Kumi hendak muntah melihatnya. Sebagai janda, ia mulai terbiasa menghadapi lelaki mendekatinya. Ada lelaki yang sopan tapi kebanyakan lelaki gatel yang mendekatinya sekedar iseng dan ingin mencicipi tubuhnya. “Sayangnya saya lebih suka bekerja, dan tidak mengandalkan pemberian suami,” jawab Kumi. Kata-kata Doni mengingatkan Kumi pada mertuanya. Ia sudah pernah mengabdi menjadi seorang istri penuh waktu dan meninggalkan karirnya. Tapi itu tak membuat dirinya bahagia dan sama sekali tak merubah sikap suami dan mertuanya respek padanya. Justru mereka memperlakukannya dengan buruk. “Maaf saya harus menidurkan Kaluna,” imbuh Kumi. Ia terlalu malas berbasa-basi dengannya. Sikap yang Doni tunjukkan telah membuatnya ilfeel, meski Kumi baru mengenalnya. Dia bukan perempuan yang silau dengan harta. Ia berusaha mengusirnya secara halus supaya cowok itu segera pergi dan Kaluna menangis di saat yang tepat. “Lu masuk saja, gue mau tunggu di sini,” kata Doni
Shaka meremas pundak Kumi. “Keep calm,” bisiknya sebelum ia berjalan mendekati gerbang menemui Tante Yuni. “Halo Tante Yuni, apa kabar? Masih ingat saya kan?” “Eh, oh… Mas Shaka ya? Tentu saja saya ingat,” jawab Yuni gelagapan. Ia tahu Shaka bukan orang sembarangan. Shaka mengambil ponsel, dan membuka aplikasi makanan pesan antar online. “Saya mau mengirimkan donat kekinian ke rumah Tante, bisa tolong ke sini sebentar,” tanya Shaka. Seketika mata Yuni bertabur banyak bintang. Rezeki nomplok ini, pikirnya girang. “Beneran Mas Shaka? Hmm… apa boleh sekalian saya minta tambahan pizza dengan toping mozarela yang banyak Mas?” pintanya spontan. Dia lalu memberikan alamatnya pada pria itu. “Tentu saja,” kata Shaka ringan. Setelah selesai memesan, ia memperlihatkannya pada Yuni. “Wah, hari ini saya makan besar, makasih banget kalau begitu. Ya sudah saya mau pulang dulu.” Yuni bergegas pulang ke rumahnya, jalannya cepat sekali karena khawatir, makanannya datang. Setelah Yuni pergi, Shaka
Doni termangu. Dia tahu nama Shaka Mahasura sebagai pemilik perusahaan tempatnya bekerja. Sayangnya dia belum pernah bertemu dengannya. Maka ia mengambil ponsel dan mengetik nama lelaki itu di gawai. Seketika Doni gemetar melihat foto yang terpampang di ponselnya. Kesombongannya langsung tiarap. Doni langsung mengatupkan kedua tangannya ke depan dada, memohon ampun pada Shaka. “Maafkan saya Pak, maafkan…” kata Doni ketakutan. Tangisnya pecah, ia sangat takut sekali Shaka memecatnya. Shaka tersenyum. “Aku maafkan. Lain kali, jangan begitu ya. Sekarang pergilah dan jangan pernah ganggu Kumi lagi.” “B-baik P-pak!” Doni langsung pergi tanpa menoleh. “Sekarang aman,” kata Shaka. Tawa Kaluna berderai ketika Shaka mengangkatnya ke udara, pria itu berputar dua kali lalu mengayunkan bayi itu ke kanan dan ke kiri. Mata kumi merebak melihat kegembiraan Kaluna dan Shaka. Ia tahu pria itu sangat menyayangi Kaluna. Kumi c
“Itu Kaluna sedang mengejar anak kucing.” Tunjuk Shaka kalem. Jarak Kaluna sekitar satu setengah meter dengan mereka. Kumi mengikuti arah telunjuk Shaka dan melihat Kaluna merangkak mengejar anak kucing. Ia berlari mengambilnya. “Aduh, kamu membuat Mommy khawatir.” Kumi memencet hidung Kaluna. “Biarkan saja Kaluna bermain. Kita awasi dia dari sini,” teriak Shaka. Sementara itu, tak jauh dari mereka sepasang mata memperhatikan tingkah laku Kaluna dengan seksama. Dia adalah Rini-mantan mertua Kumi. Tawa bayi itu terus terngiang di telinga Rini. Semalaman ia kurang tidur karena membayangkan mendekap bayi itu. Bayi cantik bermata belok, kulitnya putih, badannya montok dengan rambut ikal di kuncir dua, telah membuatnya jatuh cinta. Wanita berperawakan tambun itu melenguh. Kerinduannya dengan kehadiran suara bayi semakin membuat dadanya sesak. Ia lalu beringsut ke tepi jendela, melihat serumpun bunga mawar yang mekar di balcony dengan tatapan sayu. Pelan-pelan
Teguh menunduk. Ia membenarkan kata-kata istrinya. Rini memang tidak cantik, tapi dia pandai mengatur rumah tangga dan menyenangkan perutnya. “Arka mau pindah saja dari rumah ini!” “Silahkan saja, mama tidak keberatan! Tugas Mama akan jauh lebih ringan tanpa kalian berdua.” Arka tidak percaya dengan pendengarannya. Ia tidak menyangka reaksi mamanya berbanding terbalik dengan sangkaannya. Mama sama sekali tidak histeris dengan keputusan yang ia buat untuk pindah rumah. Ia juga tak merayu Arka untuk tetap tinggal bersamanya. Aneh! “Apa Mama yakin, Mama tidak akan sedih Arka dan Rhea pindah dari rumah ini?” tanya Arka sebelum langkahnya mencapai pintu. “Tidak! Sama sekali tidak! Kamu sudah punya istri dan dia wajib melayanimu. Bukan malah Mama yang menjadi pelayan istrimu.” “Ma, jangan tersulut emosi. Nanti Mama menyesalinya,” tegur Teguh, suaminya. Namun Rini tidak mendengarkan perkataan suaminya. Ia turun ke bawah. Diik
“Sial!” rutuk Arka berkali-kali. Matanya meleng dan menubruk mobil angkot yang sedang parkir sembarangan di tepi jalan dan membuat body mobil angkot tersebut penyok di bagian belakangnya. Sopir angkot itu turun dan menggedor kaca jendela mobil Arka dengan kasar. Arka menurunkan kaca mobilnya. “Lo apa gak lihat mobil gue parkir? Mata elu dibawa ke mana sih? Gue gak mau tahu, pokoknya lo harus tanggung jawab sekarang!!” Sopir angkot itu meneriaki Arka. “Abang yang salah! Abang parkir sembarangan dan itu bukan murni kesalahan saya!” elak Arka. Lelaki itu mencengkram kerah leher Arka. “Banyak alesan lo! Gue gak mau tahu, elu harus tanggung jawab.” Matanya merah. Bau keringatnya menusuk indra penciuman Arka. Arka membaca situasi, tak ada gunanya ia berdebat di sini, memperdebatkan asal muasal siapa yang salah dan benar. Semua itu hanya akan memperlambat waktunya menuju kantor. Pria itu mendengus. Ia sedang tergesa-gesa karena Shaka akan datang ke kantornya. “
Arka tak mengira jawaban Kumi begitu menohok. Mata dia blingsatan menahan amarahnya. “Berlagu sekali dia,” gerutunya kesal. Ia duduk di depan Rio dengan muka berlipat. Rio mendengar gerutuan Arka. Tanpa bicara dia meraih ponsel dan mengambil foto lelaki di depannya itu. “Hei Bos, jangan salahkan Kumi. Dia tidak salah, justru dia memperingatkan kamu untuk berhati-hati pacaran dengan sekretarismu itu!” Kemudian Rio memberikan hasil jepretannya pada Arka. Mata Arka hendak melompat keluar melihat bekas lipstick warna merah sangat mencolok sekali di kerah kemejanya yang berwarna biru langit. “Ah f*ck!” umpat Arka dengan murka. Mukanya kini merah karena malu. Dia ingat Niken tadi menciumnya! Kedua tangannya mengepal. Shaka pasti tadi melihatnya. Dia mengkhawatirkan reputasinya di depan Shaka. “Menurutmu apa yang harus kulakukan sekarang?” tanyanya pada Rio. Rio mengangkat kedua bahunya. “Jangan tanya saya. Saya tidak berpengalaman soal itu. Lagian Anda sendiri yang bikin mas
Muka Arka seketika berang melihat Kumi berada di kantornya ia langsung menghentikan permainannya. Cepat-cepat dia menarik resleting celananya kemudian menurunkan Niken dari meja dengan kasar. “Pergilah!” Napasnya masih memburu. Niken berusaha menutupi rasa kikuknya dengan tersenyum pada Kumi, sembari merapikan rambut dan bajunya, lalu dia keluar. Arka bersungut dan menghampiri Kumi. “Apa kamu pikir ini kantormu? Masuk seenak jidatnya sendiri?” Lelaki itu berteriak menutupi rasa malunya. Kumi mendengkus jengkel. “Iya aku salah! Tapi kamu lebih salah karena melakukan seks saat bekerja.” “Ini kantorku, aku bisa melakukan apa saja sesuai kehendakku. Apa kamu sudah jelas! Satu lagi, kamu tak bisa mengaturku!” Arka semakin mendekat. Samar-samar ia mencium parfum Kumi yang lembut. “Terus kamu mau apa ke sini? Apa kamu sengaja mau mencari kesalahanku heh?” Dia mengelus pipi Kumi. Halus. “Dasar bajingan!” rutuk Kumi. “Aku mau mengambil ponselku yang ke