Share

Diusir dengan Kasar

“Agnes!” seru Melisa.

Morgan dan Joseph sontak menatap Agnes. Dan mereka mendapati, Agnes sedang mengerjap-ngerjapkan mata.

Morgan berhasil membuat istrinya itu siuman!

“Agnes, kau baik-baik saja, Nak? Kau bisa mendengar suara Mama?” tanya Melisa yang kini tengah berada di samping kanan kasur.

Agnes menggerakkan kepalanya, menoleh memandangi ibunya itu.

“Mama…” katanya.

Melisa langsung menggenggam tangan anaknya itu sambil menangis tersedu-sedu.

“Syukurlah kau sudah siuman, Nak. Syukurlah,” kata Melisa kemudian.

Agnes menatap mamanya itu dengan bingung. Lalu dia mengarahkan pandangannya ke sebelah kanannya, dan dia pun melihat Morgan.

Morgan, yang sedari tadi menahan perasaan harunya, membalas tatapan Agnes dengan senyum terhangat yang bisa diberikannya.

“Morgan… kau ada di sini?” tanya Agnes.

“Iya, Sayangku. Aku sudah bebas. Sekarang aku akan selalu ada di sisimu untuk menjagamu,” kata Morgan.

Melihat interaksi Agnes dan Morgan yang terbilang intim, Melisa langsung mendelik kepada Morgan.

“Enak saja kau bicara! Kau pikir mantan narapidana sepertimu berhak bertingkah seakan-akan kau masih suami anakku! Jangan mimpi kau!” cecarnya.

Morgan menatap Melisa dengan jengkel. Kalau saja wanita ini bukan ibu mertuanya, dia mungkin sudah menamparnya.

“Dengar ya, Sampah! Hukumanmu mungkin sudah berakhir, tapi bukan berarti kau bisa kembali ke kehidupan kami! Kami tak sudi menerima mantan narapidana sepertimu!”

“Dan sebaiknya kau segera tanda tangani dokumen perceraian yang kami kirimkan ke penjara itu. Mau sampai kapan kau keras kepala, hah?!”

“Ceraikan Agnes, supaya dia bisa cepat-cepat menikah dengan Nak Arman. Dia jauh lebih pantas menjadi suami anakku ketimbang sampah sepertimu!”

Morgan merasakan sesuatu bergejolak di dalam dirinya.

Secara terang-terangan dan kasar, di hadapan istrinya, ibu mertuanya mengatakan semua itu.

“Aku tak akan pernah menceraikan Agnes! Tak akan pernah!” kata Morgan, tegas, menatap ibu mertuanya itu dengan tajam.

“Kau! Dasar menantu sialan! Kau selalu saja menjadi masalah bagi Keluarga Wistara! Seharusnya ayah mertuaku tak pernah menikahkan putriku dengan sampah sepertimu! Seharusnya kau mati membusuk di penjara!” bentak Melisa, sambil menonjok-nonjok lengan Morgan.

“Mama… jangan…” ucap Anes, mengangkat tangan kirinya dengan susah payah.

Perhatian Morgan dan Melisa kembali tertuju pada Agnes. Melisa perlahan menurunkan tangan Agnes, memintanya untuk diam.

“Kau istirahat saja dulu, Anakku. Kau pasti masih lemas,” ucapnya pada Agnes.

Lalu dia menatap Morgan lagi. Pergi kau dari sini! Keberadaanmu di sini mengganggu putriku!” bentaknya.

Morgan mendengus. Bukankah Melisa tadi melihat sendiri bagaimana dia berhasil membuat Agnes siuman? Bisa-bisanya kini dia malah diusir?

“Apa yang terjadi di sini?!”

Seorang pria berkacamata mengenakan jas putih memasuki ruangan. Dia adalah Herman, dokter yang menangani Agnes semingguan ini.

Di belakangnya seorang suster mengekornya. Dia adalah si suster yang tadi sempat berdiri di ambang pintu mengamati Morgan yang sedang mengobati Agnes.

“Kau…. bukankah kau si pencuri dan pemerkosa itu? Apa yang kau lakukan di sini?” cecar Herman, menatap Morgan seperti menatap musuh.

Herman telah menjadi dokter pribadi Keluarga Wistara selama belasan tahun. Dan dia tahu betul kasus tujuh tahun lalu di mana Morgan dijebloskan ke penjara.

Di matanya, Morgan hanyalah seorang kriminal yang pantas dikurung di penjara. Dan dia tak suka melihat orang semacam itu ada di rumah sakit tempat dia bekerja.

“Cepat keluar! Jangan mengacau di ruang rawat inap pasien!” katanya, menunjuk ke pintu yang terbuka.

Morgan menatap Herman dan tersenyum miring.

“Aku ke sini bukan untuk mengacau. Aku datang untuk menyembuhkan istriku,” katanya.

Herman tampak terusik dengan apa yang dikatakan Morgan. Dan ketika dia melihat Agnes yang sudah siuman, dia langsung menghampirinya.

“Nona Agnes, apa yang Anda rasakan sekarang?” tanya Herman sembari melakukan pemeriksaan standar.

Tadi dia telah diberitahu oleh si suster bahwa Agnes, secara mengejutkan, telah siuman. Dan itu tampaknya ada hubungannya dengan apa yang dilakukan Morgan.

“Ini luar biasa! Anda benar-benar telah siuman, dan kondisi Anda saat ini cukup baik. Tapi, bagaimana bisa?” gumam Herman.

Dia lalu menatap si suster. Seakan tahu apa yang diinginkan Herman, si suster pun mendekat dan berkata,

“Tadi saya lihat dia menaruh telapak tangannya di dahi pasien. Dan setelah beberapa lama, pasien pun siuman.”

Tentu saja, yang dimaksudnya adalah Morgan.

“Oh, jadi orang ini yang kamu maksud tadi itu?” tanya Herman.

“Benar, Dok. Dan orang ini… tadi dia diantar oleh konvoi militer. Apakah mungkin dia ini… orang penting?” jawab si suster

Herman terbahak-bahak. Tawanya memantul-mantul di dinding kamar.

“Dia? Orang penting? Yang benar saja! Dia ini dulu dipenjara karena mencuri perhiasan-perhiasan mahal Bu Melisa. Dia ini kriminal. Kau pasti salah orang,” kata Herman.

“Dan soal dia menaruh telapak tangannya di dahi Nona Agnes, itu sama sekali tak ada hubungannya dengan fakta bahwa Nona Agnes siuman jauh lebih cepat. Kau jangan mengada-ada, Suster! Pakai otakmu!” lanjutnya.

“B-baik, Dok,” tanggap si suster, tertunduk malu. Ini bukan pertama kalinya dia dikatai kasar seperti itu oleh Herman.

“Hey kau! Kenapa kau masih di sini! Cepat angkat kaki dari rumah sakit ini! Tempat untuk kriminal sepertimu bukan di sini tapi di penjara!” hardik Herman lagi, sambil memelototi Morgan dengan mukanya yang memerah.

Herman bisa mengatakan semua itu karena Morgan saat ini sedang tak mengeluarkan aura Dewa Perang-nya.

Seandainya dia mengeluarkannya sedikit saja, jangankan menghardik, menatap mata Morgan saja dokter itu tak akan berani.

“Aku bilang cepat pergi, Sialan!!!” teriak Herman, kali ini melempar sebutir apel dari nakas ke dada Morgan.

Morgan menarik napas dalam-dalam. Tatapannya berubah dingin. Tangannya mengepal.

“Tunggu!”

Seseorang kembali muncul di ambang pintu. Kali ini

seorang wanita. Dia juga mengenakan jas putih seperti Herman.

Dia adalah Vivi, direktur Rumah Sakit P. Dan saat ini dia tampak panik.

“Nyonya Direktur!” sapa Herman, seketika mengubah sikap arogannya menjadi penuh hormat.

Vivi melirik Herman sekilas lalu mengabaikannya. Dia langsung berjalan lurus ke arah Morgan.

Dan setelah berhenti melangkah, tiba-tiba saja dia membungkuk nyaris sembilan puluh derajat.

“Maafkan kami tidak menyambut Anda dengan baik! Sebuah kehormatan seseorang sepenting Anda mengunjungi rumah sakit ini!” ujarnya.

Herman langsung tercengang. Si suster di sampingnya menutup mulutnya yang terbuka lebar dengan tangannya.

“Bu Direktur, apa yang Anda lakukan? Kenapa Anda membungkuk di hadapan kriminal ini?” tanya Herman.

Plak!

“Jaga mulut Anda, Dokter Herman, atau Anda saya pecat!” bentak Vivi, memelototi Herman.

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status