Orkan sesaat terdiam. Dia tak mengenal orang ini, tapi apa yang barusan diucapkannya seolah-olah menunjukkan kalau orang ini tahu siapa dia.“Siapa kau? Siapa yang membawamu ke sini?” tanya Orkan tegas.Morgan tersenyum mencemooh. “Siapa yang membawaku ke sini? Pertanyaan macam apa itu? Tentu saja aku sendiri. Memangnya kau melihat ada orang lain yang bersamaku saat ini?” ledeknya.Orkan mendengus. Dia tidak tahu siapa orang ini sebenarnya, tapi dia pastikan dia akan memberinya pelajaran.“Siapa itu, Orkan? Informanmu?” tanya Bamby.“Bukan. Aku tak tahu orang ini siapa,” jawab Orkan.“Hah? Maksudmu?”Orkan hendak keluar dan mengatasi pria tak dikenal yang mengaku-ngaku Dewa Perang ini sendirian, tapi dia kalah cepat.Si pria tak dikenal, yang tak lain adalah Morgan, mendoorng pintu dan memaksa masuk. Kini Bamby dan yang lainnya pun bisa melihatnya.“Halo, para Jenderal. Sedang apa kalian berkumpul di sini? Membahas rencana kudeta?” seloroh Morgan.Saat itu juga, raut muka keempat jend
Kulit muka Orkan seketika pucat. Dia seperti orang yang baru saja melihat hantu.Dan, sebelum sempat dia melepaskan tembakan lagi, Morgan sudah menerjang ke arahnya, melesakkan tinju yang menghantam pipi kirinya.“Ugh!”Sang jenderal itu terlempar dan berguling-guling di lantai. Keempat jenderal lain terkesiap. Muka mereka sama pucatnya dengan Orkan.“K-kau… s-siapa kau, Bangsat?!!” tanya Bamby dengan nada tinggi.Morgan memutar lehernya dengan pelan, menatap Bamby dengan tatapan yang menikam.“J-jangan berani-berani mendekat! Jangan mendekat atau kutembak!!” gertak Bamby sambil menodongkan pistolnya.Ketiga jenderal lain pun menodonkan pistol mereka ke arah Morgan.Morgan menatap mereka satu per satu, lalu terkekeh.“Sungguh menggelikan. Seperti inikah jenderal-jenderal tertinggi di negeri ini? Kalian membikin malu institusi militer di negeri ini!” kata Tony.“Anjing! Berani-beraninya kau menghina kami! Mulutmu itu harus dijahit!” bentak Gary.“Kau telah mengambil langkah yang salah
Sebuah helikopter akan segera mendarat di markas besar militer Kota HK. Angin bertiup kencang gara-gara baling-baling yang berputar, tapi ribuan tentara yang berbaris di situ mempertahankan sikap sempurna mereka sebagai prajurit.Ini adalah momen istimewa bagi tentara-tentara itu. Mereka sedang menyambut kembalinya Sang Dewa Perang.Morgan, Sang Dewa Perang, kembali ke kota kelahirannya itu setelah memenangkan perang yang begitu sulit di perbatasan di Utara.Ini adalah perang kesekian yang dimenangkan olehnya dalam beberapa tahun ini, dan itu semakin menegaskan posisinya yang penting di militer.Dan bukan hanya itu, rumor yang beredar mengatakan kalau Morgan pun terjun langsung ke barisan depan bersama para prajuritnya, dan dia bisa mengatasi ratusan tentara musuh seorang diri.Terlepas dari rumor itu benar atau tidak, jenderal-jenderal senior di tubuh militer menaruh hormat kepadanya. Mereka melihatnya sebagai sosok ideal yang bisa memimpin institusi militer negeri ini di masa depan
Tak lain dan tak bukan, seseorang yang baru masuk itu adalah Morgan.Tujuh tahun mengabdi di militer membentuk Morgan menjadi sosok yang berbeda. Kini dia tampak gagah, penuh percaya diri, dan berwibawa.Kalau saja Morgan melakukan operasi plastik pada wajahnya, mereka bertiga tak akan mengenalinya.“Kau! Apa yang kau lakukan di sini, Menantu Sialan?!” serang Melisa.“Kau benar-benar tidak tahu malu dan tidak tahu diri, Morgan! Setelah hal menjijikkan yang kau lakukan tujuh tahun lalu itu, masih bisa-bisanya kau menampakkan batang hidungmu lagi di hadapan kami!” sambut Joseph.Morgan menatap kedua orang itu bergantian. Lalu dia menatap Arman.Kemarahan terpancar jelas dari matanya, dan Arman yang merasakan itu refleks mundur selangkah.Kemudian, Morgan menatap Agnes. Melihat istrinya dalam kondisi seperti itu, mendadak dadanya terasa sesak.“Apa tujuanmu datang kemari, Menantu Sialan?! Tak akan kubiarkan kau mengacaukan hidup putriku lagi!” kata Melisa, dengan cepat memosisikan diriny
“Agnes!” seru Melisa.Morgan dan Joseph sontak menatap Agnes. Dan mereka mendapati, Agnes sedang mengerjap-ngerjapkan mata. Morgan berhasil membuat istrinya itu siuman!“Agnes, kau baik-baik saja, Nak? Kau bisa mendengar suara Mama?” tanya Melisa yang kini tengah berada di samping kanan kasur.Agnes menggerakkan kepalanya, menoleh memandangi ibunya itu.“Mama…” katanya.Melisa langsung menggenggam tangan anaknya itu sambil menangis tersedu-sedu.“Syukurlah kau sudah siuman, Nak. Syukurlah,” kata Melisa kemudian. Agnes menatap mamanya itu dengan bingung. Lalu dia mengarahkan pandangannya ke sebelah kanannya, dan dia pun melihat Morgan.Morgan, yang sedari tadi menahan perasaan harunya, membalas tatapan Agnes dengan senyum terhangat yang bisa diberikannya.“Morgan… kau ada di sini?” tanya Agnes.“Iya, Sayangku. Aku sudah bebas. Sekarang aku akan selalu ada di sisimu untuk menjagamu,” kata Morgan.Melihat interaksi Agnes dan Morgan yang terbilang intim, Melisa langsung mendelik kepada
Dalam sejarah Rumah Sakit P, itu adalah kali pertama seorang dokter ditampar oleh direktur rumah sakit, di hadapan pasien dan keluarga pasien.Tentu saja Herman tak terima diperlakukan seperti itu. Sebagai seorang dokter berpengalaman yang dianggap jenius oleh dokter-dokter lainnya, ditampar di hadapan orang-orang seperti ini adalah sebuah penghinaan.Kulit muka Herman memerah. Separuh karena ditampar, separuh lagi karena amarah yang mulai meluap-luap.Dia lantas menatap Vivi dengan sorot mata penuh dendam.“Bu Direktur, kenapa Anda menampar saya? Kesalahan apa yang telah saya lakukan sampai-sampai saya harus menerima penghinaan ini?!” tanyanya.Meski nada bicaranya tak tinggi, terasa sekali emosi yang kuat di situ.“Anda bertanya kesalahan Anda apa? Anda hampir saja membuat reputasi rumah sakit ini hancur! Seharusnya Anda bersyukur karena orang terhormat yang Anda singgung tak meminta saya memecat Anda saat ini juga!” balas Vivi.“Orang terhormat? Maksud Anda… kriminal ini..?”“Dokt
Morgan tak menggubris bentakan ibu mertuanya itu. Usai merobek sedikit baju pasien yang dikenakan Agnes, dia tekankan ujung jempol kanannya di dada istrinya itu, beberapa sentimeter di bawah leher.Morgan menarik napas, dan ketika dia mengembuskannya, dia menekan ujung jempol kanannya itu sembari menariknya ke bawah, membuat sebuah garis lurus hingga ke belahan dada istrinya.Apa yang dilakukannya ini adalah sebuah teknik pengobatan kuno yang bertujuan mendorong jantung memompa darah lebih cepat, yakni dengan mengalirkan energi murni yang dipusatkannya di ujung jempolnya itu.Teknik ini telah digunakan Morgan berkali-kali untuk menyelamatkan rekan atau anak-anak buahnya saat berada di medan perang, dan selalu berhasil. Kali ini pun hasilnya tak akan jauh berbeda.Akan tetapi, di mata Melisa yang tak tahu apa-apa soal teknik pengobatan kuno tersebut, Morgan tampak sedang mencoba melakukan hal tak senonoh terhadap putrinya.Tentu saja wanita paruh-baya itu murka. Bisa-bisanya Morgan me
Joseph melangkah sambil tersenyum miring, merasa dia telah memenangkan pertarungan. Lebih dari tiga puluh polisi berpakaian preman telah dikerahkannya ke tempat ini. Sekuat apa pun Morgan sekarang, mestilah dia tak akan bisa apa-apa. Joseph telah memberi lampu hijau kepada anak-anak buahnya itu unuk menggunakan senjata api apabila diperlukan. “Kapten!” salah satu polisi berpakaian preman memberi hormat kepada Joseph. Joseph membalasnya dengan malas, lalu berkata, “Lakukan sesuai rencana. Aku tak peduli cara apa yang kalian pilih, yang jelas jangan sampai orang-orang curiga kalau dalang di balik aksi pengeroyokan ini adalah polisi. Paham?!” “Siap, Kapten! Laksanakan!” jawab bawahannya Joseph. Joseph kemudian memberi isyarat dengan kepalanya agar mereka kembali melangkah. Polisi-polisi preman itu pun mendekati mobil plat merahnya Joseph. Sambil menaruh ponselnya di telinga, Joseph sekilas menoleh untuk memastikan bahwa Morgan masih terkunci di mobilnya itu. ‘Mampus kau, Morgan! I