Tak terasa, satu jam sebelum pernikahan, Pearl duduk di depan cermin. Gaun pengantin yang dia kenakan menambah kecantikan alami dalam dirinya. Dia tidak percaya bahwa dia akan menikah dengan laki-laki yang dia sukai. Laki-laki yang terkenal di rumah sakit, di antara para perawat perempuan dan juga pasien-pasien perempuan. Entahlah, Pearl tidak mengerti kenapa Juan menyukainya.
Hembusan napas terdengar berat. "Aku akan jadi istri yang baik untuk kamu, Juan!" gumamnya. Tak lama suara pintu membuyarkan lamunannya. Seorang laki-laki gagah berkacamata masuk ke dalam ruangan Pearl. "Dokter Harry?" gadis itu cukup terkejut melihat Harry datang ke ruangannya kala dia sendirian. Lalu dia duduk menghadap dokter Harry yang berdiri di pintu "M-mau apa Anda ke sini?" tanya Pearl sedikit takut. Jantungnya berdebar sangat kencang, sebab dia sedang berdua dengan laki-laki yang bukan kekasih atau calon suaminya. Harry tidak menjawab, dia terus melangkah mendekati Pearl. "Kau harus membatalkan pernikahan ini dengan Juan dan juga pendonoran ginjalmu pada Peige!" serunya terlihat sangat serius. Bahkan Pearl belum pernah melihat Harry berbicara seserius ini padanya. "Kenapa? Kenapa aku harus membatalkan semuanya? Dan apa yang kau inginkan dariku?" "Aku tidak ingin apa-apa, Pearl. Aku hanya tidak ingin kamu melakukan ini semua. Sebab ...." Kalimat Harry terhenti. Dia terdiam sambil mengontrol emosinya. "Sebab apa? Katakan padaku Harry!" Pearl kian penasaran. Dia ingin tau kelanjutan dari kalimat yang terhenti di bibir Harry. Pearl menjadi gelisah, kalimat itu penuh teka-teki yang tidak dia mengerti sama sekali. "Dia itu penjahat, dia tidak pernah mencintai kamu, Pearl. Dia hanya membutuhkan ginjalmu dan harta milik kakekmu!" Dia tidak bisa menahan emosinya yang sudah terlalu meluap-luap. Nada suaranya meninggi. "Lalu siapa yang mencintai aku? Apakah kamu, dokter Harry?" Harry tersentak kaget mendengar ucapan Pearl itu. "A-aku ... aku ...." bibirnya seolah kelu, kaku untuk melontarkan kata-kata yang sudah dia persiapkan tadi di otaknya. Menjadi sangat salah tingkah, wajahnya sedikit memerah, lalu memalingkan wajah agar Pearl tidak mengetahui tentang perasaannya pada gadis itu. "Pernahkah kau sekali saja menegurku? Apakah kau juga pernah mengajakku berbicara selama aku bekerja? Di mana kamu saat teman-teman di rumah sakit membully-ku? Apakah kau membelaku, dokter Harry?" tanya Pearl berdiri. "Tapi kau diam saja, namun ketika aku adalah cucu dari pemilik rumah sakit itu dan grup XYG, sikapmu mulai berubah padaku. Apakah karena dulu aku orang miskin, jadi kau tidak mempedulikan aku sama sekali?" "Bukan ... bukan itu maksudku!" Dokter Harry terlihat gugup, dia tidak mau Pearl mejadi salah sangka padanya. "Lalu apa?" "Gak, aku ke sini hanya ingin memberitahumu tentang Juan dan keluarganya. Itu terserah kamu mau percaya atau tidak, bukan membicarakan masalah aku, Pearl." Harry membalikkan badannya, lalu hendak pergi keluar. "Kenapa? Kenapa kau hanya menjelek-jelekkan Juan semenjak aku dekat dengannya? Kenapa kau baru berbicara setelah aku menjadi pewaris tunggal dari kerajaan bisnis kakekku, Harry?" Langkah kakinya berhenti, "Suatu saat kamu akan tau apa maksud diamku padamu, Pearl!" ujar Harry. "Selamat atas pernikahanmu, dan aku sudah mengatakan semua padamu." Suara pintu tertutup terdengar keras. Pearl menghela napas, dia duduk lemas di kursi depan cermin dengan kepala tertunduk. "Kenapa aku jadi begini? Dan apa maksud ucapannya? Apakah semua yang dikatakan dokter Harry tentang keluarga Juan benar?" gumamnya berpikir keras. Tak lama, seorang laki-laki lebih tua dari ibunya Juan datang mengenakan tongkat dan dikawal dua ajudannya. "Kakek." Pearl membalikkan badannya menghadap laki-laki tua itu. "Pearl cucuku!" ujarnya duduk di sofa ruang ganti pengantin wanita. Napasnya sedikit tersenggal-senggal, terdengar begitu sulit dihembuskan. Walaupun begitu, laki-laki menginjak usia 70 tahun itu masih terlihat tampan dan berkharismatik. "Aku tidak percaya kau akan menikah secepat ini." "Bukankah kakek menyuruhku segera menikah dengan laki-laki pilihanku?" "Ya, aku tau itu. Tapi aku tidak pernah menyangka akan secepat ini kamu akan meninggalkan kakek setelah seminggu aku menemukanmu, Pearl," katanya ter-engah-engah. "Dan bodohnya aku, tidak mengetahui kamu bekerja di rumah sakit milikku sendiri selama lima tahun," katanya lagi. Lalu dia bangun, menghampiri Pearl. "Tapi, apa kau yakin akan menikah dengan laki-laki itu?" tanya laki-laki tua itu. Pearl mengangguk. "Dan kamu tau, Pearl, seminggu lalu, sebelum kamu mengenalkan Juan pada kakek, kakek pikir kamu akan menikah dengan dokter Harry!" "Aku sangat yakin, Kek. Sebab, cuma Juan yang bersikap sama ketika aku belum bertemu kakek sampai aku menjadi ahli waris kakek satu-satunya. Dia tidak berubah seperti orang-orang termasuk dokter Harry," jawab Pearl sangat yakin bahwa Juan adalah laki-laki baik. Laki-laki tua itu berdehem, "Baiklah kalau kamu sudah yakin menikah dengan Juan." Lalu mencium kepala cucu tersayangnya. "Lebih baik kita keluar sekarang, sudah waktunya pernikahan kamu dimulai," sambung laki-laki tua itu lagi. Pearl tersenyum, kemudian menyalipkan tangannya di antara lengan kakeknya. Sesaat pikiran kakeknya teringat kala dia kehilangan Pearl saat kecelakaan mobil akibat rem blong. Hampir sebagian hidupnya hilang ketika cucunya tidak bisa ditemukan di lokasi kejadian. Betapa rindunya dia selama belasan tahun, tak ada yang menemani, tak ada senyuman cucu tersayangnya kala dia kesepian. Hingga dua minggu lalu, dia baru menemukan Pearl di rumah sakit tempatnya bekerja. Anehnya, dia sama sekali tidak mengenali Pearl kala keduanya bertemu. Ronald sadar, sikap Pearl banyak mirip dengan putri semata wayangnya. Tetapi dia tidak mau gegabah akibat terlalu banyak anak gadis yang mengaku-ngaku sebagai cucunya. Hingga dua minggu lalu, kala tangan Pearl terluka, Ronald memerintahkan anak buahnya untuk membawa sample darah gadis itu ke laboratorium untuk di periksa DNA-nya, dan hasilnya sungguh mengejutkan. Pearl adalah cucunya, gadis yang sering menemaninya ketika dia dirawat di rumah sakit itu. Ronald juga berharap Pearl menikahi Harry, menurut instingnya, Harry jauh lebih baik dibanding Juan. Namun semua keputusan berada di tangan Pearl. Lako-laki tua itu tidak mau mengekang demi kebahagiaan cucu tersayangnya. Dia juga tidak mau kejadian seperti putrinya terulang lagi. Ronald terlalu memaksa putrinya, yaitu ibu dari Pearl itu agar menikah dengan laki-laki pilihannya. Sayangnya, sikap keras di dirinya membuat putrinya kabur dengan laki-laki pilihannya sendiri. Hingga lima tahun kemudian dia baru menemukan putrinya yang sudah memiliki anak, bernama Pearl Anastasia. Kaki keduanya melangkah berayun menuju altar, di depan ada Juan. Di setiap sisi ada para tamu undangan, di bangku bagian depan ada wanita tua. Peige duduk di samping ibunya menggunakan kursi roda. "Selamat datang Pearl. Sebentar lagi, kau akan memasuki gerbang neraka, Pearl." bisik wanita tua penuh kebencian. Pearl diserahkan Ronald ke Juan. Lalu Juan membawanya ke depan Altar, keduanya berdiri di hadapan seorang pendeta. Janji suci pun dibacakan, untuk saling setia, sehidup dan semati. Keduanya berciuman, setelah cincin disematkan. Mereka pun keluar dari gereja dengan wajah yang bahagia. Pesta pernikahan Juan dan Pearl berlangsung meriah, walau ada satu ekspresi wajah terlihat tak bahagia dari kejauhan, namun semua tamu undangan bahagia dengan pernikahan Pearl dan Juan. Mereka berdansa, tertawa dan meminum semua wine yang disediakan tuan rumah. Makanan lezat dan mewah pun habis di makan. "Sayang, ayo kita ke kamar. Aku sudah tidak tahan ingin bercinta denganmu!" ujar Juan berbisik di telinga Pearl. Malu-malu gadis itu mengangguk. Juan menggandeng Pearl memisahkan diri dari para tamu. Lalu menggendongnya ketika mereka sudah sedikit jauh dari keramaian. Juan membawa gadis itu ke dalam kamar, lalu menurunkannya disaat keduanya sampai di dalam kamar, mereka berciuman. Dan ini kali pertama Pearl melakukan ciuman dengan seorang laki-laki. Pearl gadis yang lugu, seumur hidupnya belum pernah melakukan ciuman. Bahkan dia tidak pernah berpacaran. Sebab, tak ada yang tertarik padanya, hidupnya hanya sekolah, kerja lalu pulang. Benar-benar kehidupan yang membosankan selama ini. Dan saat ini dia sangat bergairah kala cumbuan demi cumbuan mendarat dari bibir Juan ke seluruh tubuhnya. Mereka melakukan dengan sangat panas, bersemangat. Hingga suara erangan terdengar erotis. Keduanya dalam mabuk asmara yang tidak pernah dibayangkan sebelumnya. Tanpa berhenti. Lalu mereka melakukannya lagi dan lagi sebelum para tamu pulang. "Ini sangat enak sayang!" kata Juan setelah menghabiskan malam pertama pernikahannya dengan Pearl bercinta. "Apakah kamu menyukainya?" Pearl menjawab pelan dan malu-malu. Hubungan intim malam ini kali pertama dia melakukan seumur hidupnya, dan dia sangat menyukainya. Namun, di balik kebahagian Pearl malam ini, akan ada penderitaan yang sedang menunggunya. Pearl tidak pernah tau, hanya Juan beserta keluarganya yang tau akan ini. ****"Tunggu dulu!" tahan Harry. Dia masih penasaran dengan apa yang dia dengar dari bibir Demian. Demian menatap sinis, kemudian dia melihat jari-jari Harry mencengkram kuat-kuat. Hampir melukai lengan Demian yang kekar itu. Sebagai roh yang bersemayam di tubuh laki-laki kini, Pearl sedikit jijik dengan genggaman Harry di lengannya. Demian menepis kencang tangan Harry agar segera menyingkir. "Ada apa lagi, Dokter Harry?" tanya Demian mengelus-elus lengannya yang terasa sakit. "Saya penasaran dengan ucapan Anda tadi. Apa maksudnya kau merasuki tubuhmu itu, Pak Demian?" Harry menyilangkan tangannya, menatap penuh curiga pada Demian. "Tidak ada, mungkin kau salah dengar," elak Demian. "Maaf, saya banyak urusan," lanjutnya, lalu pergi. Kali ini Harry membiarkan Demian pergi, namun, di hatinya masih ada rasa curiga pada Demian. Ucapannya sedikit ada yang ganjil. Dari kejauhan, mata Juan menyipit. "Siapa laki-laki yang sedang bicara dengan Harry?" Dia mengenali laki-laki yang bica
Pagi hari, suasana tampak syahdu. Langit tampak bergemuruh dengan hamparan awan hitam menggelayut di setiap sudut langit yang mulai menghitam. Sesekali kilat menyambar. Di tanah pemakaman umum. Juan berdiri di pinggiran liang lahat Pearl. Lalu ada Sabrina dan Peige di samping Juan, tak lupa Andrea berada di sisi mantan suami Pearl. Keduanya tidak ada rasa canggung, bahkan mereka tidak peduli cemoohan atau gosip miring tentang diri mereka masing-masing tentang hubungan gila itu. Semua yang hadir mengenakan pakaian hitam. Hari ini, prosesi pemakaman Pearl sedang berlangsung. Pendeta membacakan pujian-pujian sebagai pengantar jenazah Pearl ke pembaringan terakhirnya. Semua terdiam dalam suasana khidmat. Begitu juga Harry yang berdiri agak berjauhan dari gerombolan pelayat dikematian Pearl. Ekspresinya tampak sedih, namun tatapan matanya tak lepas dari Juan yang menggenggam tangan Andrea. Menurutnya, laki-laki itu sinting, tidak waras. Di kematian istrinya dia berani menggenggam Andr
Harry baru kembali dari gereja rumah sakit. Di tampak lesu dan tak semangat, pakaiannya masih banyak noda darah milik Pearl. Wajahnya terlihat kuyu dengan keringat yang masih membekas di kulit wajahnya yang putih. Dia menghela napas, duduk menyandar di kursi taman yang sepi dan tenang. "Kenapa tidak berhasil? Kenapa doaku tidak bisa membuat Pearl bangun kembali seperti laki-laki itu?" bisik batin Harry, dia benar-benar kehilangan sosok wanita yang dia cintai. "Maaf, dok!" Sebuah suara mengagetkannya. Harry mendongak. "Ya sus, ada apa?" tanya Harry. "Maaf dok, untuk jenazah Nyonya Pearl selanjutnya mau diapain ya?" Harry menghela napas sekali lagi, lalu kepalanya menunduk kembali. "Coba kau tanyakan pada Dokter Juan, saya tidak ada hak untuk menentukan jenazah Pearl selanjutnya!" jawab Harry pupus harapan. Sebab, dia memang tidak punya hak apapun atas jenazah Pearl yang masih berada di ruang operasi. Walau sebenarnya dia amat ingin mengurus jenazah Pearl dan bisa melihat wajah per
Ponsel Juan berdering pada waktu yang kurang tepat. Kepalanya pusing, dan hatinya dongkol gara-gara surat wasiat Pearl yang membuat dia sedikit gila. Semua di luar prediksi, harta yang diberikan Pearl hanya setengah dari seluruh harta milik perempuan itu. "Halo Bu!" kata Juan agak malas menjawab panggilan telepon Ibunya. "Juan, gimana? Apa kamu sudah mendapatkan harta milik perempuan itu?" tanya Sabrina. "Aaah ... rasanya Ibu gak sabar buat berbelanja, beli baju, perhiasan, sepatu baru dan tas-tas mahal!" katanya bersemangat. Juan menarik napas, lalu menghembuskan napas panjangnya. "Sudah, Bu! Besok pengacara itu akan mengirimkan salinan dari akta kepemilikan harta milik perempuan sialan itu!" ujar Juan. "Benarkah itu, Juan?" "Benar, Bu," jawab Juan lemas. Dia tau ibunya akan kecewa, harta warisan yang dia dapat hanya setengahnya saja. "Kamu dapat semua harta warisan perempuan bodoh itu kan, Juan?" tanya Sabrina sekali lagi. Dia amat penasaran dengan harta itu. Bayang
"S-saya ... tidak berani merubah surat itu, Tuan. Saya tidak merubahnya, Tuan Juan!" Buk. Satu pukulan keras menghantam pipi Anderson. Pengacara itu jatuh terjungkal. Juan tidak peduli ocehannya dan keadaan Anderson, dia menarik kerah kemeja orang kepercayaan keluarga Pearl itu. "Cepat katakan di mana surat wasiat yang asli itu? Cepat katakan sebelum saya menghajarmu sampai mampus, Anderson!" ancam Juan berteriak. "S-saya tidak berbohong pada Anda, Tuan! Saya tidak merubah apapun isi dari surat wasiat itu!" tegas Anderson merasa dirinya terpojok. Juan mendorong keras tubuh Anderson dan beradu keras dengan tembok. "Itu surat wasiat asli dari nyonya Pearl berikan pada saya, apa Anda paham perkataan saya ini?" Lalu mencekiknya, "Kau pikir saya anak kecil yang bisa dibohongi dengan kata-kata seperti ini, Anderson! Cepat berikan sebelum kesabaran saya habis, pengacara bodoh!" Sambil mengancam pengacara itu. Anderson terkekeh, "Itu salah Anda sendiri, Tuan Juan. Kenapa Anda terlalu ser
Di tempat lain, Peige dan Sabrina tertawa gembira, sesaat tadi ketika Harry berlari ke rumah sakit, Sabrina melihat laki-laki itu membawa Pearl yang penuh darah. Wanita tua itu mengikuti, penasaran dengan apa yang terjadi. Dia memperhatikan apa yang Harry lakukan pada Pearl di ruang UGD. Berusaha membuat perempuan itu bernapas kembali dengan sekuat tenaga, bibirnya menyungging, sama seperti saat ini. "Kau tau Peige, laki-laki itu menangis. Menangisi perempuan bodoh yang sekarat itu," kata Sabrina tertawa. "Padahal perempuan kampungan itu sudah mati dengan kepala dan tubuh berlumur darah!" lanjutnya, tawanya lebih kencang. Dia senang sekarang sudah tidak ada hambatan lagi untuk menjadikan Andrea menantu keluarganya, dan kekayaannya akan semakin bertambah bila pernikahan itu benar-benar terjadi. "Aah ... sukurlah. Aku sangat senang dia mampus dengan keadaan menyedihkan, Bu!" kata Peige bernapas lega. "Iya, Ibu juga bersukur dia mampus dan keluarga kita tidak lagi menjadi orang miski