Share

Morgan Orang Terhormat?

Dalam sejarah Rumah Sakit P, itu adalah kali pertama seorang dokter ditampar oleh direktur rumah sakit, di hadapan pasien dan keluarga pasien.

Tentu saja Herman tak terima diperlakukan seperti itu.

Sebagai seorang dokter berpengalaman yang dianggap jenius oleh dokter-dokter lainnya, ditampar di hadapan orang-orang seperti ini adalah sebuah penghinaan.

Kulit muka Herman memerah. Separuh karena ditampar, separuh lagi karena amarah yang mulai meluap-luap.

Dia lantas menatap Vivi dengan sorot mata penuh dendam.

“Bu Direktur, kenapa Anda menampar saya? Kesalahan apa yang telah saya lakukan sampai-sampai saya harus menerima penghinaan ini?!” tanyanya.

Meski nada bicaranya tak tinggi, terasa sekali emosi yang kuat di situ.

“Anda bertanya kesalahan Anda apa? Anda hampir saja membuat reputasi rumah sakit ini hancur! Seharusnya Anda bersyukur karena orang terhormat yang Anda singgung tak meminta saya memecat Anda saat ini juga!” balas Vivi.

“Orang terhormat? Maksud Anda… kriminal ini..?”

“Dokter Herman! Jaga mulut Anda! Jangan sampai saya mengingatkan Anda lagi!”

Herman tampak bingung. Berkali-kali dia menatap Morgan lalu menatap Vivi, gagal mencerna apa yang barusan dikatakan sang direktur rumah sakit.

Si orang terhormat yang dimaksud adalah Morgan? Yang benar saja! Itu tak masuk akal!

Dan dia pun terkekeh.

“Bu Direktur, Anda pasti salah orang. Dia ini bukan orang terhormat—"

“Jangan coba-coba menantang saya, Dokter Herman! Anda memang dokter senior di sini, tetapi sayalah direktur rumah sakit ini. Saya punya kewenangan untuk memecat siapa pun yang tindakan atau ucapannya mencoreng nama baik rumah sakit ini! Anda mengerti?”

Direspons seperti itu, Herman langsung menutup mulutnya rapat-rapat.

Apa yang dikatakan Vivi memang benar. Kendati wanita itu lebih muda belasan tahun darinya, posisinya di Rumah Sakit P ini memanglah jauh di atasnya.

Dia sebaiknya berhenti protes sebelum terlambat.

“Baik, Bu Direktur. Mohon maaf atas ketidaknyamanan yang saya sebabkan,” kata Herman akhirnya, membungkuk hormat kepada Vivi.

Meski kata-kata yang digunakannya sangat sopan, terlihat sekali dari raut mukanya kalau Herman sebenarnya keberatan mengucapkannya.

Masalahnya, saat ini orang-orang di ruang inap itu memerhatikannya. Dan Herman bisa melihat dengan ujung matanya bahwa Morgan baru saja tersenyum meledeknya.

Saat dia berhenti membungkuk dan menatap Morgan, sepasang matanya seperti dua bola api yang berkobar-kobar.

Urusannya dengan pria yang dianggapnya kriminal ini belum selesai. Dia akan membalas penghinaan ini nanti.

“Tuan Morgan, saya mewakili seluruh dokter dan karyawan di rumah sakit ini memohon maaf atas ketidaknyamanan yang Anda rasakan. Jika ada yang bisa kami lakukan untuk membayarnya, silakan, jangan sungkan-sungkan untuk mengatakannya,” kata Vivi sambil tersenyum menatap Morgan.

Morgan sebenarnya bingung dengan kedatangan Vivi yang tiba-tiba dan sikapnya yang penuh hormat ini. Apakah wanita ini tahu dia siapa? Bagaimana bisa?

Di titik itulah, sebuah pesan chat dari Yudha diterimanya, dan pesan itu menjelaskan semuanya.

[Aku sudah menghubungi Direktur Rumah Sakit P. Aku minta dia membantumu selama kau di sana. Tapi tenang saja, dia tak akan membocorkan identitasmu.]

Morgan tersenyum miring. Yudha kadang memang suka memberinya bantuan yang tidak dia minta.

“Sudahlah. Tak perlu berlebihan seperti itu,” kata Morgan sambil menepuk pundak kiri Vivi.

Wanita itu menegakkan tubuhnya dan menatap Morgan. Kini dia terlihat lega.

Tadi ketika bicara dengan Jenderal Yudha di telepon, dia langsung panik saat diberitahu kalau Dewa Perang saat ini sedang berada di Rumah Sakit P untuk menjenguk istrinya yang terbaring koma.

Dalam bayangannya, Dewa Perang adalah sesosok pria bermuka seram yang suka membentak-bentak. Dia tak menyangka kalau ternyata orangnya selain tampan juga ramah.

“Tapi mungkin, ada satu hal yang bisa kalian lakukan untukku…” kata Morgan kemudian.

“Apa itu, Tuan Morgan? Katakan saja!” tanggap Vivi cepat.

“Istriku ini… dia memang sudah siuman, tapi masih butuh dirawat secara intensif beberapa lama. Pastikan dia mendapatkan perawatan terbaik yang bisa kalian berikan.”

“Baik, Tuan Morgan! Saya jamin, istri Anda akan kami tangani secara profesional dan maksimal. Dan kalau saya boleh kasih saran, mungkin sebaiknya istri Anda kami pindahkan saja ke ruang rawat inap VVVIP. Di sana fasilitas-fasilitas yang tersedia adalah yang terbaik yang kami miliki.”

Morgan mengangguk-angguk, berkata, “Ide bagus. Kalau begitu, pindahkan ke sana.”

“Baik, Tuan Morgan. Akan kami pindahkan istri Anda ke sana hari ini juga.”

“Oh ya, ada satu hal lagi…”

“Ya, Tuan?”

Morgan menatap Herman sebentar, tersenyum sarkas.

“Aku mau dokter yang menangani istriku diganti. Tak perlu kujelaskan, kan, apa alasannya?” katanya.

“Baik, Tuan. Saya mengerti. Mulai detik ini Dokter Herman tak akan lagi menangani istri Anda. Saya sendiri yang akan menggantikannya.”

Mendengar apa yang dikatakan Vivi, mata Herman membulat. Apalagi ini? Apakah wanita itu hendak mempermalukannya lagi? Bukankah tadi dia sudah mengesampingkan egonya dan meminta maaf?

“Anda dengar itu, Dokter Herman? Sekarang silakan Anda kembali ke ruangan Anda. Nanti tolong Anda ke ruangan saya untuk menjelaskan situasi pasien sejauh ini,” kata Vivi, menatap Herman dengan dingin.

Herman membuka mulut, hendak melontarkan protes, tetapi dia teringat apa yang terjadi tadi, sehingga dia pun mengurungkan niatnya.

Dia tak tahu ada apa di balik sikap hormat berlebihan Vivi kepada Morgan yang tampak sangat menggelikan di matanya itu, tapi dia akan mencaritahunya nanti.

“Baik, Bu Direktur,” kata Herman.

Setelah itu dia menatap Morgan sekilas lalu pergi, keluar dari ruang rawat inap itu.

“Ada lagi yang bisa kami bantu, Tuan Morgan?” tanya Vivi lagi.

“Saat ini cukup,” jawab Morgan, menggelengkan kepala.

“Baik, Tuan. Kalau begitu saya permisi dulu. Anda bisa ke ruangan saya nanti jika Anda butuh sesuatu. Anda pun bisa menghubungi saya lewat chat atau panggilan telepon jika Anda berkenan,” ujar Vivi.

Mereka memang belum bertukar nomor kontak atau yang semacamnya, tapi karena Jenderal Yudha tahu nomornya, Vivi pun berpikir tak akan sulit bagi Morgan untuk mendapatkan nomornya.

Lagipula jika saat ini dia menawari Morgan untuk bertukar nomor kontak itu terlalu mencolok. Tidak pada tempatnya.

Bagaimanapun dia harus bisa menjaga sikap profesionalnya, sebab dia adalah orang yang memimpin Rumah Sakit P ini.

“Silakan,” ucap Morgan, mengangguk.

Vivi membalas anggukan Morgan dengan anggukan yang lebih rendah lantas keluar dari ruang rawat inap itu.

Selepas kepergian Vivi, Melisa dan Joseph, yang sedari tadi melongo terheran-heran dengan apa yang terjadi di hadapan mereka, mulai bersuara lagi.

“Apa yang sudah kau lakukan, Sampah?! Dokter Herman adalah dokter terbaik di rumah sakit ini. Dia telah menjadi dokter Keluarga Wistara selama belasan tahun. Sekarang, gara-gara ulahmu, Agnes tak akan lagi ditangani olehnya. Kau sadar apa yang telah kau lakukan, hah?!” cerca Joseph.

“Dasar keparat! Bahkan setelah bertahun-tahun kau masih saja menyusahkan Keluarga Wistara! Sialan kau, Morgan!” maski Melisa.

Morgan tak langsung menanggapi serangan-serangan itu. Dia menatap mereka dulu satu persatu.

Menggelikan sekali orang-orang ini, pikirnya. Bahkan setelah Morgan menunjukkan kepada mereka bahwa dia bisa membuat Agnes siuman, mereka masih saja gagal memahami bahwa sosok yang bisa menyembuhkan istrinya itu adalah dia, bukan Herman atau siapa pun.

Adapun tawaran Vivi yang berkata akan menangani istrinya untuk menggantikan Herman tak diprotesnya karena dia percaya, paling tidak, wanita itu bisa menjaga Agnes dengan baik.

Dan dia pun nanti akan meminta kepada Vivi agar orang seperti Arman, yang bukan bagian dari Keluarga Wistara, tak diizinkan untuk masuk ke ruang rawat inap Agnes yang baru.

Pria brengsek itu tak layak berada di dekat istrinya!

“Agnes sekarang sudah siuman, dan hari ini juga dia akan dipindahkan ke ruang rawat inap terbaik yang dimiliki rumah sakit ini. Bukankah semestinya kalian berterima kasih padaku?” ucap Morgan, tersenyum meledek.

“Hah?! Berterima kasih katamu? Kau tahu biaya sewa ruang rawat inap VVVIP di rumah sakit ini? Kenaikannya sampai sepuluh kali lipat, Bodoh! Sepuluh kali lipat! Sekarang siapa yang mau membayarnya, hah?! Siapa?!” sergah Joseph.

Keluarga Wistara saat ini memang sedang mengalami krisis finansial. Meski sempat mendapat suntikan dana yang lumayan besar dari Arman tujuh tahun lalu, Keluarga Wistara tak bisa mengelola Wistara Group dengan baik sehingga kini mereka kembali ke titik yang sama.

Dan mereka telah menggelontorkan uang dalam jumlah yang fantastis untuk melunasi biaya operasi Agnes saat dia ditangani di IGD seminggu yang lalu.

Mereka tak bisa kehilangan uang lebih banyak lagi. Tidak di saat belum ada titik terang soal dari mana mereka akan mendapatkan kucuran dana segar untuk menyelamatkan Wistara Group dari ancaman kebangkrutan.

“Soal itu, biar aku yang tangani. Kalian tak perlu khawatir,” kata Morgan, enteng.

Tak ayal, apa yang dikatakannya itu membuat Joseph murka.

“Kau pikir kau siapa, hah?! Kau ini baru saja keluar dari penjara! Kau pikir kami percaya kau punya uang, hah?!”

“Bagaimana kalau aku memang punya?”

“Tak usah bertingkah, Morgan! Hanya karena direktur rumah sakit tadi membelamu, bukan berarti dia akan menurunkan biaya sewa kamar dan biaya-biaya lainnya! Berhentilah bertingkah seakan-akan kau orang hebat, Keparat?!”

“Kau mau kita bertaruh lagi, Joseph?”

“Bajingan! Jangan besar kepala kau, Morgan!”

“Bisakah kalian diam sebentar, Tuan-tuan?!”

Ucapan terakhir terlontar dari si suster yang sedari tadi sedang mengamati perkembangan situasi Agnes.

Dan saat ini, ketika Morgan menoleh menatap Agnes, dia mendapati istrinya itu tampak kesakitan. Bulir-bulir keringat memenuhi wajah cantik Agnes.

“Nona, coba tarik napas dalam-dalam, setelah itu keluarkan dengan perlahan,” kata si suster.

Sambil memejamkan mata, Agnes mencoba melakukannya, tetapi sekejap kemudian dia terbatuk-batuk. Bulir-bulir keringat di wajahnya semakin banyak saja.

“Agnes, kau baik-baik saja?” tanya Morgan, yang kini sudah berada di samping kiri kasur dan tengah menaruh telapak tangannya di dahi Agnes.

‘Suhu tubuhnya tinggi sekali,’ pikirnya. Dan dia pun mengecek denyut nadi Agnes di itu di pergelangan tangan istrinya itu.

Terlalu lambat! Denyut nadi istrinya itu terlalu lambat!

“Ada apa ini? Apa yang terjadi? Bukankah seharusnya kita panggil dokter?” cerocos Melisa, panik.

Tak ada waktu untuk itu. Agnes harus segera diberi pertolongan medis darurat.

Morgan pun merobek baju pasien yang dikenakan istrinya itu dari atas.

“Hey, apa yang mau kau lakukan pada putriku, Keparat?!!” teriak Melisa.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status