Mas Fandi melepaskan ku. Aku bisa melihat tangan kosongnya mengepal kuat. Urat nadi nya keluar, menahan amarah yang pasti sangat bergejolak.
Kurapikan jilbab dan gamisku. Sementara Arman masih mengacungkan pistol nya. Ternyata, mas Fandi sedang cemburu buta pada pengawal ku sendiri. Arman memang bukan lelaki jelek. Dia lebih gagah dari mas Fandi. Tingginya hampir 180 cm. Dengan garis rahang yang tegas, dan potongan rambut pendeknya, siapapun bisa melihat bahwa dia orang yang sangat serius."Turunkan pistol mu Man." Aku menarik tangan Arman kebawah. Dia dengan sigap memasukkan kembali pistol ke belakang tubuhnya. Namun matanya. Bagai elang, berkilat tajam menatap gerak-gerik mas Fandi.Mengerikan ! Beginikah pembunuh bayaran beraksi? Bapak tak akan sembarangan menerima anak buah. Mereka haruslah memiliki kemampuan di atas rata-rata. Paling tidak, kemampuan bela diri nya sudah mempuni. Dan Arman adalah satu, dari ratusan anak buah Bapak yang berdarah Indonesia. Ya, bapak lebih banyak memiliki anak buah dari Taiwan dan Jepang. sisanya tersebar hampir di seluruh pelosok Asia."Duduklah mas" Aku meminta pada mas FandiSeketika dia menatapku tajam. " Tak perlu memintaku duduk, ini rumahku, aku bisa lakukan apapun yang ku mau !" Dia duduk di ujung sofa dan masih bersikap hati-hati.Aku tersenyum melihat tingkahnya sendiri. Seperti apapun mas Fandi coba menyembunyikan takutnya, aku bisa melihat tubuhnya yang gemetar juga. " Ada apa kemari?""Bukankah ini rumahku? Suka hatiku mau kesini atau tidak ! Lagi pula, harusnya aku yang bertanya. Ada apa kamu kesini dengan lelaki asing?" Dia melirik waspada pada Arman."Aku mengambil apa yang perlu kuambil. Ada masalah?"Mas Fandi melihat ke sekitar. Mungkin dia sedang memperhatikan, apa yang berbeda dari rumah ini sekarang. "Dimana Lala?" Ah, akhirnya dia ingat juga pada putrinya itu." Untuk apa kau mencari Lala? Dia aman bersamaku. Lagipula mas, harusnya kau tetap di acara resepsi pernikahan mu. Bukankah kalian sedang sangat sibuk?"Mas Fandi membelalakkan matanya. "Jangan bilang kau juga yang membuat catering pesanan Kila tak datang? " Dengan senyum sumringah aku menganggukkan kepala. "Seratus, Aku memang merencanakan semuanya, khusus untuk hadiah pernikahan mu. Baik sekali kan aku?"Mas Fandi berdiri, bersiap mendekat. Namun baru satu langkah berjalan. Arman sudah berdiri di hadapanku, menjadi tameng dan siap menangkis apa yang akan Fandi lakukan.Tinggi mas Fandi sedikit di bawah Arman, membuatnya harus melihat keatas saat mereka saling beradu pandang. "Aku ingin bicara pada istriku." Mas Fandi memberanikan diri."Bicaralah, duduklah kembali" Arman melipat tangannya didepan .Kulihat mas Fandi kembali duduk. " Bisakah kau jelaskan semua nya Sri?" Dia kini bertanya lembut."Soal apa?""Semua yang kau lakukan. Kenapa?"Dia masih bisa bertanya kenapa? Padahal dialah sumber segala perubahanku." Harusnya kita bisa bicarakan ini Sri. Kau tak perlu merusak acara pernikahan kami, pernikahan yang di impikan Kila."Ingin rasanya kusumpal mulut mas Fandi bersama madunya itu. Ternyata selain tak punya otak, dia juga tak punya empati lagi."Memang pernikahan seperti apa yang di impikan madumu itu mas? Apa mencintai lelaki beristri juga bagian dari mimpinya? Jika ia, sepertinya mimpi itu sudah terwujud ! " Aku menatap tajam kearahnya.Mas Fandi membuang nafas kesal. "Kami saling cinta Sri, dan aku juga tak pernah melupakan kewajibanku padamu, aku masih menafkahimu, memberimu hidup layak, dan jadi ayah yang baik untuk Lala.""Kau fikir begitu saja cukup mas? Kau lupa bagaimana menjaga hati agar tak terluka ! Aku terluka mas, dengan semua sikap dan kebohongan mu, aku dan Lala terluka ! " Kutatap wajahnya dengan tajam. Namun mas Candi hanya terdiam memandang ke lantai di bawahnya." Jangan bawa-bawa Lala, lagipula, kau juga tak bisa menjaga hati kan Sri?""Maksudmu?""Lihat yang kau lakukan juga. Kau menduakan aku!" Dis melihat kearah Arman."Aku tak menduakanmu !" Aku berdiri menunjuk nya. "Jangan samakan aku dengan dirimu atau wanita itu mas. Murahan!""Sri ! Lancang kamu." Dia ikut berdiri namun terhalang tubuh Arman. "Jika bukan karena lelaki lain, dari mana kau dapat semau fasilitas mewah itu Sri. Bahkan berani nya kau menyewa exsavator untuk menghancurkan pernikahan kami.""Kau yang menghancurkan pernikahan mu sendiri mas! Sebelum berkali-kali kau mengatakan mimpi dan mimpi, tak sadarkah keegoisanku juga sudah Menghancurkan mimpi anakmu sendiri!""Mimpi Lala?""Iya, kau fikir keputusanmu ini bijak? Dan hanya aku yang terluka, begitu? Kau salah mas. Anakmu yang paling terluka, Lala yang paling menderita !"Mas Fandi terdiam. Aku tak tau apa yang sedang di fikirkan nya, namun dia terlihat berjalan mendekati ku. "Tak akan ada yang terluka jika kau juga bisa menerimanya Sri. Kau sudah tak bisa memuaskan pandanganku, Lihat dirimu Sri, kau begitu berbeda dengan Kila" Mas Fandi menatapku seolah tak suka." Lagi pula, Lala pasti akan senang juga memiliki ibu baru. Kila wanita yang baik Sri, dia pasti..."Jangan mencoba membujukku mas!" Aku memotong ucapannya. Hatiku berdenyut nyeri melihat caranya memandang ku. Serendah itukah aku di matamu mas? " Aku tak sudi lagi berbagi ranjang denganmu, mas ! Dan aku bertahan hanya untuk memastikanmu menderita! " Aku berusaha mengendalikan amarahku sendiri. Kuhembuskan nafas dalam-dalam. "Dengar mas Fandi, tidak ada wanita baik yang menghancurkan Kebahagiaan wanita lain! Kau harus pahami itu, bila dia bisa menghancurkan kebahagiaan orang lain, bukan tidak mungkin dia juga akan menghancurkan mu demi kebahagiaannya sendiri !"Aku berjalan ke teras rumah, Berdebat dengan orang tolol, tak akan memberikan Keuntungan apapun." Kau mau kemana Sri? Kita belum selesai bicara." Mas Fandi mencoba menariku lagi. Namun kutepis tangannya dengan kasar."Aku akan pulang kerumahku sendiri. Ayo man, kita pergi." Baru beberapa langkah aku berjalan, aku masih kembali melihat mas Fandi. "Bawa pergi barang- barang mu mas. Jangan lupa untuk meminta mas Robi dan Fani mengembalikan uangku secepatnya." Kuingatkan lagi mas Fandi, Sekarang aku memang bukan wanita baik. Akan kuminta dan kutagih lagi segala yang pernah aku berikan."Satu lagi mas, dia Arman, pengawal ku. Dan dari mana semua hartaku berasal, aku rasa kau tak perlu tau. Anggap saja kau sedang bermain dengan lawan yang salah mas !"Aku berjalan keluar, masuk dengan cepat kedalam mobil lalu meninggalkan rumahku dengan mas Fandi yang masih terpaku menatap kepergian ku.Kita lihat mas, seberapa bahagia kau dengan pernikahan barumu itu!Aku memejamkan mata sejenak, ternyata bicara dengan manusia bodoh itu menghabiskan lebih banyak tenaga. "Kita ke Tawangmangu man. Jemput putriku sebelum ke rumah Bapak !Jani mengambil foto di tangan Leon dan memperhatikan lebih jelas, gadis bermata abu itu memang nampak sanggat bahagia bersanding dengan seorang anak lelaki kecil dengan rambut menutup poninya."Ini_" Jani menghentikan kalimat nya dan menatap ke arah Leon."Ya, itu aku. Meski tak kamu ingat kita adalah sahabat kecil Jani..Kata Jani berkaca menatap ke arah Leon, memperhatikan setiap lekuk wajah lelaki nan tampan itu dengan seksama."Benarkah itu dirimu? sahabat yang kadang hadir dalam mimpiku, aku selalu bertanya itu kisah siapa, sebab ta ada yang aku ingat dari masa lalu ku selain karena sepenggal kisah yang ku denggar dari bapak yang membesarkan ku."Jani berkata dalam hati, air mata nya turun tanpa sadar, membuat wajahnya yang putih merona kemerahan sekarang."Ada apa sayang?" "Sekarang aku tau kenapa kamu begitu baik padaku." Ucap nya lirih.Ya, selama ini Jani selalu merasa bersyukur sebab masih di beri hidup lebih lama, mengucap terimakasih pada Leon dalam hatinya sebab memberin
"Karena kamu tau segalanya Jani, kamu kehilangan ingatanmu saat mengalami kecelakaan setelah bertemu dengan Lenzia, itu pertemuan terakhirmu, sebab Lenzia menghilang setelahnya." Leon menjelaskan dengan gamblang"Jadi aku pernah bertemu dengan Lenzia?""Ya, dan Aini mencoba juga untuk membunuhmmu."Sri dan Jani sama-sama terkejut, menghadapi kenyataan yang teramat berat sekarang. ""Dan wanita tadi adalah Aini? ." Ucap Jani membuat Sri menatap nya serius."Kalian sudah bertemu Aini?""Iya, kami tak sengaja bertemu dengannya saat aku turun membeli minum, dia hampir membunuh Jani.""Dia terus menyebut ku Lusia.""Ya karena itu yang dia tau, dia hanya mengenal nama Lenzia Jani." Leon kembali menjelaskan dan membuat Jani semakin diam."Dimana kalian bertemu Aini?" Sri penasaran."Di minimarket tengah hutan.""Begitu? aku harus segera mencarinya." Sri berdiri, dia ingin bicara lebih banyak namun Sepertinya Aini jauh lebih Penting sekarang."Sepertinya aku harus permisi dulu, kami sudah lam
Sri tersenyum menyetujui, dirinya memang harus mengatakan banyak hal pada Jani sekarang."Saya janji tidak akan memaksa, bila nona Lusia berkenan saya pergi, saya akan pergi." Ucap Sri jujur, dia tak ingin mengusik Lusia yang sedang sakit namun jika wanita itu meminta penjelasan, Sri tentu saja lebih senang mendengarnya."Baiklah, hanya sebentar saja, tanyakan saja apa yang ingin kamu dengar dan setelah itu istirahatlah."Jani tersenyum dan mengganggukkan kepala. "Terimakasih sayang, terimakasih." Ucap Jani dengan wajah merona, mereka lalu masuk ke dalam kamar Leon.Leon meletakkan Jani ke atas tempat tidur, Jani bersandar pada tempat tidur nya dan Leon menyelimuti wanita itu hingga menutupi sebagian tubuhnya yang putih. Sri duduk di sisi ranjang, melihat betapa Leon memperlakukan Jani dengan istimewa, dia yakin lelaki ini memang tulus mencintai Jani."Katakan segera yang ingin anda katakan." Leon bicara dengan tegas, tak ingin Janin terusik lebih lama lagi.Jani menyentuh lengan keka
"Wanita ini menyebutku Lusia, Leon." Ucap Jani pada Leon membuat Leon juga merasa tak tenang."Dia menyebut Lusia, Leon! Dia tau Lusia!!" Jani terdengar panik, memeluk Leon dalam ketakutan.Leon mendekap mendekap erat Jani, menatap menatap marah pada apa yanh baru saja Aini lakukan, dia tak mengenal Aini, namunn beraninya wanita otu bahkan menyakiti orang yang sangat dia lindungi."Bawa dia pergi!" Ucap Leon kesal, dia ingin membuat. perhitungan pada Aini, namun menenangkan Jani jauh lebih penting sekarang.Leon melihat Aini di bawa paksa pergi, sementara Jani yang ketakutan merosot terduduk di lantai pelataran, dia terus menatap Aini yang menjauh, tak dapat lagi berpikir biaik, Jani berharap semua yang di lalukan bisa membuat nya mengingat sesuatu."Kamu baik-baik saja sayangku?" Leon tertunduk, mendekap Jani penuh penyesalan."Harusnya aku tak meninggalkan mu sendirian. sayang." Ucapnya merutuki kebodohan nya sendiri.Jani menangis kencang, tangisan yang entah kenapa tiba-tiba saja
"Jauhkan tanganmu, siapa kamu!" Jani berteriak histeris, tatapannya melihat ke arah dalam minimarket"Kenapa kamu cantik? Aku benci saat kamu cantik!'" Ucap Aini kesal, tangannya terus mencoba menyentuh wajah Jani."Kemari kami sialan!" Aini meremas kuat kerah baju Jani, membuat ia gemetar karena histeris."Tidak!.... tidak!" Ucapnya kencang dan sebuah ingatan masa lalu kembali muncul....Jani melihat wanita berparas mirip dirinya berlari letakutan dengan perut membesar, entah apa yang sudah di lalui hingga gaun putih yang di kenakan berlumur darah dan tanah, dinginya malam bukanlah musuh terbesarnya, dia lebih takut jika bayi dalam dekapan itu lepas dari pelukan. "Jangan mencoba lari Lusia!" Teriakan itu begitu nyaringo dan lantang terdengar.Lusia gemetar dalam tangis, berjongkok pada rimbunya dedaunan kecil dan ilalang, berharap diri nya tak di temukan."Lusia!" Teriakan itu kembali terdengar, tubuh kecil Lusia semakin gemetar."Sabarlah sayang, mama akan membawamu pulang, kita ak
"Aku ingin tau apa yang terjadi Leon, aku mohon katakan sesuatu." Ucapnya meminta, segala hal yang menimpanya begitu menyiksa dan membuat dirinya bertanya."Perlahan saja sayang, kita akan bicara nanti." Ucap Leon lalu membawa Jani masuk ke dalam mobil mereka.Meninggalkan rumah kosong yang serasa tak asing bagi jani, rumah yang sepertinya sangat dia kenal namun tak bisa di ingat lebih baik.Mobil Leon membelah malam sunyi, melewati hutan yang lebat dengan hanya satu, ldua penerangan minim, mereka hanya berdua saat datang dan pergi, menyisakan kesunyian nyata setiap kali tak ada suara di antara mereka."Kenapa diam?" Tanya Leon, ia masih Melihat Jani terdiam Menatap ke luar jendela."Rasanya aku pernah ada di sini." Ucapnya sembari melihat ke arah rumah kosong di sisi jalan.Leon berhenti mendadak, menatap ke arah rumah kosong di sisinkanan mereka, rumah tangga memang sejak lama tak di tempati, namun kenapa Jani merasa pernah ada di sana?"Kamu yakin pernah ada di sana?"Jani mengangg