajaran.” Wajah Nyony
Jarum jam baru menunjukkan pukul tujuh malam saat motor yang di kendarai oleh Ana berhenti di depan rumah. Bu Jarmi turun dari motor lalu membuka pintu. Ibu dan anak itu masuk ke dalam rumah bersama. Bu Jarmi meletakan kantung plastik berisi sembako di dapur.“Apa uang Ibu udah cukup untuk bayar kuliahku?” Tanya Ana yang sudah duduk di depan sang Ibu. Bu Jarmi menggelengkan kepalanya.“Belum ada Na. Boro-boro bayar kuliah kamu, buat makan aja udah syukur. Kita masih bisa dapat bahan sembako juga karena Ibu kerja di toko sembako. Sisa uang dari kerja jadi buruh sawah juga udah habis buat bayar listrik dan makan.” Ana menghela nafasnya lelah.“Besok kita jadi menjenguk Mas Saka, Bu?” Tanya Ana mengalihkan percakapan.“Jadi. Sekalian kamu tanya apakah Mutia mengijinkan kamu kerja sama dia. Kan lumayan kalau kamu bisa dekat lagi sama Mutia, Na.” Wajah Ana seketika berubah menjadi cemberut. Karena Mutia beberapa waktu lalu ia sampai di hujat oleh netizen di sosial medianya.“Malas Bu. Mbak
“Loh ada Rani juga. Mau jahit baju ya?” Tanya Bu Jarmi ramah. Mutia dan Rani saling bertatapan karena sikap Ibu mertua Mutia itu yang sangat tidak biasa.“Bukan Bude. Saya sekarang bekerja membantu Mbak Mutia menjahit. Kalau ada pesanan untuk jasa make up, nanti saya juga ikut bantu.” Wajah Bu Jarmi dan Ana berubah menjadi sebal mendengar penjelasan Rani. Sedetik kemudian, wajah Bu Jarmi sudah kembali tenang. Senyum manisnya tersungging untuk menantu pertamanya itu.“Oh gitu. Kerja yang rajin ya Ran.”“Iya Bude.” Mutia hanya menyimak dalam diam obrolan Rani dan Bu Jarmi. Wanita itu belum mempersilahkan Bu Jarmi untuk duduk karena masih trauma dengan kejadian beberapa waktu lalu.“Apa Ibu tidak di persilahkan duduk Tia?” Tanya Bu Jarmi melihat Mutia hanya diam saja sejak tadi. Mutia menganggukan kepala lalu berdiri. Di susul dengan Rani.“Silahkan duduk Ibu, Ana. Aku mau ke belakang untuk membuatkan minuman dulu.” Pandangan Mutia kini beralih pada Rani.“Kamu lanjut potong kain dulu ya
Mutia turun dari motornya dengan membawa kantung plastik berisi belanjaan. Ia menatap bangunan toko yang akan di gunakan untuk usaha jasa make up dan sewa gaun pengantin yang sudah jadi. Ada tiga tukang yang sedang mengecat tembok bangunan itu. Sedangkan tukang lain sedang merobohkan bagian teras rumah Bu Surti.Langkahnya menuju ke samping rumah untuk menyiapkan hidangan bagi para tukang. Ia juga membuat teh manis hangat lalu meletakan semua jajanan yang sudah di belinya di atas piring panjang. Mutia membawa nampan berisi teh manis dan makanan itu ke depan.Kegiatan Mutia selanjutnya adalah memasak bersama sang Ibu. “Alhamdulillah usaha kamu semakin lancar ya nduk. Ibu senang karena kamu juga tetap bisa nabung di celengan. Walaupun kita lagi renovasi rumah ini.”“Iya Bu. Alhamdulillah. Sebenarnya banyak orang yang mandang rendah pekerjaan aku saat ini. Tapi, aku justru bersyukur. Biar mereka nggak bisa pinjam uang seenaknya.”“Hush. Kamu ini.” Bu Surti tentu saja paham siapa yang sed