Share

Bab 4 ( Kepergian Mas Akbar )

Saat Mas Akbar Kembali ke rumah, waktu telah menunjukkan pukul empat sore. Selama lima jam keluar dari rumah, tidak satupun pesan yang Mas Akbar kirimkan untukku. dan anehnya, aku merasa biasa saja. Sepertinya ini menjadi hal biasa yang aku alami selama kurang lebih dua bulan ini, dan itulah sebabnya mengapa aku merasa biasa saja tanpa pesan Mas Akbar.

"Bahkan sampai aku pulang pun, kau tidak mencari keberadaanku!" Mas Akbar tampak seperti orang yang sedang dalam pengaruh Alkohol. Jalannya sempoyongan dan beberapa kali terjatuh dan Berdiri lagi.

Aku yang sedang duduk di sofa sambil menonton televisi hanya bisa geleng-geleng kepala melihat tingkah Mas Akbar.

Sebelum Mas Akbar sampai ke tempat dudukku, aku merekam videonya dengan ponselku.

"Mawar, aku mencintaimu lebih dari Wanita itu."

Bruk! Sekali lagi, Mas Akbar kembali terjatuh ke lantai.

"Tapi…Mulan. dia, Berbeda denganmu."

Mulan?

Aku menggenggam erat ponselku, melampiaskan hasrat ingin mencekik leher suamiku yang sedang Mabuk Alkohol dan wanita yang baru saja diucapkan oleh Mulut manisnya itu.

"Mawar! Aku harus bagaimana, aku mencintaimu dan Mulan. Hahahaaa…"

Karena sudah tidak bisa bersabar lebih lama lagi, aku menelepon seseorang yang akan membantuku.

"Datanglah ke rumahku, Sekarang."

Butuh waktu kurang lebih dua puluh menit agar orang yang aku hubungi itu sampai ke rumah.

"Apa yang terjadi?" Pria dengan kemeja putihnya itu berjalan mendekati tubuh Mas Akbar yang sudah tergeletak di lantai.

"Mas, bangun Mas!"

Ya, dia adalah Agung sepupu Mas Akbar.

"Mbak Mawar, Mas Akbar ini kenapa sih!"

"Mbak juga tidak tahu, yang jelas Ia mabuk. Lebih baik angkat Mas mu itu ke kamar."

Agung nampak terkejut.

"Berat, Mba…" keluhnya.

"Ya sudah, diangkat dan ditaruh di sofa aja."

Agung mengangguk setuju.

Setelah berhasil mengangkat tubuh Mas Akbar dan membaringkannya di atas sofa, Agung segera mendudukkan tubuhnya di sofa.

"Mbak buatkan minuman dulu."

Tak ada jawaban. Agung nampak mengangguk saja tanpa berniat untuk menjawab. Mungkin karena terlalu kelelahan mengangkat tubuh Mas Akbar yang berotot itu, sedangkan tubuhnya tidak terlalu berisi. Bisa dikatakan terlalu kurus untuk pria seusianya.

Setelah mengeluarkan minuman bersoda dari dalam kulkas, aku bergegas menuju tempat Mas Akbar dan Agung beristirahat.

"Ini minumlah…" ucapku seraya menyodorkan minuman kaleng pada Agung. Pria itu langsung menerimanya dengan senang hati.

"Apa yang sebenarnya terjadi, Mbak?"

"Biasa, Masmu itu cemburu pada Mbak tentang Abian. Padahal yang menyinggung soal Abian, Masmu sendiri. Tapi malah dia yang kesal dan marah. eh, pulangnya malah mabuk begini." jawabku jujur.

"Masalahnya, apa mbak sampai Mas Abian di ikut sertakan dalam urusan rumah tangga kalian?"

Aku menghembuskan nafas kasar. Bisa-bisa merembet jika aku terus menjawab pertanyaan Abian.

"Agung, kamu itu kayak nggak kenal siapa Masmu itu. Posesif."

Akhirnya Agung mengangguk mengiyakan jawaban yang aku berikan.

"Ya sudah mbak, sudah mau jam lima lewat ini. Aku pulang dulu ya,"

"Lho, kenapa harus buru-buru? Tadi sudah sholat Ashar belum?"

"Alhamdulillah, sudah mbak. Tapi aku lagi sedang ada janji sama temen, Mbak. Jadi nggak bisa lama-lama."

"Temen apa demen, Gung?"

Agung tertawa mendengar sindiran yang aku berikan padanya. Sepertinya hal yang aku katakan benar adanya. Mungkin, Agung telah memiliki tambatan hati.

***

"Sayang, Kenapa aku berada di Sofa dan tidak di kamar kita?"

Aku terdiam, melihat wajah tampan Suamiku sendiri. Kesadarannya telah pulih setelah aku menunaikan ibadah sholat Isya.

"Kau sudah sadar?"

Alis pria berhidung mancung itu saling bertautan dengan sikap bingungnya.

"Apa maksudmu, sudah sadar? Bukankah aku ketiduran di sofa,"

Aku menggelengkan kepalaku.

"Kau pulang dalam keadaan Mabuk. Kau juga pulang tidak membawa mobilmu."

Mas Akbar Tampak terkejut mendengar ucapanku. Wajahnya seketika memucat sempurna. Mungkin sekelebat bayangan bisa dengan jelas Ia ingat saat sebelum pulang dalam keadaan tak sadar.

"Ya sudah Mas. Aku akan menyiapkan air hangat untukmu."

Mas Akbar hanya diam saja sambil mengalihkan pandangannya ke tempat lain.

Lelahkah dirimu Mas?

Kita hampir sama. Sama-sama saling merasakan bagaimana rasanya lelahnya kehidupan rumah tangga ini. Kalau kau ingin hidup berumah tangga dengan dua wanita sekaligus, beda dengan diriku.

Jalan kita sudah tidak sama Mas. Tapi sebelum itu, aku ingin mengenal siapa sosok wanita penggoda suamiku.

Oh, tunggu dulu.

Wanita penggoda suamiku? Aku tidak sejahat itu, Mas. Aku tidak ingin langsung melabelinya sebagai penggoda dirimu. Aku harus tahu alur kisah cinta kalian berdua, baru setelah itu aku dapat memastikan siapa yang sebenarnya benar-benar bersalah.

Ataukah dirimu menyalahkan diriku karena sampai saat ini diriku belum bisa mengandung anak darimu?

Aku masih ingat, saat di awal tahun kedua pernikahan kita ini aku berinisiatif agar kita mengikuti program kehamilan. Tapi, kau sama sekali tidak terpengaruh dengan keinginanku itu.

Tapi, tadi siang saat di Restoran. Aku dapat melihat raut wajah keterkejutan dirimu saat pelayan itu menanyakan soal kelahiran seorang anak. Apakah Mulan yang kau sebut itu sudah berhasil memberikan dirimu seorang anak, Mas?

***

Keesokan harinya, Mas Akbar terlihat sudah siap untuk berangkat ke Samarinda. Mobil yang kemarin sore tidak dibawa pulang oleh Mas Akbar Pun sudah berada di garasi mobil. Aku tidak tahu siapa yang mengantarkan mobil itu. Mungkin semalam, saat aku dalam keadaan tidur ada orang suruhan Mas Akbar yang mengantarkan Mobil.

"Sayang, mungkin Mas tiga atau empat hari di Samarinda." Mas Akbar memulai sebuah obrolan di atas meja makan.

Aku hanya tersenyum menanggapi perkataan Mas Akbar.

"Sayang jadi menginap di rumah Ayah dan Ibu?"

"Mungkin saja Mas. Aku belum terlalu yakin." Jawabku sambil mengolesi roti tawar dengan selai strawberry.

"Kenapa?"

Aku menghentikan kegiatan mengoleskan selai di roti.

"Karena aku belum yakin, hanya itu."

"Aku harap kau tidak macam-macam saat aku ke luar kota."

Aku menatap kesal wajah Mas Akbar.

"Macam-macam, bagaimana Mas? Coba terangkan lebih detail agar aku paham dan mengerti arti ucapanmu itu." Selera makanku mendadak hilang mendengar ucapan Mas Akbar yang terkesan menuduhku bermain-main di belakangnya.

Mas Akbar meletakkan kembali roti tawar yang tadi sudah aku olesi dengan selai kacang ke atas piring.

"Aku hanya ingin kau tetap berada di sampingku."

Aku terdiam mendengar ucapan Mas Akbar. Ingin tetap berada disampingku, tapi dia membuat luka di hatiku.

"Baiklah, aku lebih baik pergi saja. Sepertinya suasana hatimu sedang tidak baik."

Belum sempat aku meraih tangannya agar aku cium, Mas Akbar telah melangkahkan kakinya menuju ke pintu.

Aku hanya dapat melihat punggung Mas Akbar yang telah hilang di balik pintu.

"kau benar-benar pergi tanpa memandang wajahku, Mas..." monolog ku pada diri sendiri.

Mga Comments (1)
goodnovel comment avatar
amymende
makin dibaca makin gak sreg bahasa n susunan kalimatx, sekelas good novel gini?
Tignan lahat ng Komento

Kaugnay na kabanata

Pinakabagong kabanata

DMCA.com Protection Status