Share

Chapter 7 Talak Aku

Rita kini terduduk di lantai bersandar pada pintu kamarnya yang terkunci rapat. Sementara itu, Aprianto dari luar kamarnya tak henti-hentinya mengetuk pintu dan merayunya agar meluluh.

Tak termaafkan, Rita sudah tak sanggup lagi. Pernikahan yang sudah berlangsung selama sepuluh tahun harus kandas saat ini juga. Rita jelas tak ingin dimadu, terlebih dengan saudara tirinya. Ia sungguh tak habis pikir apa yang terjadi dengan isi pikiran suaminya?

“Apri, apa yang kamu lakukan. Bisa rusak itu pintu kamu gedor begitu. Nggak kasihan anakmu kebisingan? Udahlah biarin aja, nanti juga kalau lapar dia buka pintunya.” Suara Rakmi sukses membungkam suara gedoran.

Rita sama sekali tak mendengar Apriyanto membuka mulut memberikan balasan kepada sang ibu.

“Sayang, buka yuk pintunya? Jangan seperti anak kecil. Ayo semua bisa kita bicarakan,” bujuk Apriyanto dengan nada lembut merayu.

Rita memejamkan mata seraya kedua tangannya mengepal keras di sini tubuhnya. Beginilah sifat asli sang suami yang selalu tunduk dengan perkataan sang ibu tanpa menelaah baik dan buruknya. Semua yang dikatakan ibunya ia, iyakan begitu saja.

“Semua sudah jelas, Mas. Aku sudah tidak bertahan di sini.”

“Aku cinta kamu, Sayang,” balas Apriyanto cepat.

Rita mendengkus dan tertawa sumbang. “Cinta? Makan itu . Jika kamu memang cinta padaku tanpa syarat seperti yang dulu kamu janjikan apa yang terjadi hari ini tidak akan pernah terjadi. Dasar, bajingan!” teriak Rita.

“Sttt … kecilkan suaramu. Nanti anak kita terganggu.”

Rita seketika bangkit dengan dada penuh amarah ia segera membuka pintu dan Apriyanto yang tidak siap bersandar di daun pintu hampir saja terjerembab. Rita dengan sigap melangkah mundur menghindari Apriyanto.

“Dia bukan anakku dan tak akan pernah menjadi anakku. Anakku sudah mati bertahun-tahun yang lalu,” ujar Rita dingin.

Rita lantas berbalik dan kembali meraih tas bepergian yang tadi di taruh oleh Yuda. Dengan asal-asalan Rita segera meraih pakaian yang berada dalam jangkauan pandangannya yang mengabur karena lamanya menangis.

“Kamu mau ke mana?!” tanya Apriyanto dengan panik, “kita bicarakan dulu, Sayang.”

“Apa kamu meminta izin sebelum menikah dengannya? Apa kamu sudah meminta izinku sebelum menghamilinya? Katakan?!” berondong Rita setelah menutup rapat ta situ dan menghempaskan begitu saja di lantai.

“Jangan marah, Sayang,” ujar Apriyanto berusaha mengatasi kepanikannya. Ia belum siap menghadapi ibu mertuanya. Sungguh ia belum memikirkan apa yang harus ia katakan pada mertuanya yang bisa sama galak seperti ibunya.

“Ingat dengan kesehatan dan darah tinggi.”

“Nggak usah sok perhatian. Talak aku sekarang,” pinta Rita dengan dagu terangkat menatap tajam ke arah Apriyanto tanpa gentar.

“Tidak. Aku tidak mau menalakmu.” Apriyanto menggeleng seraya melayangkan tatapan tidak percaya. Apriyanto lantas maju selangkah di susul dengan Rita yang mundur.

“Jangan dekati aku lagi. Dengan kamu membawa istri baru dan anak. Saat itu juga hubungan kita sudah berakhir.”

“Tidak ada yang seperti itu, Sayang,” balas Apriyanto menatap geli ke arah Rita.

Rita tersinggung dengan sikap Apriyanto. “Baik kalau begitu, kamu anggap omonganku hanya lelucon. Aku sudah tidak ada harganya di matamu. Begitu ‘kan, Mas?”

“Tidak, tentu saja tidak.” Apriyanto menggeleng cepat, “mendekatlah aku ingin menyentuhmu.”

“Najis, aku bersentuhan denganmu! Aku pergi dari sini, saat ini juga. Sampai jumpa di persidangan, Mas.”

Seketika Amarah Apriyanto memuncak, ia segera melesat ke arah pintu dan menguncinya rapat. Apriyanto juga mencabut kunci dan membuangnya secara sembarangan.

Rita membelalak kaget dengan ulah suaminya yang menurut dirinya sungguh tidak tahu diuntung. “Apa yang kamu lakukan? Jangan egois, Mas. Anak yang kamu inginkan sudah kamu dapatkan. Istri muda dan penurut juga sudah kamu dapatkan. Lepaskan aku!” kalimat terakhir diucapkan Rita saat Apriyanto menerjang dan segera merengkuhnya ke dalam pelukan.

“Tidak akan,” geram Apriyanto penuh kemarahan.

“Sinting kamu, Mas. Aku jelas tidak mau dimadu apalagi dengan saudara tiriku. Kalian semua sudah gila!” Rita meronta berusaha melepaskan diri. Sakit hatinya semakin menjadi-jadi. Ia tak lagi ingin dianggap sebagai wanita naif. Sudah cukup ia bersabar selama ini.

“Selamat pada akhirnya kamu mendapatkan kembali mantan pacarmu buk … mmpph.” Perkataan Rita terputus dengan seiring Apriyanto yang kini mencumbunya.

Semua terjadi begitu cepat, Apriyanto dengan kasar melemparkan tubuh Rita ke atas ranjang dan dengan kasar memaksa Rita untuk berhubungan badan. Luluh lantak harga dirinya kini, martabat pun sudah tak punya. Lantas apa yang tersisa darinya. Tidak ada, selain tubuh yang masih bernyawa ini.

Suami yang selalu memperlakukan dirinya dengan lembut saat memadu kasih kini sudah tidak ada lagi. Apriyanto sungguh berbeda. Rita memeluk tubuhnya yang menggigil setelah semuanya usai. Nyeri ia rasakan dari ujung kaki sampai puncak kepalanya.

Suara air mengalir dari kamar mandi dan senandung kecil menandakan pria itu cukup puas dengan apa yang ia lakukan. Rita, berusaha bangun dan dengan sisa tenaganya memakai pakaian baru yang ia ambil secara sembarangan dari lemari. Baju lamanya sudah tak berbentuk lagi, Apriyanto melepasnya secara kasar dan menjadi rusak.

Rita dengan berjingkat mengambil tas tangan dan juga tas bepergian segera pergi dari kamar itu setelah ia bisa menemukan kunci yang tergeletak tak jauh dari kursi rias. Begitu pintu terbuka Yuda dan Eli sepasang suami istri itu sudah berdiri di sana.

“Ya ampun, Bu,” ucap Eli prihatin.

“Ayo pergi. AKu tidak mau berada di neraka ini lagi.”

“Tentu saja.” Yuda lantas meraih kedua tas Rita dan ketiganya pergi melalui pintu samping yang langsung menuju garasi.

Tepat saat pintu gerbang terbuka. Teriakan Apri nama Rita. Rita tanpa menengok ke belakang menyuruh Yuda untuk mengebut.

“Kita ke klinik yang agak jauh dari sini ya.”

“Ke Rumah Sakit Cinta Kasih saja, Bu.”

“Iya ke sana saja.”

“Sepertinya Pak Apri nggak akan sempat mengejar,” ujar Eli yang duduk mendampingi Rita di bangku belakang.

“Tenang saja. Aku akan lewat jalan tikus, jikapun dia mengejar sudah pasti tidak akan menemukan kita,” kata Yuda menenangkan.

“Terima kasih kalian mau ikut denganku,” ucap Rita penuh haru.

“Sudah tugas kami menjaga Ibu. Untuk sementara waktu kita ke desa ya, Bu?”

Mata Rita membelalak lebar. “Jangan, dia bisa menemukan kita nanti.”

“Jangan khawatir. Kita bukan kembali ke desa asal kami. Ibu pokoknya terima beres saja. Semua saya yang atur,” kata Yuda menimpali.

Rita mengangguk dari kaca spion tengah saling menukar pandangan dengan Yuda. “Aku percaya kepadamu.”

“Ada anak saya di sana nanti. Jadi Ibu akan .”

“Benarkah? Lalu kalian?”

“Kami juga akan berada di sana. Saya punya kebun, yah memang tidak besar tetapi cukuplah untuk berkegiatan.”

“Bagus sekali. Aku suka tinggal di desa.

“Apa yang?” tanya Devon di ruang tindakan UGD.

“Mas Apri memperkosaku.”

Devon sudah menduga itu yang terjadi kepada temannya ini tetapi mendengar bahwa hal itu terucap dari bibir sahabatnya ini tetap saja membuatnya syok.

“Apa yang terjadi?”

“Aku ingin meminta bercerai karena tanpa sepengetahuanku dia menikah dan sudah memiliki anak."

“APA?!”

“Ya dan yang lebih mengejutkan lagi. Asmi yang menjadi maduku. Jelas saja aku tidak terima.”

“Aku sungguh tidak bisa membayangkan sakit hatimu. Sudah cukup ini bisa menjadi bahan bukti jika kamu akan menuntutnya.”

“Terima kasih. Aku memang butuh sesuatu untuk melawannya nanti. AKu sudah memiliki firasat tidak akan mudah menyingkirkan Mas Apri.”

“Mas Apri … kamu tidak perlu lagi memanggilnya dengan itu. Aku . Lantas sekarang apa yang akan kamu lakukan?”

“Aku akan pergi jauh untuk sementara waktu.”

“Apa kamu akan membalasnya?”

“Tentu saja. Untuk apa aku melakukan visum jika tidak berjaga-jaga. Keluarga Suhardiman harus membayar semua sakit hatiku selama tinggal di sana.”

“Kata-katamu membuat diriku merinding. Tapi aku sangat suka dengan semangatmu dan mendukung 100%.”

“Terima kasih kembali, aku sangat butuh dukungan dari kalian semua.”

“Sama-sama. Jangan terlalu sering berterima kasih padaku. Kamu juga sudah banyak membantuku di masa lampau.”

“Rahasiakan keberadaanku."

“Rahasiamu aman bersamaku,” tukas Devon seraya membuat gerakan mengunci mulut.

Rita memeluk Devon singkat dan kemudian pergi bersama dengan Eli dan Yuda yang sudah menyelesaikan administrasi.

tbc

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status