LOGINMalam kini semakin larur dan Istana kini terasa sunyi, hanya ada suara gesekan angin malam yang menyusup melalui celah jendela.Di sebuah ruangan pribadi yang dipenuhi aroma bunga kering dan wewangian mahal, Ratu Ardelia duduk di depan cermin besar. Jemarinya menyisir rambutnya perlahan, ekspresinya tenang… terlalu tenang.Pintu diketuk sekali.“Masuk,” ucap Ratu Elean datar.Jagatra masuk dengan langkah pelan, meski suaranya terdengar penuh keyakinan “Ibu.”Ardelia menatapnya dari refleksi cermin, tanpa berbalik. “Ada apa?”Jagatra berdiri di belakangnya. Tatapannya sulit dibaca. “Tentang rumor mengenai Audina. Aku berencana menyelidiki langsung.”Sisir di tangan sang ratu terhenti sejenak. Tapi hanya sebentar, lalu kembali bergerak seperti tak terjadi apa-apa.“Jika itu hanya soal seorang pelayan, kau tidak perlu repot, Nak,” ujar Ardelia tenang. “Kerajaan punya hal yang lebih penting daripada ikut campur dalam urusan kecil dan mengotori reputasi keluarga raja karena seorang gadis k
Suasana ruang makan keluarga kerajaan malam itu terasa jauh dari hangat. Lilin-lilin besar menyala dengan tenang, menyebarkan cahaya keemasan ke seluruh ruangan, tapi atmosfer di dalamnya terasa seperti dingin yang disengaja.Jagatra duduk dengan wajah datar, nyaris tak menunjukkan emosi. Ia makan tanpa benar-benar merasa lapar. Sementara itu, Kaesar duduk tidak jauh darinya, tampak santai… mungkin terlalu santai.Ratu Ardelia memperhatikan kedua putranya. Ia tahu suasana aneh ini bukan sekadar karena kasus tuduhan yang menimpa seorang pelayan. Ada sesuatu yang lebih besar yang sedang tumbuh diam-diam, berlapis luka dan ambisi.Setelah beberapa saat, Kaesar menaruh sendoknya. “Kakanda tampak tidak tenang,” ujarnya ringan, seolah tidak bermaksud apa-apa.Jagatra tidak menjawab ia hanya diam sambil terus memakan makanannya.“Apa karena pelayan itu?” Kaesar mencondongkan tubuhnya sedikit ke depan, senyumnya sangat tipis. “Oh… atau lebih tepatnya wanita itu.”Sunyi tiba-tiba menggantung t
Malam di istana terasa lebih dingin dari biasanya. Langit begitu gelap, nyaris tanpa bintang. Udara membawa kesunyian yang aneh, seolah tengah menyimpan rahasia besar yang menunggu untuk pecah kapan saja.Jagatra berdiri sendirian di balkon kamarnya. Jubah tidurnya terayun pelan tertiup angin. Matanya tak fokus melihat halaman istana yang diterangi obor. Dalam pikirannya, bayangan wajah Audina muncul lagi dan lagi mata yang sempat ketakutan ketika ia dituduh, bibir yang berusaha kuat meski jelas gemetar.“Tuduhan mereka… adalah caramu melukaiku juga, Kaesar,” gumamnya pelan, suaranya mengandung rasa sakit yang ia tahan sendirian."Menyakiti orang yang aku cintai sama saja kalau kau menyakitiku, apa itu tujuanmu yang sebenarnya Kaesar."Tangannya mengepal di pagar marmer. Meski ia tak mengatakan apa pun di hadapan keluarganya, amarah itu tidak hilang. Justru malam ini, ia mulai menyadari sesuatu bahwa jika ia terlalu lama diam, maka ia akan terlalu lama menerima luka tanpa melawan.Nam
Angin sore berhembus pelan di halaman istana, tapi suasananya jauh dari tenang. Di ruang rapat kecil yang biasanya digunakan para penasihat kerajaan dan beberapa bangsawan berkumpul. Wajah mereka serius, sebagian malah tampak seperti menunggu pertunjukan yang menarik.Di meja utama, Kaesar duduk dengan ekspresi datar tapi penuh kendali. Di sebelahnya, seorang pejabat istana muda bernama Lord Amsyar yang dikenal licik dan ambisius membuka gulungan laporan dengan suara lantang.“Ada laporan dari penjaga wilayah timur kota. Seorang gadis rakyat biasa… disebut-sebut sering terlihat bersama Pangeran Jagatra di luar istana.”Ruang itu seketika dipenuhi gumaman pelan.Kaesar tampak terkejut, tapi terlalu halus untuk terlihat seperti benar-benar terkejut. Cristian, yang duduk bersandar tidak jauh dari situ, hanya menatap dengan tatapan penuh analisa… seolah ingin melihat ke arah mana arah angin akan berhembus.Lord Amsyar melanjutkan dengan nada yang dibuat penuh khawatir.“Dikabarkan bahwa
Pagi itu, ruang latihan prajurit dipenuhi suara denting pedang. Matahari baru saja muncul, namun suasana sudah cukup ramai. Para bangsawan muda dan pewaris keluarga besar berkumpul, bukan hanya untuk berlatih… tapi juga untuk mengamati.Dan mereka menunggu satu orang: Pangeran Jagatra.Jagatra datang dengan langkah tenang seperti biasa. Tatapannya masih sama datar namun penuh wibawa. Tapi hari ini, sebagian mata yang tertuju padanya… tidak lagi berisi kekaguman.Melainkan keraguan.Bahkan sebagian… meremehkan.Bisikan halus mulai terdengar begitu ia melangkah masuk.“Katanya ia sering menyelinap keluar istana akhir-akhir ini…”“Apa benar pangeran Jagatra jatuh cinta pada gadis biasa?”“Seorang calon raja… tertarik pada penjual bunga?”“Kalau perasaannya mudah goyah begitu, bagaimana mau memimpin kerajaan?”Setiap kata itu seperti duri yang dilemparkan ke udara. Tak menyentuh langsung… tapi menusuk secara perlahan.Mekipun begitu Jagatra memilih untuk pura-pura tak mendengar.Sedangkan
Malam di istana terasa lebih dingin dari biasanya. Langit begitu gelap, Di salah satu balkon tersembunyi yang menghadap ke halaman latihan prajurit, Kaesar berdiri sendirian. Mata tajamnya menatap langit, tapi pikirannya melayang entah ke mana.Ia menggenggam pagar batu dengan erat. Di kepalanya, satu nama terus bergema: Jagatra.“Kau terlalu lembut, Kakanda…” gumamnya pelan. “Dan kelunakan itu… akan menghancurkanmu.”"Kenapa kau begitu goyah hanya karena seorang gadis kakanda? aku nggak habis pikir seseorang yang dulunya tangguh, penuh pendirian, kuat, dan lebih mementingkan kerajaan kini rapuh hanya karena seorang gadis biasa? aku nggak akan membiarkanmu menjadi raja kakanda, karena kau sudah tak pantas menduduki gelar itu.." gumam Kaesar.Kaesar bukan tak sayang pada kakaknya. Tapi sejak kecil, ia tumbuh di bawah bayang-bayang Jagatra yang selalu menjadi yang terbaik, paling dikagumi, paling dipercaya. Dan kini, ketika posisi itu mulai terlihat goyah hanya karena seorang gadis bung







