“Jangan dimakan dulu!”
Teriakan salah satu pengasuh itu otomatis membuat Ben tersentak. Terburu-buru ia membuka bingkisan miliknya, wajahnya merengut seketika saat melihat bintik-bintik hijau yang menghiasi sepotong roti.
Ben kembali merogoh ke dalam kantong kertas itu, mengambil sebatang coklat, sebungkus keripik, dan wafer. Semua camilan itu dalam keadaan yang tidak pantas. Coklatnya telah meleleh hingga tidak lagi berbentuk segi empat yang rapi, sementara bungkusan keripik serta wafer terlihat sobek di beberapa bagian. Ada pula sebotol susu yang sudah berubah warna menjadi lebih gelap serta menggumpal. Bau masam menyeruak ke luar. Tanpa ragu Ben melempar semua makanan itu ke sembarang arah.
“Tega sekali! Bisa-bisanya mereka memberikan makanan seperti ini kepada anak-anak!” Terdengar para p
“Kamu di mana? Begitu hari sedikit lebih terang, aku akan pergi menemuimu!” Thalia masih berbicara meski tidak satu kali pun Ben menanggapi. Pria itu tidak kunjung mampu mengatakan sepatah kata pun karena tidak tahu apa yang telah ia katakan kepada mantan istrinya itu.Untuk pertama kalinya, Ben menyadari betapa berbahayanya mabuk-mabukan hingga tidak sadarkan diri. Mungkin akan lebih baik jika ia meminum obat tidur secukupnya lalu melewatkan malam hari dengan tenang tanpa melakukan hal yang tidak akan ia ingat di pagi hari.Sayangnya, semua sudah terlanjur terjadi. Tampaknya dalam keadaan tidak sadar pun Ben telah berhasil menumpahkan seluruh keluh kesahnya kepada sang mantan istri, kini ia harus mencari cara untuk membereskan semuanya agar tidak terlalu merusak hubungan yang masih tersisa di antara mereka.
“Uang dari mana? Cepat katakan! Kamu, kan, cuma tukang ikan! Tidak mungkin kamu mampu membeli rumah ini!” Elina terus menuntut Ben sambil melangkah maju, menyudutkan sang mantan menantu. “Tadi aku juga lihat mobil mewah di garasi! Bagaimana kamu bisa jadi sekaya ini dalam waktu singkat? Apa yang telah kamu lakukan?!”“Tenang dulu, Elina.” Kedua tangan Ben terulur ke depan dengan kaku. Ragu apakah ia boleh menyentuh wanita di depannya atau tidak. Sementara itu, Thalia juga tidak bisa berbuat apa pun untuk menghentikan tingkah ibunya yang agresif.“Bagaimana aku bisa tenang? Sebenarnya apa tujuanmu memanggil anakku? Apa kamu berniat untuk menggodanya lagi dengan semua harta kotormu ini?”“Sama sekali tidak! Ada kesalahpahaman di sini,” sanggah Ben cepat. Seki
Penampilan urakan dengan tindik di bawah bibir bukanlah hal yang aneh di kota Patah, tetapi apabila dipadukan dengan rambut cepak hitam kemerahan yang sangat terlihat tidak cocok dengan bola mata abu-abu kebiruan, siapa pun tidak akan mampu menahan diri untuk tidak menatap sedikit lebih lama.Denver sudah sangat terbiasa dengan itu. Ia justru akan dengan senang hati mengedipkan salah satu matanya kepada setiap pejalan kaki yang menatapnya aneh. Terutama para wanita cantik yang mengenakan baju kurang bahan, mereka adalah pemandangan favorit Denver.Namun, kali ini ia tidak bisa menikmatinya seperti biasanya, karena ada begitu banyak hal yang mengganjal di dada. Seharusnya ia mencurahkan semua beban itu kepada Ben hari ini dan melupakannya, sayang sekali Ben sedang tidak bisa diganggu dan Sander bersikeras menjauhkan Denver dari pria itu.
“Kamu yakin? Kita bisa cari tempat lain,” tanya Ben setelah suara musik di ruangan yang mereka masuki tidak terlalu menggema. Ia berjalan mengikuti Thalia dengan waspada, berhati-hati agar tidak menyenggol kerumunan di sekitar. “Tawaranku masih berlaku. Ayo, kita cari restoran saja. Semahal apa pun itu, akan kubayar.”Thalia lantas terkekeh. Tubuhnya berbalik sebentar hanya untuk menarik tangan Ben, memintanya untuk mempercepat langkah. “Aku tahu sekarang kamu sudah kaya, tapi kita tidak boleh ke restoran.”Ben mengerutkan kening kebingungan. Otaknya tidak bisa bekerja dengan maksimal di tempat yang terlalu ramai seperti ini, apalagi kini ia tepat berada di belakang Thalia yang berdandan dengan sedikit berbeda dari beberapa jam lalu.Mantan istrinya itu saat ini dengan sengaja mem
“Nanti setelah Ayah dapat uang, kita langsung beli di pasar, ya.” “Beneran?” “Bener, dong. Kapan Ayah bohong sama Alisya?” Alisya kecil tersenyum lebar, memperlihatkan deretan gigi depannya yang ompong. Jejak coklat cair menghiasi sekitar bibirnya, membuatnya semakin terlihat menggemaskan. “Tapi Ayah udah izin sama Ibu?” Ben yang baru saja hendak menggantungkan pakaiannya ke dalam lemari tanpa pintu miliknya tanpa sengaja menyenggol setumpuk gantungan baju yang baru ia beli. Belasan gantungan yang terbuat dari kawat itu berjatuhan, membuat Ben segera memungutinya dengan panik sambil melirik ke sana kemari. Ia terkekeh dengan canggung sebelum menjawab pertanyaan Alisya. “Gak perlu. Ibu pasti mau juga.” “Mau apa?” Wajah Alisya berubah sumringah mendapati Thalia telah berdiri di depan pintu kamar mereka. Dengan lincah kaki-kaki kecilnya berlari menghampiri sang ibu yang lantas menangkapnya ke dalam pelukan hangat. Berbeda dengan gadis kecil itu, Ben justru terlihat terkejut dengan
Lima tahun berlalu begitu saja sejak pertama kali Thalia mengancam Ben untuk bercerai. Setelah dipikir-pikir lagi, wanita itu telah bertahan cukup lama hingga akhirnya benar-benar memutuskan untuk mengakhiri pernikahan mereka berdua. Ben merasa sangat menyesal setiap kali memikirkan betapa tersiksanya Thalia selama berusaha mempertahankan keluarga mereka agar tetap utuh. Lima tahun bukan waktu yang singkat. Thalia sungguh telah berjuang semaksimal mungkin.Ben hampir saja terpejam menikmati semilir angin yang berembus pelan. Sebisa mungkin ia menikmati waktunya berjalan kaki di jalanan sepi setelah menempuh perjalanan yang cukup jauh menggunakan kendaraan umum. Sayangnya, pikirannya masih penuh oleh kesedihan masa lalu serta pengakuan dari Thalia yang mabuk tempo hari hingga sulit baginya untuk benar-benar relaks. Perasaan bersalah juga semakin menghantui setelah ia sadar bahwa ia telah menunda penyelidika
“Aku selalu menunggu saat yang tepat untuk memberitahukan identitasmu, tapi sayangnya, sejak pertama kali kita bertemu pun aku sudah cukup tua, mudah lupa, dan sering ragu.” Setelah beberapa jam berlalu, Rossa akhirnya kembali bisa berbicara dengan lancar tanpa membutuhkan terlalu banyak jeda. Perempuan lanjut usia itu menyingkirkan beberapa kardus berdebu yang berada di sekitar mereka.Terlalu terpana melihat bagian dalam gudang Panti Asuhan yang tidak pernah ia masuki membuat Ben hampir saja membiarkan Rossa melakukan pekerjaan berat seorang diri. Dengan terburu-buru ia mengambil alih kardus-kardus di tangan Rossa. “Usia hanyalah angka. Baik dulu maupun sekarang, kamu masih tetap cantik dan bersinar,” pujinya dengan sangat tulus. Senyum hangat berkembang di wajahnya.Rossa menggelengkan kepala, tidak percaya pada apa yang didengarnya.
“Rossa, tenang dulu. Coba beritahu aku, benda apa sebenarnya yang kamu cari?”Entah sudah keberapa kalinya Ben bertanya seperti itu, tetapi Rossa tidak kunjung menjawab dengan pasti. Perempuan paruh baya itu hanya terus mengatakan bahwa ia harus menemukan sesuatu yang ia sendiri tidak tahu apa itu. Mereka bahkan sudah mengelilingi Panti Asuhan sebanyak tiga kali, memasuki setiap ruangan serta mengintip setiap celah dan tempat tersembunyi. Namun, hasilnya nihil. Rossa terus saja kebingungan dan gelisah.“Aku merasa aku harus menemukannya.” Lagi-lagi Rossa hanya memberikan jawaban yang sama.Putus asa, akhirnya Ben menuntun Rossa menuju gedung utama, tempat di mana anak-anak serta para pengasuh lain berkumpul. Tidak butuh waktu lama untuknya menemukan Mayang yang tengah membacakan buku untuk pa