Rita kini terduduk di lantai bersandar pada pintu kamarnya yang terkunci rapat. Sementara itu, Aprianto dari luar kamarnya tak henti-hentinya mengetuk pintu dan merayunya agar meluluh.
Tak termaafkan, Rita sudah tak sanggup lagi. Pernikahan yang sudah berlangsung selama sepuluh tahun harus kandas saat ini juga. Rita jelas tak ingin dimadu, terlebih dengan saudara tirinya. Ia sungguh tak habis pikir apa yang terjadi dengan isi pikiran suaminya?“Apri, apa yang kamu lakukan. Bisa rusak itu pintu kamu gedor begitu. Nggak kasihan anakmu kebisingan? Udahlah biarin aja, nanti juga kalau lapar dia buka pintunya.” Suara Rakmi sukses membungkam suara gedoran.Rita sama sekali tak mendengar Apriyanto membuka mulut memberikan balasan kepada sang ibu.“Sayang, buka yuk pintunya? Jangan seperti anak kecil. Ayo semua bisa kita bicarakan,” bujuk Apriyanto dengan nada lembut merayu.Rita memejamkan mata seraya kedua tangannya mengepal keras di sini tubuhnya. Beginilah sifat asli sang suami yang selalu tunduk dengan perkataan sang ibu tanpa menelaah baik dan buruknya. Semua yang dikatakan ibunya ia, iyakan begitu saja.“Semua sudah jelas, Mas. Aku sudah tidak bertahan di sini.”“Aku cinta kamu, Sayang,” balas Apriyanto cepat.Rita mendengkus dan tertawa sumbang. “Cinta? Makan itu . Jika kamu memang cinta padaku tanpa syarat seperti yang dulu kamu janjikan apa yang terjadi hari ini tidak akan pernah terjadi. Dasar, bajingan!” teriak Rita.“Sttt … kecilkan suaramu. Nanti anak kita terganggu.”Rita seketika bangkit dengan dada penuh amarah ia segera membuka pintu dan Apriyanto yang tidak siap bersandar di daun pintu hampir saja terjerembab. Rita dengan sigap melangkah mundur menghindari Apriyanto.“Dia bukan anakku dan tak akan pernah menjadi anakku. Anakku sudah mati bertahun-tahun yang lalu,” ujar Rita dingin.Rita lantas berbalik dan kembali meraih tas bepergian yang tadi di taruh oleh Yuda. Dengan asal-asalan Rita segera meraih pakaian yang berada dalam jangkauan pandangannya yang mengabur karena lamanya menangis.“Kamu mau ke mana?!” tanya Apriyanto dengan panik, “kita bicarakan dulu, Sayang.”“Apa kamu meminta izin sebelum menikah dengannya? Apa kamu sudah meminta izinku sebelum menghamilinya? Katakan?!” berondong Rita setelah menutup rapat ta situ dan menghempaskan begitu saja di lantai.“Jangan marah, Sayang,” ujar Apriyanto berusaha mengatasi kepanikannya. Ia belum siap menghadapi ibu mertuanya. Sungguh ia belum memikirkan apa yang harus ia katakan pada mertuanya yang bisa sama galak seperti ibunya.“Ingat dengan kesehatan dan darah tinggi.”“Nggak usah sok perhatian. Talak aku sekarang,” pinta Rita dengan dagu terangkat menatap tajam ke arah Apriyanto tanpa gentar.“Tidak. Aku tidak mau menalakmu.” Apriyanto menggeleng seraya melayangkan tatapan tidak percaya. Apriyanto lantas maju selangkah di susul dengan Rita yang mundur.“Jangan dekati aku lagi. Dengan kamu membawa istri baru dan anak. Saat itu juga hubungan kita sudah berakhir.”“Tidak ada yang seperti itu, Sayang,” balas Apriyanto menatap geli ke arah Rita.Rita tersinggung dengan sikap Apriyanto. “Baik kalau begitu, kamu anggap omonganku hanya lelucon. Aku sudah tidak ada harganya di matamu. Begitu ‘kan, Mas?”“Tidak, tentu saja tidak.” Apriyanto menggeleng cepat, “mendekatlah aku ingin menyentuhmu.”“Najis, aku bersentuhan denganmu! Aku pergi dari sini, saat ini juga. Sampai jumpa di persidangan, Mas.”Seketika Amarah Apriyanto memuncak, ia segera melesat ke arah pintu dan menguncinya rapat. Apriyanto juga mencabut kunci dan membuangnya secara sembarangan.Rita membelalak kaget dengan ulah suaminya yang menurut dirinya sungguh tidak tahu diuntung. “Apa yang kamu lakukan? Jangan egois, Mas. Anak yang kamu inginkan sudah kamu dapatkan. Istri muda dan penurut juga sudah kamu dapatkan. Lepaskan aku!” kalimat terakhir diucapkan Rita saat Apriyanto menerjang dan segera merengkuhnya ke dalam pelukan.“Tidak akan,” geram Apriyanto penuh kemarahan.“Sinting kamu, Mas. Aku jelas tidak mau dimadu apalagi dengan saudara tiriku. Kalian semua sudah gila!” Rita meronta berusaha melepaskan diri. Sakit hatinya semakin menjadi-jadi. Ia tak lagi ingin dianggap sebagai wanita naif. Sudah cukup ia bersabar selama ini.“Selamat pada akhirnya kamu mendapatkan kembali mantan pacarmu buk … mmpph.” Perkataan Rita terputus dengan seiring Apriyanto yang kini mencumbunya.Semua terjadi begitu cepat, Apriyanto dengan kasar melemparkan tubuh Rita ke atas ranjang dan dengan kasar memaksa Rita untuk berhubungan badan. Luluh lantak harga dirinya kini, martabat pun sudah tak punya. Lantas apa yang tersisa darinya. Tidak ada, selain tubuh yang masih bernyawa ini.Suami yang selalu memperlakukan dirinya dengan lembut saat memadu kasih kini sudah tidak ada lagi. Apriyanto sungguh berbeda. Rita memeluk tubuhnya yang menggigil setelah semuanya usai. Nyeri ia rasakan dari ujung kaki sampai puncak kepalanya.Suara air mengalir dari kamar mandi dan senandung kecil menandakan pria itu cukup puas dengan apa yang ia lakukan. Rita, berusaha bangun dan dengan sisa tenaganya memakai pakaian baru yang ia ambil secara sembarangan dari lemari. Baju lamanya sudah tak berbentuk lagi, Apriyanto melepasnya secara kasar dan menjadi rusak.Rita dengan berjingkat mengambil tas tangan dan juga tas bepergian segera pergi dari kamar itu setelah ia bisa menemukan kunci yang tergeletak tak jauh dari kursi rias. Begitu pintu terbuka Yuda dan Eli sepasang suami istri itu sudah berdiri di sana.“Ya ampun, Bu,” ucap Eli prihatin.“Ayo pergi. AKu tidak mau berada di neraka ini lagi.”“Tentu saja.” Yuda lantas meraih kedua tas Rita dan ketiganya pergi melalui pintu samping yang langsung menuju garasi.Tepat saat pintu gerbang terbuka. Teriakan Apri nama Rita. Rita tanpa menengok ke belakang menyuruh Yuda untuk mengebut.“Kita ke klinik yang agak jauh dari sini ya.”“Ke Rumah Sakit Cinta Kasih saja, Bu.”“Iya ke sana saja.”“Sepertinya Pak Apri nggak akan sempat mengejar,” ujar Eli yang duduk mendampingi Rita di bangku belakang.“Tenang saja. Aku akan lewat jalan tikus, jikapun dia mengejar sudah pasti tidak akan menemukan kita,” kata Yuda menenangkan.“Terima kasih kalian mau ikut denganku,” ucap Rita penuh haru.“Sudah tugas kami menjaga Ibu. Untuk sementara waktu kita ke desa ya, Bu?”Mata Rita membelalak lebar. “Jangan, dia bisa menemukan kita nanti.”“Jangan khawatir. Kita bukan kembali ke desa asal kami. Ibu pokoknya terima beres saja. Semua saya yang atur,” kata Yuda menimpali.Rita mengangguk dari kaca spion tengah saling menukar pandangan dengan Yuda. “Aku percaya kepadamu.”“Ada anak saya di sana nanti. Jadi Ibu akan .”“Benarkah? Lalu kalian?”“Kami juga akan berada di sana. Saya punya kebun, yah memang tidak besar tetapi cukuplah untuk berkegiatan.”“Bagus sekali. Aku suka tinggal di desa.“Apa yang?” tanya Devon di ruang tindakan UGD.“Mas Apri memperkosaku.”Devon sudah menduga itu yang terjadi kepada temannya ini tetapi mendengar bahwa hal itu terucap dari bibir sahabatnya ini tetap saja membuatnya syok.“Apa yang terjadi?”“Aku ingin meminta bercerai karena tanpa sepengetahuanku dia menikah dan sudah memiliki anak."“APA?!”“Ya dan yang lebih mengejutkan lagi. Asmi yang menjadi maduku. Jelas saja aku tidak terima.”“Aku sungguh tidak bisa membayangkan sakit hatimu. Sudah cukup ini bisa menjadi bahan bukti jika kamu akan menuntutnya.”“Terima kasih. Aku memang butuh sesuatu untuk melawannya nanti. AKu sudah memiliki firasat tidak akan mudah menyingkirkan Mas Apri.”“Mas Apri … kamu tidak perlu lagi memanggilnya dengan itu. Aku . Lantas sekarang apa yang akan kamu lakukan?”“Aku akan pergi jauh untuk sementara waktu.”“Apa kamu akan membalasnya?”“Tentu saja. Untuk apa aku melakukan visum jika tidak berjaga-jaga. Keluarga Suhardiman harus membayar semua sakit hatiku selama tinggal di sana.”“Kata-katamu membuat diriku merinding. Tapi aku sangat suka dengan semangatmu dan mendukung 100%.”“Terima kasih kembali, aku sangat butuh dukungan dari kalian semua.”“Sama-sama. Jangan terlalu sering berterima kasih padaku. Kamu juga sudah banyak membantuku di masa lampau.”“Rahasiakan keberadaanku."“Rahasiamu aman bersamaku,” tukas Devon seraya membuat gerakan mengunci mulut.Rita memeluk Devon singkat dan kemudian pergi bersama dengan Eli dan Yuda yang sudah menyelesaikan administrasi.tbc“Ada apa Apri!” bentak Rakmi yang bergegas menuju teras. Tatapan melotot marah ia layangkan pada anak lelakinya itu. Lihat saja penampilan Apri yang hanya berbalut handuk sebatas pinggang tanpa sehelai baju melekat pada tubuhnya.Apriyanto memang baru saja selesai mandi tetapi melihat wajahnya yang kalut dengan rambut basah yang acak-acakan. Rakmi tahu jika Apriyanto masih berselisih paham dengan Rita.“Ada apa denganmu?” tanyanya kini dengan nada rendah, “ngapain sih di sini? Pakai baju saja. Nggak malu kalau sampai dilihat tetangga?”“Rita pergi Bu.”“Apa maksudnya pergi?”“Dia memintaku menalaknya. Dia jelas tidak mau dimadu.”“Ceraikan saja dia,” jawab Rakmi enteng.Apriyanto menatap ibunya dengan tidak percaya. “Maksud Ibu apa? Bukankah Ibu sudah setuju jika aku menikah lagi dan memberikan cucu. Aku masih boleh mempertahankan Rita?”“Itu ‘kan kalau dia mau. Nyatanya sekarang dia pergi ‘kan? Itu menanda
Setelah menempuh perjalanan kurang lebih lima jam. Akhirnya mereka sampai di sebuah Villa bercat putih dari gerbang sampai bangunan utama. Udara segar langsung menyambut paru-paru Rita yang penuh kesesakan. Rasanya sudah sangat lama ia tidak menghirup aroma kesegaran asli seperti ini. Tanpa polusi dan dinginnya angin dini hari tengah menyapa. Ia mengetatkan jaket yang terpakai dan selimut tebal yang Rita tak tahu dari mana datangnya. Eli sepertinya yang memakaikannya selama dirinya ketiduran dalam mobil tadi. Lampu dalam villa seketika menyala terang dan seorang pria gagah rupawan membukakan pintu dan berdiri di teras.“Kenalkan ini anak saya, Wahyu,” ujar Eli sementara Yuda sibuk membawa masuk barang bawaan mereka.“Saya Wahyu, pemilik vila.” Uluran tangan dari Wahyu disambut oleh Rita sesaat. “Sepertinya Bu Rita memang sudah sangat capek. Mari masuk, saya sudah siapkan wedang jahe sebelum kita semua melanjutkan tidur.”Rita masih
Rita terbangun saat sinar matahari mulai memasuki kamar dari jendela yang terbuka. Tirainya berkibar tertiup angin pagi dari luar. Rita merapikan tempat tidur lalu berjalan menuju jendela dan hendak menutupnya tetapi segera ia urungkan. Ia memicingkan matanya memperjelas apa yang ia lihat saat ini. Rita mengucek matanya, melotot menajamkan pandangan pada sosok yang sedang mengobrol akrab dengan Yuda.“Ngapain dia di sini?” gumam Rita.“Bu, sudah bangun?”Rita merapatkan tirai tebal hingga cahaya dari luar terhalang dan berbalik menghadap Eli yang melongokkan kepala dari ambang pintu.“Sudah. Masuklah.”“Kenapa di tutup tirainya, Bu?”“Silau.”“Sudah dirapikan juga rupanya. Ini kan bukan di rumah Bu Rakmi. Ibu bisa menyuruh saya membereskan tempat tidur.”“Tak lagi memiliki pasangan atau mertua bukan berarti aku harus bermalas-malasan. Jika memang aku bisa mengerjakan tidak masalah bukan? Toh, jika aku sedang tidak di rumah semua pekerjaan menjadi
"Kamu sudah menalak, Rita?" tanya Rakmi begitu bertemu dengan Apriyanto yang keluar dari kamar tidurnya bersama Rita."Tidak akan.""Kenapa tidak? Kamu harus segera menceraikan dia. Dia sudah memilih pergi, itu tandanya dia tidak benar-benar mencintaimu. Bisa jadi dia sudah bersama dengan pria lain. Orang ya, kalau susah punya anak. Main sama siapa aja, nggak akan ambil pusing. Siapa tahu sekarang dia emang udah mandul."Apriyanto mengepalkan kedua tangan di sisi tubuhnya dengan rahang yang mengeras. Jika tidak mengingat yang melontarkan setiap patah kata itu adalah ibunya sendiri. Rasanya Apriyanto sudah akan mematahkan batang leher Rakmi."Aku tidak akan pernah menceraikan Rita. Dia akan segera kembali.""Ke rumah ini? Ke desa ini? Jangan harap! Ibu sudah mengatakan kepada semua orang di sini dan mereka menganggap Rita sebuah aib. Tidak ada dalam sejarah desa ini memiliki menantu yang mandul.""Omong kosong," ujar Apriyant
"Pa, yuk sarapan,"ajak Fardan dari ambang pintu.Hendarto yang sedang mengeringkan rambut dengan handuk menoleh ke arah Fardan. "Di taman ya, Pa," lanjut Fardan."Ada apa sekarang? Ada tamu yang menginap?" Hendarto sangat hafal jika sampai anak dan istrinya mengajak makan di taman pasti ada seseorang yang sedang mereka hindari di meja makan.Fardan menyunggingkan senyum miring. Ia paham, papanya baru dini hari kembali dari perjalanan ke Kalimantan jadi pasti belum tahu apa yang terjadi di rumah ini. Mungkin Fardan akan menunjukkan sesuatu dulu sebelum mereka sarapan supaya tidak ada 'tema' yang merusak suasana mereka makan nanti."Papa pasti kaget deh. Mungkin ya, karena kalau mama aja kenal sudah pasti Papa juga kenal atau tahu mungkin.""Maksudnya apa sih, Kak? Keluarga jauh?""Setahun Fardan yang udah dua puluh tahun tinggal di rumah ini sih. Tahunya dia bukan anggota keluarga inti, sampai kemarin lusa tepatnya.
Rita menatap kalender di ponselnya, tak terasa sudah lima hari ia berada di sini. Rita ingat betul waktu dirinya pergi dari rumah mertuanya adalah hari sabtu dan sekarang adalah hari Rabu, serta selama itu pula dirinya bisa menghindar dari mama dan juga suaminya yang akan segera menjadi mantan setelah ia mengajukan gugatan tapi masih gigih menghubunginya. Rita juga setelah acara sarapan bersama dengan Arka tak lagi melihat keberadaan atasannya itu.‘Baguslah tahu diri.’Baru saja ia berpikir demikian, sosok yang sudah tidak ia temui itu kini bersandar pada ambang pintu penghubung antara teras samping dan ruang tengah.“Sampai kapan kamu akan berdiam diri?”“Maksudmu?” jawab Rita seraya menoleh memperhatikan pria itu yang beranjak dari ambang pintu dan kini duduk di kursi yang terbuat dari anyaman rotan bercat putih.“Kamu tidak ingin mengajukan gugatan cerai?”“Aku akan lakukan itu, tetapi bukan karena kamu suruh dan aku rasa itu bukan urusanmu. Sebaiknya kamu tahu batas, kita bukan t
Apriyanto meremas rambut hitamnya yang sudah terlihat lebih panjang. Beberapa bulan tidak bertemu muka dengan Rita membuat dirinya tak begitu memperhatikan penampilannya. Seketika ia teringat jika istrinya itu tidak senang dengan rambut pria yang gondrong apalagi jika rambut kurusnya menjuntai mengenai alis.dan kerah kemeja. Namun kali ini ia bisa meremasnya karena jengkel. Yuda dengan lancang telah datang dan mengambil semua benda yang dibeli oleh Rita tanpa terkecuali. Ia menatap ponselnya yang hancur. Apriyanto membantingnya bertepatan dengan Yuda yang pergi membawa semua barang dan dirinya yang tidak bisa menghubungi Rita. Sudah lima hari dan wanita itu tidak bisa dihubungi.“Kamu harus minta kembali semuanya,” ujar Rakmi dingin dengan mata merah. Ia kembali mengedarkan pandangan di sisi rumahnya yang awalnya ditempati oleh Apriyanto dan Rita. Rumahnya sangat luas jadi Yusuf Suhardiman membagi menjadi lima bagian dengan sebagai pusat adalah bangunan tempat Rakmi tinggal seka
Daya sedang merapikan tas jinjingnya saat Andre, putra sulungnya menghampiri. "Sudah ada kabar dari Rita, Ma?""Belum. Biarkan saja dulu, yang penting kita sudah tahu jika dia keluar dari rumah itu.""Sudah satu minggu, Ma.""Nggak usah khawatir. Mama sudah siapkan dia tempat tinggal.""Rita mau?"Daya terkekeh. "Tidak. Kau seperti tidak tahu adikmu saja.""Lalu di mana dia tinggal?""Dekat tempat kerjanya.""Aku sudah menyuruhnya untuk keluar dan membantu saja di restoran tetapi dia nggak mau.""Dasar keras kepala. Tapi, dia mau 'kan cerai dengan Apri?""Jelas dong. Gila apa anak Mama nggak mau cerai sama cecunguk seperti itu. Persis dengan ….""Hayo … cecunguk yang Mama maksud ada tuh di luar," tunjuk Andre dengan menelengkan kepalanya."Ngapain dia ke sini?"Andre mengedikkan bahunya. "Mau pamer kali. Anaknya sudah merebut menantu Mama.""Ih, ngaco. Tukang pungut sampah ya begitu.""Lah, Mama dulu nikahin dia."