Masuk"Kupikir kau tidak akan datang," ucap Clarissa, senyumnya surut begitu melihat ada Stephanie bersama Dama. Clarissa melambaikan tangannya ke arah sebuah pintu di ujung ruangan. "Ayo ke ruangan ku, kita bicara di sana."Dama mengamati setiap alat musik yang terpajang, didominasi oleh biola dan piano, yang lain tidak begitu banyak. Itu bukan sekedar galeri, Clarissa juga menyediakan tempat latihan, Cla Academy. Di salah satu sudut, Dama melihat koleksi biola yang tampak sangat antik."An, buatkan teh dua gelas! Yang hangat ya," perintahnya pada asistennya.An belum melangkah, matanya menangkap isyarat dari Clarissa. "Ah ya, maaf, maksudku hanya aku dan Dama. Kami perlu bicara pribadi. Stephanie, bisakah anda menunggu di luar sebentar?" Clarissa menatap Stephanie dengan senyum yang dipaksakan.Sebelum beranjak, Stephanie meminta persetujuan Dama dengan pandangan mata, Dama mengangguk tipis. Kini tinggal mereka berdua di dalam ruangan yang beraroma kayu cendana."Nona Stephanie belu
Suasana di lantai atas terasa memanas. Tiba-tiba, suara langkah kaki terdengar menaiki tangga."Nirin, ada apa ini? Hasa, kau kenapa ada di sini?" Rupanya Don sudah kembali ke atas. Ekspresi bingung dan sedikit terkejut terpancar jelas di wajahnya melihat dua wanita itu.Nirin memalingkan wajahnya, raut mukanya masih menunjukkan kemarahan yang membekas pada Don. Sementara itu, Hasa terlihat lebih tenang, namun tatapannya serius saat menatap Don."Jangan tinggalkan dia di tempat ekstrem begini." Setelah mengucapkan kalimat dingin itu, Hasa segera berbalik. Niatnya untuk mencari udara segar di luar sirna sudah. Dia turun ke bawah dan kembali ke area pesta. Anehnya, Dama sudah tidak terlihat di sana.Hasa memutuskan untuk melangkah keluar. Ternyata, Dama sedang berdiri di dekat mobilnya, asyik bercerita dengan wanita yang sempat dilihat oleh Hasa tadi. Begitu menyadari kehadiran Hasa, Dama langsung sigap menghampirinya."Kenapa lama sekali? Aku pikir kau sudah pulang?" sapa Dama, na
Di tengah keramaian acara, Nirin mulai dilanda gelisah. Waktu berlalu terasa lambat dan mengkhawatirkan. Don, kekasihnya, pamit ke toilet, namun kepergiannya terasa sangat tidak wajar, melebihi batas normal seseorang buang air. Kekhawatiran mencekik Nirin, mendorongnya untuk menyusul. Namun, baru saja ia beranjak, langkahnya terhenti. Dari arah berlawanan, ia berpapasan dengan seorang wanita yang familier—Hasa.Hasa melangkah tanpa tujuan pasti, pikirannya melayang-layang. Ada perasaan aneh, semacam sensasi dejavu yang kuat saat ia bersirobok dengan gadis itu. Ia mencoba mengabaikannya, tetapi saat ia berjalan, ingatan itu menyeruak dengan kejam. Hasa tersentak. Dia ingat sekarang. Wanita ini! Inilah gadis yang pernah menghampiri mereka saat ia masih bersama Don. Lebih menyakitkan lagi, Hasa ingat jelas gadis inilah yang duduk di mobil Don saat lelaki itu memutuskan hubungan mereka, mengakhiri kisah mereka dengan dingin.Tak ingin tenggelam dalam pusaran kepahitan masa lalu, Hasa meng
Suasana di kediaman Huston terasa mencekam, diselimuti bayangan kekhawatiran yang tebal. "Kita tidak butuh waktu lagi, sebaiknya nikahkan Dama dan Hasa secepatnya," ujar Rania, suaranya mengandung urgensi yang tak terbantahkan. Kejadian mengerikan yang hampir merenggut nyawa Hasa sudah ia ketahui secara rinci."Kenapa terburu-buru, gadis itu baru saja sembuh. Biarkan mereka saling mengenal lebih jauh. Lagi pula kau sendiri yang meragukan perasaan wanita itu terhadap Dama," balas Nenek Mori, nadanya lebih tenang namun penuh pertanyaan. Ia memandang Rania dengan sorot mata yang mencari penjelasan."Hanya dengan cara itu wanita itu terlindungi," jawab Rania singkat, raut wajahnya menunjukkan keputusan yang sulit.Nenek Mori mengerutkan kening. "Maksudmu? Apa terjadi sesuatu dengan Hasa?" Ia belum mendengar detail mengerikan di balik kecelakaan yang menimpa Hasa.Rania menarik napas perlahan. "Ibunya Sarah adalah dalang di baliknya," ia menyebut nama itu dengan ketidakpercayaan dan kekesa
Dua orang bertubuh besar itu saling pandang, lalu serempak mengalihkan fokus mereka ke daun pintu kamar yang tertutup rapat. Mereka mulai mengatur jarak memundurkan kami, mengambil ancang-ancang penuh tekad untuk mendobraknya.Brak..Bunyi benturan keras terdengar, namun daun pintu itu masih kokoh pada tempatnya. Wajah mereka menunjukkan sedikit kekesalan. Gagal, mereka tidak menyerah. Mereka mencoba lagi secara bergantian, menguras tenaga."Pencuri, pencuri..."Teriakan nyaring itu memecah kesunyian lingkungan. Di lingkungan kecil dengan rumah-rumah yang jaraknya cukup rapat, kegaduhan yang mereka timbulkan menarik perhatian. Para tetangga yang curiga melihat dua orang asing yang tampak mencurigakan itu langsung berteriak waspada."Ayo lari."Kedua orang itu sontak menghentikan usaha mereka. Mereka memilih untuk lari ke arah pintu belakang, menyelinap dengan cepat melewati gang-gang kecil. Mereka bergerak begitu gesit dan lincah, sehingga warga yang tadi berteriak-teriak tidak
"Apa-apaan ini? Kalian tidak berhak membawa saya ke kantor polisi." Sarah berteriak melawan polisi wanita yang hendak memborgol tangannya.Tidak menunggu lama, selesai Antony mengaku, polisi langsung bergerak ke rumahnya. Karena dia sudah dicurigai atas pemberitahuan dari Hasa.Matanya menyala marah mencoba membuat para polisi merasa terintimidasi. Raut wajahnya menunjukkan penolakan keras atas penahanan tersebut."Anda ditahan atas kasus pembunuhan berencana?" jelas polisi yang ikut menangani kasus Hasa. Suaranya terdengar tegas dan tanpa kompromi.Sarah berusaha menutupi keterkejutannya. "Kalian pasti salah orang." Jantungnya berdebar kencang, menyadari situasinya jauh lebih serius."Tuduhannya jelas, orang yang anda suruh sudah mengakui semuanya," ujar polisi. Senyum tipis kemenangan tak lepas dari bibirnya.Sarah langsung teringat pada Antony, tangannya mengepal dikedua sisi. Dia sudah salah mempercayai orang. Pikirannya dipenuhi kekecewaan dan amarah."Silahkan koperatif,







