Juan dan Pearl kembali ke parkiran setelah semuanya beres. Tangan Pearl diselipkan ke lengan laki-laki yang amat dicintainya. Lalu Pearl menyandarkan kepala di pundak laki-laki gagah nan tampan itu. Namun, ekspresi dari Juan tampak begitu jelas dia tidak menyukai sikap Pearl. Tetapi, laki-laki itu memaksakan diri agar bisa bersikap romantis sebelum semua janji Pearl dilakukan untuknya.
Laki-laki itu membukakan pintu mobil dengan terpaksa. Lalu menutupnya kembali, dia bergegas masuk ke dalam. Tujuan mereka kali ini ke rumah sakit, Pearl akan mendonorkan ginjalnya untuk Peige sesuai janjinya sebelum menikah. Telepon Juan tiba-tiba berdering. Suaranya sedikit membuyarkan keromantisan di antara keduanya. Di layar ponselnya tertera tulisan "Ibu" sangat jelas. "Ibu?" Sebut Juan. "Sayang, aku angkat telepon dulu, ya!" kata Juan keluar dari mobil. Pearl menunggu dengan sabar. "Aku senang kau kembali, Juan. Dan aku harap bukan untuk sementara kamu berubah!" gumamnya melihat suaminya sedang menjawab telepon dari dalam mobil. "Ya halo, Bu?" "Halo Juan? Bagaimana? Kamu sudah membujuk perempuan itu?" tanya wanita tua cemas. Wajah Peige terlihat lebih pucat, terbaring lemah di ranjang dekatnya. "Aku sudah membujuk dia, hari ini aku dan perempuan itu sedang menuju rumah sakit. Jadi ibu jangan kautir lagi masalah pendonor ginjal untuk Peige, dia akan sembuh setelah menerima donor ginjal!" ucap Juan percaya diri. "Bagus, itu baru anak Ibu." "Iya Bu, dan Ibu tau? Aku baru saja mendapatkan semua harta warisan perempuan bodoh itu!" "APA?" Wanita tua itu cukup kaget mendengar ucapan Juan. "Kamu gak bercanda dengan ucapanmu kan, Juan?" kata wanita tua itu masih tidak percaya yang baru saja dia dengar. "Gak Bu, aku baru saja kembali dari kantor pengacara, dan perempuan itu meminta pengacaranya untuk balik nama seluruh harta yang dia miliki menjadi namaku," terang Juan. Ibunya semakin senang mendengarnya. Ini kesempatan langka buat hidupnya, menjadi orang kaya secara cepat dengan membodohi perempuan lugu dan polos. "Bagus, Ibu senang mendengarnya." Wanita itu benar-benar senang, buatnya Pearl adalah jackpot yang tidak bisa dibiarkan lolos begitu saja. "Ya sudah, lebih baik kamu segera ke rumah sakit, temui dokter Harry. Ibu mau dia segera mendonorkan ginjalnya untuk Peige!" lanjutnya, lalu menutup sambungan telepon. "Baik Bu." Juan memasukan ponselnya ke saku celananya kembali. Lalu dia masuk ke dalam mobil. Pearl menunggu dengan sabar tanpa banyak mengoceh. "Maaf, aku agak lama menelepon." Laki-laki itu memasang sabut pengaman. "Gak apa-apa, sayang." "Hei ... sabuk pengamanmu belum di pasang?" tanya Juan. "Oiya ...." Pearl mencoba memasangnya. "Biar aku saja." Juan segera mengambil alih. Lalu memasang sabuk pengaman Pearl, wajah perempuan itu sedikit memerah. Dia menganggap sikap Juan adalah sebuah perubahan buat hubungan mereka berdua. Roda mobil melaju pelan, mobil pun keluar dari parkiran kantor pengacara. Pearl tertidur pulas, akhir-akhir ini tubuhnya mudah capek. Sering kali dia mengantuk dan tertidur tanpa harus di kamar. Juan melirik. "Kamu memang cantik, sayangnya terlalu bodoh, dan sebentar lagi hidupmu akan seperti sampah," bisiknya membatin, sambil mengelus pipinya yang lembut. Tak lama, tidak ada satu jam perjalanan. Roda mobil berhenti berputar. Di halaman luas Juan memarkirkan mobilnya di antara mobil-mobil lain yang sudah berjejer. "Sayang, sudah sampai," kata Juan lembut. Mata Pearl mengerjap, perlahan-lahan terbuka. "Di mana kita?" tanya Pearl sambil mengucek mata. Dia masih terlihat mengantuk. "Di rumah sakit. Kita turun, yuk," ajak Juan. Pearl turun setelah Juan membukakan pintu mobil. Lalu mereka berjalan beriringan, masuk ke dalam rumah sakit. Juan dan Pearl bertemu dokter Harry. Awalnya dokter Harry sedikit keberatan, namun dia tidak bisa berbuat apa-apa untuk menahan niat Pearl. Pearl dan Juan terlalu memaksa untuk operasi pencangkokan ginjal hari ini juga. Dokter Harry pun menyebutkan beberapa prosedur yang harus diikuti oleh Pearl dan form ditanda tanganinya sebelum operasi pengangkatan ginjal. Tak ada perubahan dengan kondisi Pearl. Maka dari itu, dokter Harry mengijinkan perempuan itu mendonorkan ginjalnya hari ini juga. Tangan Pearl dipasang infus, lalu pakaiannya sudah berganti. Juan mengantarkan Pearl ke ruang operasi. Berdiri di samping perempuan itu tanpa ada ekspresi takut atau cemas. Tangan Pearl meraih tangan Juan, laki-laki itu cukup kaget. Awalnya dia hendak menolak apa yang di lakukan istrinya itu. Namun, mengingat adiknya masih membutuhkan ginjalnya, Juan sedikit melunak demi membuat Pearl tersenyum. "Aku takut!" kata Pearl pelan. "Gak apa-apa sayang, dokter Harry adalah dokter bedah terbaik di rumah sakit ini. Operasi kamu pasti akan berjalan lancar," kata Juan menyemangati Pearl sambil mengusap rambut pirang Pearl. Di depan ruang wanita tua berwajah cemas sudah lama menunggu kedatangan Pearl dan Juan, Peige sudah berada di dalam ruang operasi. "Juan ... akhirnya kamu datang juga!" katanya. Akting sungguh sempurna, di tampak terlihat sangat sedih di depan Pearl. Lalu wanita tua itu menghampiri Pearl. "Pearl sayang, terima kasih kamu sudah mau mendonorkan ginjalmu untuk Peige," kata wanita tua itu berpura-pura iba dengan Pearl. "Kamu sehat ya, sayang. Ibu gak mau kehilangan kamu dan juga Peige," kata wanita itu berbohong. Padahal di dalam hatinya terdalam dia justru tertawa senang akan melihat Pearl mati, dia berharap nyawa Pearl tidak lagi tertolong di ruang operasi. "Terima kasih, Bu!" kata Pearl melemah. Lalu suster mendorong masuk Pearl ke dalam ruang operasi. Tangan yang semula bertautan pelan-pelan mulai terlepas. Di dalam, Pearl berbaring di samping Peige yang sudah tak sadarkan diri. Perempuan itu mendapati Peige begitu kurus dan pucat. Hingga terlihat tulang pipinya. Lingkar matanya pun sangat hitam. "Peige, aku akan menyelamatkanmu, aku akan membuat duniamu yang indah kembali. Aku yakin kau bisa sembuh dengan ginjalku ini, Peige," kata Pearl berbisik. "Kamu siap, Nona Pearl?" tanya dokter Harry. Pearl mengangguk, sebenarnya dia sedikit ragu, namun setelah melihat Peige, dia menjadi sangat yakin untuk mendonorkan ginjalnya pada adik iparnya itu. "Apa kau tidak mau berpikir lagi, Pearl. Kamu akan cacat seumur hidupmu, dan kamu juga belum tau seperti apa Juan dan keluarganya terhadapmu!" kata dokter Harry. Dia ingin Pearl membatalkan operasi ini. "Ini bukan urusanmu, dok. Aku yakin Juan mencintaiku dan keluarganya juga menyukai keberadaanku. Jadi, lakukan saja tugasmu, dokter Harry!" pungkas Pearl tegas. Dokter Harry hanya menghela napas saja tanpa ada kata-kata lagi. Baginya, ini adalah keputusan Pearl. "Suster, tolong ambilkan obat bius!" kata Harry. Dia sudah tidak bisa berbuat apa-apa mencegah Pearl agar membatalkan niat bodohnya. Prosesi pembedahan pun dimulai, obat bius sudah membuat perempuan itu tak sadarkan diri. Darah begitu banyak menempel di sarung tangan dan juga baju operasi. Dia tampak serius membelek kulit perut Pearl. Lalu dia luar, wanita tua itu cemas. Dia mengkhawatirkan keselamatan Peige, tidak peduli dengan hidup Pearl nantinya, begitu juga dengan Juan. Laki-laki itu justru berkirim pesan mesra dengan wanita lain, yaitu tunangannya yang tinggal di Inggris. Mereka berdua sudah berpisah selama 5 tahun, dan karena penyakit adiknya membuat Juan menjadi liar mencari wanita yang dia dekati dan dijadikan tumbal agar mau mendonorkan ginjalnya. Beruntungnya dia, bertemu dengan Pearl. Gadis itu mudah dirayu dengan pujian dan sikap manis. Dua jam berlalu, lampu ruang operasi masih saja menyala. Selama itu juga wanita tua menunggu, dan selama itu hidup-mati Pearl dipertaruhkan di meja operasi. Tetapi Juan, selama satu jam dia tidak merasa kuatir atau peduli sedikitpun dengan nasib Pearl. Tak lama, lampu ruang operasi mati, bebarengan dengan itu, Harry keluar. Wajahnya tampak capek dan lesu. Tak ada kebahagiaan di ekspresi wajahnya saat ini. Terlihat murung dengan wajah ditekuk. Jari jemari sibuk melepaskan sarung tangan, darah pun terlihat memenuhi di sarung tangan dan juga baju dinas miliknya. Wanita tua itu bergegas menghampiri Harry. Juan hanya melirik, membalas chat sebentar lalu bangun dan ikut mendekati Harry. "Dok, gimana keadaannya, Dok?" tanya wanita tua bernama Sabrina. Harry tak menjawab, justru matanya tertuju pada Juan. Tiba-tiba, emosinya meninggi ketika melihat raut wajah Juan yang biasa saja. Seperti orang yang tidak peduli pada Pearl sama sekali. "Dasar bajingan!!" pekik Harry. Lalu .... Buk. *****"Tunggu dulu!" tahan Harry. Dia masih penasaran dengan apa yang dia dengar dari bibir Demian. Demian menatap sinis, kemudian dia melihat jari-jari Harry mencengkram kuat-kuat. Hampir melukai lengan Demian yang kekar itu. Sebagai roh yang bersemayam di tubuh laki-laki kini, Pearl sedikit jijik dengan genggaman Harry di lengannya. Demian menepis kencang tangan Harry agar segera menyingkir. "Ada apa lagi, Dokter Harry?" tanya Demian mengelus-elus lengannya yang terasa sakit. "Saya penasaran dengan ucapan Anda tadi. Apa maksudnya kau merasuki tubuhmu itu, Pak Demian?" Harry menyilangkan tangannya, menatap penuh curiga pada Demian. "Tidak ada, mungkin kau salah dengar," elak Demian. "Maaf, saya banyak urusan," lanjutnya, lalu pergi. Kali ini Harry membiarkan Demian pergi, namun, di hatinya masih ada rasa curiga pada Demian. Ucapannya sedikit ada yang ganjil. Dari kejauhan, mata Juan menyipit. "Siapa laki-laki yang sedang bicara dengan Harry?" Dia mengenali laki-laki yang bica
Pagi hari, suasana tampak syahdu. Langit tampak bergemuruh dengan hamparan awan hitam menggelayut di setiap sudut langit yang mulai menghitam. Sesekali kilat menyambar. Di tanah pemakaman umum. Juan berdiri di pinggiran liang lahat Pearl. Lalu ada Sabrina dan Peige di samping Juan, tak lupa Andrea berada di sisi mantan suami Pearl. Keduanya tidak ada rasa canggung, bahkan mereka tidak peduli cemoohan atau gosip miring tentang diri mereka masing-masing tentang hubungan gila itu. Semua yang hadir mengenakan pakaian hitam. Hari ini, prosesi pemakaman Pearl sedang berlangsung. Pendeta membacakan pujian-pujian sebagai pengantar jenazah Pearl ke pembaringan terakhirnya. Semua terdiam dalam suasana khidmat. Begitu juga Harry yang berdiri agak berjauhan dari gerombolan pelayat dikematian Pearl. Ekspresinya tampak sedih, namun tatapan matanya tak lepas dari Juan yang menggenggam tangan Andrea. Menurutnya, laki-laki itu sinting, tidak waras. Di kematian istrinya dia berani menggenggam Andr
Harry baru kembali dari gereja rumah sakit. Di tampak lesu dan tak semangat, pakaiannya masih banyak noda darah milik Pearl. Wajahnya terlihat kuyu dengan keringat yang masih membekas di kulit wajahnya yang putih. Dia menghela napas, duduk menyandar di kursi taman yang sepi dan tenang. "Kenapa tidak berhasil? Kenapa doaku tidak bisa membuat Pearl bangun kembali seperti laki-laki itu?" bisik batin Harry, dia benar-benar kehilangan sosok wanita yang dia cintai. "Maaf, dok!" Sebuah suara mengagetkannya. Harry mendongak. "Ya sus, ada apa?" tanya Harry. "Maaf dok, untuk jenazah Nyonya Pearl selanjutnya mau diapain ya?" Harry menghela napas sekali lagi, lalu kepalanya menunduk kembali. "Coba kau tanyakan pada Dokter Juan, saya tidak ada hak untuk menentukan jenazah Pearl selanjutnya!" jawab Harry pupus harapan. Sebab, dia memang tidak punya hak apapun atas jenazah Pearl yang masih berada di ruang operasi. Walau sebenarnya dia amat ingin mengurus jenazah Pearl dan bisa melihat wajah per
Ponsel Juan berdering pada waktu yang kurang tepat. Kepalanya pusing, dan hatinya dongkol gara-gara surat wasiat Pearl yang membuat dia sedikit gila. Semua di luar prediksi, harta yang diberikan Pearl hanya setengah dari seluruh harta milik perempuan itu. "Halo Bu!" kata Juan agak malas menjawab panggilan telepon Ibunya. "Juan, gimana? Apa kamu sudah mendapatkan harta milik perempuan itu?" tanya Sabrina. "Aaah ... rasanya Ibu gak sabar buat berbelanja, beli baju, perhiasan, sepatu baru dan tas-tas mahal!" katanya bersemangat. Juan menarik napas, lalu menghembuskan napas panjangnya. "Sudah, Bu! Besok pengacara itu akan mengirimkan salinan dari akta kepemilikan harta milik perempuan sialan itu!" ujar Juan. "Benarkah itu, Juan?" "Benar, Bu," jawab Juan lemas. Dia tau ibunya akan kecewa, harta warisan yang dia dapat hanya setengahnya saja. "Kamu dapat semua harta warisan perempuan bodoh itu kan, Juan?" tanya Sabrina sekali lagi. Dia amat penasaran dengan harta itu. Bayang
"S-saya ... tidak berani merubah surat itu, Tuan. Saya tidak merubahnya, Tuan Juan!" Buk. Satu pukulan keras menghantam pipi Anderson. Pengacara itu jatuh terjungkal. Juan tidak peduli ocehannya dan keadaan Anderson, dia menarik kerah kemeja orang kepercayaan keluarga Pearl itu. "Cepat katakan di mana surat wasiat yang asli itu? Cepat katakan sebelum saya menghajarmu sampai mampus, Anderson!" ancam Juan berteriak. "S-saya tidak berbohong pada Anda, Tuan! Saya tidak merubah apapun isi dari surat wasiat itu!" tegas Anderson merasa dirinya terpojok. Juan mendorong keras tubuh Anderson dan beradu keras dengan tembok. "Itu surat wasiat asli dari nyonya Pearl berikan pada saya, apa Anda paham perkataan saya ini?" Lalu mencekiknya, "Kau pikir saya anak kecil yang bisa dibohongi dengan kata-kata seperti ini, Anderson! Cepat berikan sebelum kesabaran saya habis, pengacara bodoh!" Sambil mengancam pengacara itu. Anderson terkekeh, "Itu salah Anda sendiri, Tuan Juan. Kenapa Anda terlalu ser
Di tempat lain, Peige dan Sabrina tertawa gembira, sesaat tadi ketika Harry berlari ke rumah sakit, Sabrina melihat laki-laki itu membawa Pearl yang penuh darah. Wanita tua itu mengikuti, penasaran dengan apa yang terjadi. Dia memperhatikan apa yang Harry lakukan pada Pearl di ruang UGD. Berusaha membuat perempuan itu bernapas kembali dengan sekuat tenaga, bibirnya menyungging, sama seperti saat ini. "Kau tau Peige, laki-laki itu menangis. Menangisi perempuan bodoh yang sekarat itu," kata Sabrina tertawa. "Padahal perempuan kampungan itu sudah mati dengan kepala dan tubuh berlumur darah!" lanjutnya, tawanya lebih kencang. Dia senang sekarang sudah tidak ada hambatan lagi untuk menjadikan Andrea menantu keluarganya, dan kekayaannya akan semakin bertambah bila pernikahan itu benar-benar terjadi. "Aah ... sukurlah. Aku sangat senang dia mampus dengan keadaan menyedihkan, Bu!" kata Peige bernapas lega. "Iya, Ibu juga bersukur dia mampus dan keluarga kita tidak lagi menjadi orang miski