Morgan tak menggubris bentakan ibu mertuanya itu.
Usai merobek sedikit baju pasien yang dikenakan Agnes, dia tekankan ujung jempol kanannya di dada istrinya itu, beberapa sentimeter di bawah leher.
Morgan menarik napas, dan ketika dia mengembuskannya, dia menekan ujung jempol kanannya itu sembari menariknya ke bawah, membuat sebuah garis lurus hingga ke belahan dada istrinya.
Apa yang dilakukannya ini adalah sebuah teknik pengobatan kuno yang bertujuan mendorong jantung memompa darah lebih cepat, yakni dengan mengalirkan energi murni yang dipusatkannya di ujung jempolnya itu.
Teknik ini telah digunakan Morgan berkali-kali untuk menyelamatkan rekan atau anak-anak buahnya saat berada di medan perang, dan selalu berhasil. Kali ini pun hasilnya tak akan jauh berbeda.
Akan tetapi, di mata Melisa yang tak tahu apa-apa soal teknik pengobatan kuno tersebut, Morgan tampak sedang mencoba melakukan hal tak senonoh terhadap putrinya.
Tentu saja wanita paruh-baya itu murka. Bisa-bisanya Morgan mengambil kesempatan untuk melecehkan putrinya dalam situasi kritis seperti ini?!
“Lepaskan tangan kotormu dari putriku, Keparat!” pekik Melisa, mengayunkan tangannya yang kanan ke arah Morgan, menyasar belakang kepalanya.
Hap!
Morgan menangkap tangan ibu mertuanya itu dengan tangannya yang kiri.
Lalu dia berkata, “Kalau kau ingin putrimu selamat, diamlah dan tutup mulutmu!”
Melisa langsung bergidik ketakutan. Bahkan kini tangannya yang tadi diayunkannya itu bergetar hebat.
Dikibaskannya tangan Melisa oleh Morgan. Wanita itu lalu mundur dua langkah. Dia masih menatap Morgan, tetapi yang terpancar dari kedua matanya kini adalah ketakutan.
Siapa sebenarnya orang di hadapannya ini? Apakah benar dia si menantu sampah Keluarga Wistara yang dulu dihina-hinanya itu? Sungguhkah dia telah berubah sejauh ini?
Kebingungan ibu mertuanya itu tak dipikirkan Morgan. Dia fokus pada apa yang dilakukannya: terus merangsang jantung istrinya untuk berdegup lebih cepat.
Sementara Morgan melakukan hal tersebut, si suster yang berada di sisi lain kasur mengamatinya dengan sorot mata yang memancarkan perpaduan antara kekaguman dan kecemasan.
Selama bertahun-tahun bekerja sebagai suster di Rumah Sakit P, dia belum pernah melihat sesuatu seperti ini.
Dengan pengelihatannya yang lumayan tajam, dia bisa melihat bahwa saat Morgan melakukan teknik pengobatannya yang aneh itu sebuah cahaya berwarna hijau terang tampak bersinar dari telapak tangannya—kali ini jempolnya.
Dan saat dia mendapati kondisi pasien membaik, kembali dia tercengang.
Dia pun bertanya-tanya siapa pria di hadapannya ini sebenarnya.
Apakah teknik pengobatannya ini mengungguli ilmu-ilmu kedokteran yang selama ini dia ketahui?
Pertanyaan-pertanyaan itu terus berputar-putar di kepalanya sampai akhirnya lenyap saat pasien membuka mata.
“Nona Agnes…” ujarnya.
Mendengar si suster menyebut nama istrinya, Morgan langsung menatap istrinya itu.
Wajah istrinya itu penuh keringat, tetapi raut mukanya terlihat lebih baik.
“Kau tak apa-apa, Sayangku?” tanya Morgan, masih sambil melakukan teknik pengobatannya tadi.
Agnes perlahan menatapnya. Dia tampak kesulitan bernapas.
“Morgan… aku… sesak…”
“Ah, sudah saatnya…” ujar Morgan, menarik jempolnya dan kini menaruh telapak tangannya di dada Agnes, mengalirkan energi murni miliknya ke dada istrinya itu.
Agnes tampak menarik napas panjang sambil memejamkan mata, lalu sekejap kemudian dia membuka matanya sambil mengembuskan napas.
Morgan merasa lega saat dia mendengar embusan napas istrinya itu. Wanita itu tak lagi berada dalam kondisi kritis.
“Syukurlah… masih belum terlambat…” gumamnya.
Agnes memang siuman jauh lebih cepat dari yang diperkirakan Herman, tetapi kondisinya sebenarnya masih jauh dari ideal.
Tadi mestinya dia langsung mendapatkan penanganan medis standar dari pihak rumah sakit, tetapi adu cekcok dengan Herman dan kemudian Joseph membuat Morgan lupa pada hal tersebut.
Untung saja dia masih sempat memberikan pertolongan darurat kepada istrinya itu. Kalau tidak, Agnes bisa kembali koma dan kondisinya bisa saja lebih buruk.
Sekali lagi, Morgan menarik napas lega. Dia pun menarik tangannya dari dada Agnes.
“Suster, segera urus pemindahan ke ruang VVVIP. Istri saya butuh fasilitas-fasilitas terbaik yang dimiliki rumah sakit ini,” ucap Morgan sambil menatap si suster.
Ditatap langsung seperti itu, dalam jarak yang lumayan dekat, si suster merasa malu. Tanpa disadarinya kedua pipinya yang putih itu memerah.
“Ah, baik, Tuan. Saya urus sekarang juga,” katanya, memalingkan muka dan melangkah cepat-cepat menuju pintu.
Beberapa saat lalu dia sempat memeriksa denyut nadi pasien dan dia mendapati jantung pasien telah berdegup dengan kecepatan normal.
Meski Morgan bukan dokter, dia merasa dia bisa memercayai pria itu. Pasien saat ini berada di tangan orang yang tepat.
Sementara itu di ruangan tadi, setelah kepergian si suster…
Morgan menggenggam tangan Agnes dengan lembut, mengelus-elusnya dengan tangannya yang satu lagi.
“Morgan… apa yang barusan… terjadi…?”
“Ssst… kau istirahat saja dulu, Agnes. Jangan dulu mikirin apa-apa. Rileks. Kalau perlu pejamkan dulu matamu.”
Morgan tersenyum, sebisa mungkin mencoba membuat istrinya itu tenang.
Agnes masih menatap Morgan dengan kening mengerut. Tapi, dia tak melontarkan pertanyaan apa pun lagi.
Wanita itu kemudian memejamkan matanya dan menarik-embuskan napas panjang.
“Kau… Apa sebenarnya yang baru saja kau lakukan pada adikku?” tanya Joseph.
Agak berbeda dengan tadi, kali ini tidak terasa ada arogansi dalam caranya bertanya.
Setelah dua kali melihat kondisi Agnes membaik akibat apa yang dilakukan Morgan, Joseph mau tak mau mulai berpikir jangan-jangan Moran memang menguasai ilmu pengobatan tertentu.
Namun, sejatinya hal itu pun masih belum berarti apa-apa.
Kendatipun benar karena apa yang dilakukan Morganlah kondisi Agnes membaik, tidak lantas berarti penialian Joseph terhadap Morgan berubah.
Morgan adalah adik iparnya yang tak berguna, aib bagi Keluarga Wistara. Itu tak akan berubah selamanya.
Menjawab pertanyaan Joseph, Morgan menegakkan punggungnya, berjalan mendekati kakak iparnya itu, terus mendekatinya sampai wajahnya kini berada persis di samping wajahnya Joseph.
Dan Morgan pun berbisik, “Kau tidak lupa pada taruhan kita tadi kan, Joseph? Sekarang, aku menagih janjimu. Aku ingin mendengar pernyataan darimu, bahwa Keluarga Wistara menyerahkan proses penyembuhan dan perawatan Agnes padaku.”
Sepasang mata Joseph membulat. Taruhan itu, tentu saja dia tidak lupa. Tetapi bukan berarti dia sudi mengakui kalau dia kalah bertaruh dari Morgan.
Lagipula pemimpin Keluarga Wistara bukanlah dia, melainkan ayahnya. Ayahnya akan memarahinya habis-habisan jika kini Joseph mengambil keputusan tanpa sepengetahuannya.
Joseph pun berpikir keras. Dia harus menemukan cara untuk mengelak.
“Jadi, kapan aku akan mendengar pernyataan darimu, Joseph? Haruskah aku menghitung mundur dari sekarang?” cibir Morgan,
Joseph menatap Morgan tanpa berkedip. Kedua alisnya yang tebal hampir bertemu di tengah saking kerasnya dia memikirkan cara untuk menyelamatkan mukanya.
Hingga akhirnya…. sesuatu terpikirkan olehnya, dan senyum tipis terbit di wajahnya.
“Oke, kami akan menyerahkan proses penyembuhan dan perawatan Agnes padamu, tapi sebelum itu kau harus ikut aku dulu,” ujar Joseph.
“Ke mana?” tanya Morgan.
“Ikut saja dulu. Nanti kita bahas di mobil,” jawab Joseph.
Dari raut muka licik yang ditunjukkan Joseph, Morgan tahu kakak iparnya ini merencanakan sesuatu yang buruk.
Tapi apa pun itu, dia tak takut.
Lagipula dia telah menitipkan istrinya pada Direktur Rumah Sakit P, dan dia percaya wanita itu akan menjaga istrinya dengan baik.
“Oke. Kita turun sekarang?” tanya Morgan.
Joseph mengangguk.
…
Sekitar sepuluh menit kemudian, Morgan sudah berada di mobil Joseph, duduk di jok penumpang tepat di samping kiri Joseph.
Mobil ini adalah mobil plat merah; mobil dinas yang dipakai Joseph untuk bekerja sebagai polisi.
Meski telah beberapa menit berlalu sejak mereka berkendara, Joseph belum juga menjelaskan apa pun kepada Morgan.
Morgan pun tak menyinggung hal tersebut. Dia tahu Joseph sedang merencanakan sesuatu dan, dari rasa percaya diri yang terpancar dari raut mukanya, pastilah kakak iparnya itu berpikir kalau rencananya ini akan berhasil.
Tak masalah. Morgan akan menghadapi apa pun itu ancaman yang mengadangnya.
Setelah beberapa lama, mobil plat merah itu masuk ke sebuah kawasan di pinggiran kota.
Di kawasan ini banyak ditemukan bangunan-bangunan kosong. Kebanyakan pabrik yang tak lagi beroperasi dan ditinggalkan begitu saja.
Joseph membanting setir dan membawa mobil plat merahnya itu ke sebuah jalan kecil. Di hadapan mereka, berdiri salah satu bangunan kosong itu.
Mobil berhenti tepat di depan bangunan kosong tersebut. Mesin dimatikan.
“Aku tak tahu apa saja yang kau alami atau pelajari selama kau dipenjara. Harus kuakui, Morgan, kau saat ini jauh berbeda dari kau tujuh tahun lalu. Tapi, aku ingin tahu apakah kau bisa mengatasi ini,” ujar Joseph.
Saat itu juga, pria-pria muncul dari sisi kiri dan kanan bangunan itu, juga dari belakang mereka.
Beberapa dari mereka membawa benda tumpul berbahaya seperti linggis dan balok kayu.
Ada juga yang tampak membawa senjata api.
Klik!
Wuiw wuiw!
Joseph turun, menutup pintu dan langsung menguncinya.
“Selamat menikmati, Adik Ipar,” kata Joseph, tersenyum sambil melambaikan tangan.
…
Kulit muka Orkan seketika pucat. Dia seperti orang yang baru saja melihat hantu.Dan, sebelum sempat dia melepaskan tembakan lagi, Morgan sudah menerjang ke arahnya, melesakkan tinju yang menghantam pipi kirinya.“Ugh!”Sang jenderal itu terlempar dan berguling-guling di lantai. Keempat jenderal lain terkesiap. Muka mereka sama pucatnya dengan Orkan.“K-kau… s-siapa kau, Bangsat?!!” tanya Bamby dengan nada tinggi.Morgan memutar lehernya dengan pelan, menatap Bamby dengan tatapan yang menikam.“J-jangan berani-berani mendekat! Jangan mendekat atau kutembak!!” gertak Bamby sambil menodongkan pistolnya.Ketiga jenderal lain pun menodonkan pistol mereka ke arah Morgan.Morgan menatap mereka satu per satu, lalu terkekeh.“Sungguh menggelikan. Seperti inikah jenderal-jenderal tertinggi di negeri ini? Kalian membikin malu institusi militer di negeri ini!” kata Tony.“Anjing! Berani-beraninya kau menghina kami! Mulutmu itu harus dijahit!” bentak Gary.“Kau telah mengambil langkah yang salah
Orkan sesaat terdiam. Dia tak mengenal orang ini, tapi apa yang barusan diucapkannya seolah-olah menunjukkan kalau orang ini tahu siapa dia.“Siapa kau? Siapa yang membawamu ke sini?” tanya Orkan tegas.Morgan tersenyum mencemooh. “Siapa yang membawaku ke sini? Pertanyaan macam apa itu? Tentu saja aku sendiri. Memangnya kau melihat ada orang lain yang bersamaku saat ini?” ledeknya.Orkan mendengus. Dia tidak tahu siapa orang ini sebenarnya, tapi dia pastikan dia akan memberinya pelajaran.“Siapa itu, Orkan? Informanmu?” tanya Bamby.“Bukan. Aku tak tahu orang ini siapa,” jawab Orkan.“Hah? Maksudmu?”Orkan hendak keluar dan mengatasi pria tak dikenal yang mengaku-ngaku Dewa Perang ini sendirian, tapi dia kalah cepat.Si pria tak dikenal, yang tak lain adalah Morgan, mendoorng pintu dan memaksa masuk. Kini Bamby dan yang lainnya pun bisa melihatnya.“Halo, para Jenderal. Sedang apa kalian berkumpul di sini? Membahas rencana kudeta?” seloroh Morgan.Saat itu juga, raut muka keempat jend
“Kau Sang Dewa Perang?” tanya Bernard, menatap Morgan tak percaya.Lagi-lagi Morgan hanya mengangkat alisnya dan tersenyum miring. Bernard pun jadi kesal.“Yudha, apa maksudnya ini? Kalau ini guyonan, sungguh ini guyonan yang buruk. Kau pikir aku percaya si anak muda yang songong ini adalah Sang Dewa Perang?” tanya Bernard sambil menatap Yudha.“Ini bukan guyonan, Bernard. Morgan memang Sang Dewa Perang,” jawab Yudha.“Apa? Jadi ini serius?”“Ya, tentu saja. Kau pikir aku akan begitu saja mengabdikan diriku pada sosok lain di militer selain Sang Dewa Perang?”Bernard menatap Yudha dengan alis hampir menyatu di tengah.Yang dikatakan Yudha itu masuk akal. Untuk apa juga dia begitu hormat dan percaya kepada seorang anak muda jika bukan karena si anak muda ini sesungguhnya sosok yang spesial.Tapi, benarkah Morgan rupanya sespesial itu?Bernard kembali menatap Morgan, memandangi wajahnya, mengamati gerak-geriknya.Dia memang belum pernah bertemu dengan Sang Dewa Perang. Selama ini dia me
Morgan membawa Bernard ke markas militer Kota HK. Di sana, sudah menunggu Kris dan Yudha.Bernard sebenarnya bertanya-tanya untuk apa Morgan membawanya ke sana, tapi dia tek mengutarakannya.Ini kali pertamanya dia memasuki markas militer Kota HK yang berada dalam tanggung jawabnya Yudha. Dia sepenuhnya waspada, berjaga-jaga kalau-kalau Morgan tiba-tiba menjerumuskannya ke dalam bahaya.“Tenang saja, Jenderal. Kau sekarang bagian dari kami. Di sini kau aman,” kata Morgan sambil tersenyum miring, seakan mendengar apa yang digumamkan Bernard di dalam kepalanya.Bernard hanya membalas dengan lirikan kesal. Dia arahkan lagi matanya ke luar jendela, mengamati apa-apa yang ada di markas militer tersebut.Tak lama kemudian, mereka berdua berjalan ke ruangan tempat Morgan biasa bertemu dengan Kris dan Yudha untuk menyusun strategi.“Dari gerak-gerikmu, sepertinya kau sudah terbiasa ke sini. Tadi saja di depan tentara-tentara itu membiarkanmu masuk begitu saja tanpa kau perlu menunjukkan muka.
“Kenapa? Apa kata-kataku kurang jelas?” tanya Morgan sambil duduk lagi di kursi, menyilangkan kaki dan tersenyum mengejek.Bernard menatapnya dengan benci. Orang ini benar-benar meremehkannya. Ini bukan lagi penghinaan baginya, melainkan lebih dari itu.“Kau ingin aku berada di pihakmu dan melawan para jenderal yang merupakan orang-orang penting di militer saat ini? Apa kau gila?” protes Bernard.Morgan mengangkat bahu, berkata, “Kenapa memangnya? Kau takut? Kau tak punya nyali untuk menentang mereka? Begitu, Jenderal?”Morgan lagi-lagi mengakhiri kata-katanya dengan senyum mengejek. Tak ayal itu membuat Bernard mendengus seperti banteng.“Lagi pula, Jenderal, bukankah aku yang memenangkan taruhan? Dan bukankah tadi kau bilang kalau ucapanmu bisa dipegang karena itu bagian dari prinsipmu?” sindir Morgan.Bernard kembali mendengus. Kebencian di matanya itu menyala-nyala. Tangan kanannya yang baru saja disembuhkan Morgan itu kini terkepal.Morgan menyadari betul apa yang dirasakan Berna
Morgan melangkah tenang sementara Bernard mundur dengan mata membulat. "Kenapa, Jenderal? Kau seperti sedang melihat hantu saja," sindir Morgan. "Kau! Apa yang kau lakukan pada Matthew?!" Bernard menyalak sambil terus mundur menjinjing kopernya. Mengabaikan pertanyaan Bernard, Morgan melirik koper hitam itu. "Sepertinya itu koper istimewa sampai-sampai kau membawanya di saat-saat seperti ini, Jenderal. Aku penasaran apa isinya," ucap Morgan. "Sialan! Jangan main-main kau denganku, ya!!" teriak Bernard, menjatuhkan koper hitamnya lalu mengambil pistol, mengarahkannya pada Morgan. Bernard melakukannya dengan cepat, tetapi Morgan sudah mengantisipasinya. Dengan gerakan yang tak kalah cepat, Morgan memegangi tangan Bernard yang besar lalu memelintirnya. "Arrgghhh!!"Pistol di tangan Bernard itu terjatuh. Morgan menendangnya. Pistol itu bergeser jauh ke belakang Bernard. "Kau tak tahu siapa orang yang kau hadapi, Keparat! Kau tak tahu neraka seperti apa yang akan menantimu kalau k
Sebuah drone terbang di langit malam Kota HK, di atas sebuah hotel 12 lantai.Sesekali lampu kecil di bawahnya berkedip-kedip. Dalam setiap kali lampu itu berkedip, sebuah gambar terambil dan terkirim ke pusat pengendali.Drone itu dikendalikan oleh sebuah unit pasukan yang beroperasi tak jauh dari hotel. Mereka adalah tentara-tentara yang dikirim oleh Kris untuk sebuah misi khusu yang sangat rahasia.Setelah foto-foto itu sampai di pusat pengendali, segera mereka diolah dan dikirim ke Morgan.Morgan menerimanya lewat ponselnya. Dengan cara itulah dia memantau gerak-gerik Bernard.Selain gerak-gerik Bernard, Morgan juga memantau apa-apa yang dikatakan Bernard.Drone itu telah menembakkan sesuatu sejak sekitar satu jam yang lalu ke kamar hotel yang ditempati Bernard itu.Sesuatu itu bukan peluru, melainkan alat perekam kecil yang menempel di kusen jendela kamar.Teknologi canggih memungkinkan peluru itu berubah warna sesuai tempat dia menempel, sehingga mustahil bagi Bernard untuk meny
“Siapa ini? Apa yang terjadi pada Matthew?”Bernard menanyakannya dengan nada tinggi. Matanya membulat.[Kau tahu siapa aku, Bernard. Dan sekali lagi kuingatkan: bersiap-siaplah. Selanjutnya kaulah orang yang akan kuburu dan kuhukum.]Tuuut…. tuuut… tuuut…Panggilan diakhiri begitu saja oleh si penelepon.Bernard tahu, orang yang bicara padanya barusan itu adalah Morgan.Pertanyaannya kemudian: apa yang terjadi pada Matthew?Fakta bahwa Morgan meneleponnya dengan menggunakan nomor Matthew menunjukkan kalau saat ini Morgan berada di dekat Matthew, atau dia baru saja mengambil ponselnya Matthew.Matthew tak mungkin meminjamkan ponselnya pada Morgan. Itu artinya, situasi Matthew sedang tidak baik-baik saja. Bernard khawatir Morgan telah menghabisinya.Disamping hubungan pertemanan yang cukup dekat akibat menjalin kerja sama bertahun-tahun dengan Matthew, Bernard melihat Matthew sebagai sosok krusial yang perannya sangat signifikan dalam rencana kudeta mereka.Tanpa Matthew, kudeta itu ta
“Kau! Bagaimana bisa?”Matthew terbelalak. Dagunya seperti akan jatuh.Dia yakin betul kelima peluru tadi bersarang di tubuh Morgan. Lantas, bagaimana bisa Morgan masih bisa berdiri?Bahkan tanpa kelima peluru itu saja, Morgan mestinya sudah lumpuh gara-gara racun yang menyebar di tubuhnya.Dan pertanyaannya itu terjawab saat Matthew menemukan sesuatu yang janggal di tubuh Morgan.Kelima peluru itu memang bersarang di tubuh Morgan, tapi entah kenapa, kini mereka berlima keluar, seperti ada sesuatu yang mendorongnya dari dalam.Peluru-peluru itu pun jatuh ke lantai. Tubuh Morgan sendiri, tepatnya titik-titik di mana peluru itu tadi bersarang, dengan cepat pulih. Tak ada lagi luka atau apa pun.‘Apa maksudnya ini? Apa dia monster?’ pikir Matthew, masih terbelalak.Saat dia menatap wajah Morgan lagi, didapatinya Morgan menyeringai dan menerjangnya.Gerakan Morgan terlalu cepat untuk dia antisipasi. Belum juga dia mengangkat tangannya, Morgan sudah menonjoknya, tepat di muka.Brughhh!Mat