"Aku lapar, Jav. Apa Eugene sudah datang?" Visha terlihat tersipu, karena Javier terkekeh mendengar pertanyaannya. "Tak perlu menunggu Eugene, kalau memang Nona sudah lapar. Ayo, kuantar ke ruang makan." Javier mengedikkan kepalanya dan langsung mendapat anggukan dari Visha.Ia segera menutup kamarnya dan menyusul langkah Javier yang sudah lebih dulu berjalan."Jav, kenapa semua orang di sini bisa bahasa negara Indonesia? Aku bahkan baru menyadari kalau kau bukan orang Indonesia. Benar, kan?" tanya Visha sambil menyusuri lorong yang sama seperti yang ia lewati saat tiba tadi.Javier pun tersenyum. Ia sudah menunggu-nunggu kapan Visha akan menyadari hasil didikan Luca atas semua orang yang bekerja di bawahnya."Dari cerita ayah, bos sengaja melatih semua orang berbahasa Indonesia, ketika ia jatuh cinta pada nyonya Vivien. Beliau tak ingin nyonya merasa tak nyaman dengan orang berbicara bahasa asing disekitarnya," jelas pria kekar itu sambil mengingat-ingat lagi bagaimana dulu mereka b
"Bianca ... kau sudah datang?" sapa Luca santai, tapi tubuhnya masih melekat di sofa.Sementara Visha langsung berdiri dan membungkuk hampir 90 derajat, memberi salam pada wanita paruh baya yang adalah ibu sambungnya itu, "Selamat siang, Mama.""Navisha, Sayang. Ayo kita makan. Maaf, mama membuat kalian menunggu. Lihat ayahmu merajuk karena lapar." Bianca mengulurkan tangannya dan meraih pergelangan tangan Visha, mengajaknya ke meja makan.Sementara netra Visha menatap sang ayah. Dan ia lega melihat ayahnya tersenyum bahagia.'Dia pasti tenang karena mama sepertinya bisa menerima kehadiranku.' Visha membatin sambil mengikuti arahan Bianca untuk duduk di tempat yang sudah disiapkan.Javier sendiri berpikir akan melangkah menemani Visha, tapi Luca menghalanginya."Jav! Biarkan saja. Kau bisa keluar dan berjaga ... atau makan siang. Ada aku di sini," perintah Luca pada Javier.Mulut Javier baru saja terbuka hendak protes, tapi Luca sudah melangkah menuju meja makan. Ia akhirnya memutuskan
“Tidak, Papa!” Jawaban Ernesto terdengar lantang dan jelas. Pun spontan. Bagi Luca, hal itu sudah cukup membuktikan teori Dominic—anak buahnya yang selalu dipanggil dengan sebutan Dom, bahwa ada orang lain yang melakukan intervensi terhadap laporan Ernesto. “Baiklah. Kau bisa pergi, Ernesto. Kuharap kau tidak mengulang kesalahanmu ini. Aku melepaskanmu kali ini saja, karena Visha berhasil diselamatkan oleh Javier.” Mendengar keputusan sang ayah, Ernesto pun segera memeluk pria tua itu dan berterima kasih berulang kali. “Pergilah. Papa akan mencari kakakmu.” Ernesto mengangguk. Ia tak berani meminta untuk ikut karena tidak mau membuat sang ayah kembali marah padanya. Sepeninggalan Ernesto, Luca berbalik untuk menenangkan diri, menatap foto Vivien di rak belakang meja kerjanya. Ia selalu melakukan itu—mengingat kenangannya dengan Vivien, kala emosi menguasai dirinya. “Vivien … aku berhasil menemukan Navisha. Andai kau ada di sini, Sayangku Vivien,” gumamnya sambil meraba bingkai
“Aku … akan berusaha belajar dengan giat, Ayah.Setelah hening sesaat, akhirnya Visha mengutarakan niatnya itu, walau dengan berbagai keraguan. Ragu pada dirinya sendiri, pada kemampuan otaknya dan pada kekuatan hatinya.Bagi Visha, selama menjadi pelayan keluarga Adinata, tak pernah sedikitpun ia memimpikan akan lepas dari pekerjaan itu. Apalagi menjadi seorang anak dari keluarga kaya seperti ayahnya.“Terima kasih, Navisha Sayang.” Luca memeluk anak gadisnya itu dengan penuh syukur.Ia kemudian melontarkan sebuah pertanyaan yang sedikit mengganggunya. “Visha, Nak. Apa kau nyaman tinggal di rumah ini? Atau kau lebih senang tinggal sendiri di apartemen?”Wajah Visha terlihat kaget dengan pertanyaan sang ayah. Tetapi, ia belum bisa memastikan hatinya. Tentu saja, tinggal di tempat asing terasa tidak nyaman pada awalnya. Tapi Visha memang baru menginjakkan kakinya di tempat ini kurang dari satu hari.‘Kurasa ini ketidaknyamanan yang normal.’ Visha membatin.Ia kemudian memutuskan, “Ayah
“Ha! Tak kenal maka tak sayang, eh? Seperti itu kalau tak salah Vivien pernah mengatakannya pada bos kami dulu.”Kerutan di dahi Visha terbentuk.Pertanyaan-pertanyaan mulai bermunculan di dalam kepala Visha. ‘Siapa mereka?! Bagaimana mereka bisa tahu nama ibuku?! Apa hubungan ibuku dengan bos mereka?!’“Ba—bagaimana kalian tahu nama itu?!” tanya Visha tergagap.Ketiga pria itu pun segera mendekat dan langsung mencengkeram lengan atas Visha sambil berkata, “Tidak penting bagaimana kami tahu. Tapi yang terpenting, kami sudah mendapatkan kelemahan Luca Cavallo. Ha! Ha! Ha!”Dengan paksa Visha ditarik keluar dari ruang ganti menuju ke luar gedung butik itu. Netra Visha sibuk mencari keberadaan Bianca, tapi ia tak dapat menemukannya.Namun detik berikutnya ia melihat sang ibu juga di tarik keluar oleh orang-orang yang berpakaian sama seperti yang menariknya.Bianca terlihat berteriak dan mengancam mereka karena berani menyentuhnya. Tapi sepertinya orang-orang itu tidak peduli.“Sial! Per
"Kau dengar itu, Madoka?!” ujar Javier sambil mengepalkan tangannya. Ia sudah tidak sabar untuk menghajar orang-orang Allaster itu. Madoka mengangguk seraya memutar kendali mobil dengan cepat. Mereka berbalik arah, setelah mendengar teriakan Luca di telinga seluruh anak buah Cavallo. Setiap anggota Cavallo memiliki sebuah anting yang bukan hanya dipakai untuk pemanis, tapi juga sebagai alat komunikasi. “Allaster brengsek! Berani mereka menyentuh Nona Navisha seperti itu!” raung Madoka sambil menginjak pedal gas lebih dalam lagi. “Tenang, Madoka! Biar aku saja yang marah. Kau menyetir yang benar!” sentak Javier yang mulai khawatir kalau mereka akan terbunuh bahkan sebelum tiba di markas Allaster. Beberapa menit kemudian, mereka tiba di markas besar Allaster. Javier bisa melihat semua anak buah Cavallo berkumpul di depan gerbang besar kediaman Darrien Allaster. Namun kelihatannya ada yang tidak beres. Mereka semua terlalu tenang. Javier pun bertanya pada salah satu rekannya, “Di ma
“Apa?! Dari mana mereka tahu, kalau mereka hanyalah orang bayaran?!” sentak Javier yang merasa kalau memang ada yang janggal dari kejadian hari ini.Madoka menatap lurus ke depan. Bukan tak bisa menjawab, tapi ia sendiri takut dengan hasil analisa pikirannya sendiri.“Madoka! Kau tak berpikir bahwa Darrien ada kemungkinan berbohong, kan?” tanya Javier lagi, panik.Karena Luca sepertinya sangat mempercayai Darrien dan malah mengundang sang pemimpin organisasi Allaster itu untuk makan malam hari ini.“Itu salah satu kemungkinan yang bisa saja terjadi, Jav,” komentar Madoka sambil meremas erat gagang kemudi kendaraan roda empat itu.Ia menambahkan, “Tapi kau tahu, ‘kan? Tak banyak yang tahu ucapan itu selain yang dekat dengan Nyonya Vivien. Kalau kita eliminasi semua itu kau pasti tahu hanya ada beberapa orang yang bisa kita curigai, termasuk bos Luca sendiri.”“Tak mungkin bos Luca berniat mencelakai putrinya sendiri!” protes Javier pada hasil analisa Madoka.“Sabar dulu. Aku juga tahu
“Ha! Ha! Ha! Kurasa kau ini sedang penasaran seperti apa memegang pistol, kan?! Anak nakal!” ujar Luca sambil mengetuk hidung mancung Visha dengan ujung telunjuknya.Visha hanya menjulurkan lidahnya, ketahuan tujuan utamanya. “Tapi aku akan benar-benar berlatih, Ayah.”Luca menghela napas panjang. Ada kelegaan, bahwa apa yang terjadi tadi, tidak meninggalkan trauma apapun pada Visha.Pria tua itu menatap Visha cukup lama, sambil membatin, ‘Dia lebih kuat dari dugaanku. Vivien, apa kau memperhatikan putri kita? Dia tumbuh dengan luar biasa.’“Ayah! Bagaimana?! Kau takkan menarik ucapanmu lagi kan?!” keluh Visha sambil menggembungkan pipinya.“Kuberi kau syarat, Anakku. Kalau kau bisa lulus tes akhir bulan ini dengan nilai di atas 90, maka aku akan menjadwalkan latihan menembak dan bela diri untukmu. Bagaimana?” tanya Luca