Abigail menutup kedua matanya lalu meringkukkan kedua tangan dan menutupi wajahnya, namun bukan perlakuan kasar yang Abigail dapatkan melainkan pelukan dari August. Pria itu memeluknya erat, seperti tidak ingin kehilangannya. "Abigail bisa kita bicara baik-baik?" tanyanya tepat di telinga Abigail. "Jangan pergi dariku, aku mohon." pintanya membuat Abigail sedikit iba. "Apa alasanmu tidak ingin aku pergi? aku bukan siapa-siapamu, bahkan kamu baru saja mengenalku," "Aku tidak tau, entah mengapa aku merasa memiliki ikatan batin denganmu. Bukan perasaan cinta, tapi aku merasa kamu adalah seseorang yang sangat berarti untukku Abigail." ucapnya sendu, Abigail bisa melihat kejujuran dari raut wajah August. August melepas pelukannya, lalu mengikat dasi itu ke tangannya juga ke tangan Abigail. Bukan tanpa sebab August melakukan hal ini, ia hanya tidak ingin jika Abigail kabur darinya dengan kesalahan pahaman yang tidak terselesaikan. Ikatan ini tidak erat, namun tetap membuat Abigail tida
"Zach," panggil Abigail dari luar karena rumah masih nampak gelap. 'Apa Zach belum pulang?' gumam Abigail. Dalam kegelapan, Abigail merogoh seluruh barang di luar rumah untuk mencari kunci rumah Zach karena kunci sandi sedang eror. Setelah sekian lama mencari keberadaan kunci Abigail akhirnya menemukan kunci tersebut disimpan dibawah kotak penyimpanan bibit bunga, saat ia hendak bangkit kepalanya nyaris mengenai pot gantung di atasnya dan beruntungnya seseorang segera melindungi kepalanya. "Zach?"Zach menarik Abigail ke sisinya dan mengambil kunci yang Abigail pegang, setelah lampu menyala Abigail baru bisa melihat sosok Zach yang membuat Abigail terpukau. Zach mengenakan setelan tuxedo yang dipadukan dengan sepatu hitam, rambutnya yang biasanya acak-acakan kini tertata rapih dengan wangi khas pomade yang Abigail bisa taksir harganya cukup mahal."Zach? ini benar-benar kamu kan?" tanya Abigail. "Tentu, ini aku. Ada apa memangnya?""Tidak, aku hanya agak bingung sesaat. Tapi kenap
Dalam keadaan saling mendiamkan satu sama lain, mereka pergi mengunjungi panti asuhan sebelum kembali ke rumah untuk menjenguk suster Margaretha dan anak-anak. Saat mereka tiba disana, beberapa mobil konstruksi juga bahan baku untuk membangun rumah sudah berjejer di halaman panti asuhan. Suster Margaretha nampak sibuk menyiapkan beberapa cemilan untuk para pekerja, wajahnya terlihat begitu bahagia karena pada akhirnya panti asuhannya mendapatkan donatur dan bersedia merenovasinya sampai selesai. "Suster, apa yang terjadi disini?" tanya Abigail karena ia tidak tau soal masalah renovasi ini."Oh, Aby! kapan kamu datang nak?""Aku baru saja tiba suster Margaretha, jadi ada apa sebenarnya?""Ada seorang pengusaha dari kota lain yang ingin menjadi donatur tetap disini, dia juga menawarkan renovasi agar anak-anak bisa hidup dengan baik." jawab suster Margaretha, senyum tidak kunjung memudar dari wajahnya. "Dia pasti sangat kaya, kalau boleh tau siapa orang itu?" tanya Zach penasaran. "Ak
"Kenapa kamu kabur dari acara makan malam perencanaan pertunangan Ethan dan Lucia, Noah?" tanya Abraham. "Itu bukan acara penting, lagipula aku juga tidak akan datang jika sebelumnya aku tau itu acara khusus untuk anak kesayanganmu." sahut Zach ketus. "Berhenti menyebutnya anak kesayanganku, kalian berdua sama berartinya bagiku. Kamu saja yang sangat keras kepala dan lebih memilih meninggalkan keluargamu sendiri, Noah." Zach tertawa terbahak-bahak mendengar ucapan Abraham, "Sepertinya otakmu benar-benar sudah dicuci bersih oleh wanita itu, ayah. Sejak kapan aku dan Ethan sama berartinya untukmu? tidak ingatkah kamu kalau aku pernah kamu buang ke jalan hanya karena Ethan terjatuh dari perosotan saat kecil? dan bahkan bukan aku pelakunya."Abraham menarik nafas panjang, ia tidak dapat mengelak soal kejadian itu karena yang saat itu ia lihat Ethan memang benar-benar terjatuh dari perosotan saat bermain dengan Zach. Tapi Abraham tidak memiliki bukti jika Zach tidak bersalah, begitupun
Zach belum juga sadarkan diri, namun masalah kebakaran di perusahaan Matlex sudah dibebankan kepada dirinya. Dari hasil pemeriksaan kepolisian, ada satu bagian kabel yang mengalami korsleting dan pada hari itu Zach yang bertugas menangani kerusakan kabel tersebut. Zach dituntut untuk mengganti rugi satu juta dollar atas kerugian yang perusahaan alami, atau sebagai gantinya Zach akan dipenjara jika ia tidak bisa mengganti kerugian. "Tidak bisakah kalian menunggu sampai di sadar? dia bahkan baru saja melewati kematian karena kebakaran itu," "Maaf Abigail, tapi saya hanya menjalankan prosedur dari perusahaan. Jika dia sudah sadar tolong segera hubungi kami, atau kami akan menyeretnya ke dalam penjara tidak perduli dia sakit atau tidak." ucap direktur utama dari perusahaan Matlex. Abigail mengacak rambutnya dengan perasaan frustasi, satu juta dollar? lima ratus ribu dollar pun ia tidak memilikinya. "Sudahlah Abigail, itu bukan urusanmu. Biar Zach yang menanganinya nanti ketika dia sud
August melirik ke segala arah untuk mencari keberadaan Abigail, namun gadis itu kini sudah menghilang dan August tidak mengetahui dimana keberadaannya. August tidak mencurigai Lucia karena sejak tadi adiknya itu sibuk menikmati pesta, tapi Abigail juga tidak kunjung menjawab panggilan teleponnya."Ada apa? kenapa kamu begitu panik?" tanya Ryan, pria itu tengah duduk sendirian di balkon depan meratapi kesedihannya karena pertunangan Lucia."Aku mencari Abigail, gadis itu pergi tanpa memberitahukan dulu kepadaku kemana dia akan pergi!" sahut August kesal bercampur khawatir. "Abigail? aku tadi melihatnya bersama adikmu, sepertinya dia mabuk." "Adikku? maksudmu Luca?" "Iya dia, memangnya kamu memiliki adik selain Lucia dan Luca?" sahut Ryan sambil terus menghisap cerutunya. "Sial! kemana dia membawa Abigail dan kenapa kamu tidak mencegahnya!" August menarik kerah kemeja Ryan yang tengah merokok hingga ia terbatuk dan cerutunya mengenai tangannya. "Dia pergi ke kamar tamu yang jarang
Beberapa hari Abigail habiskan waktunya untuk merawat Zach di rumah sakit, August memberikannya libur agar Abigail bisa memenangkan diri begitu juga dengan dirinya. August masih belum sanggup untuk melihat wajah Abigail, ia masih terus dibayangi rasa bersalah dan juga rasa menyesal yang teramat dalam. "Aby, tolong ambilkan aku handuk! Aku lupa membawanya!" teriak Zach dari dalam kamar mandi. "Aku pikir kamu sudah sembuh total Zach, kamu sudah bisa berteriak sebegitu kencangnya." "Oh, uhuk uhuk! tidak aku belum sembuh, lihatlah aku masih batuk dan suaraku masih serak." Zach berpura-pura batuk hingga akhirnya ia terbatuk sungguhan.Sambil menunggu Zach selesai mandi, Abigail menyiapkan makanan untuk Zach sarapan sebelum mereka pulang siang ini. Zach sudah diperbolehkan pulang oleh dokter karena keadaannya dirasa sudah cukup membaik, berhari-hari di rumah sakit membuat Zach bosan karena yang ia lakukan hanya terbaring di tempat tidur bahkan Abigail tidak sudi menciumnya entah kenapa.
"Maaf, kami belum sempat merenovasi semuanya karena kami terburu-buru menjual rumah ini." ucap pemilik rumah."Tidak apa, saya bisa merenovasi sisanya nanti. Saya sudah mentransfer uang pembelian rumah ini, silahkan di cek di akun bank anda." Setelah beberapa hari mencari tempat tinggal yang baru, Zach akhirnya menemukan tempat tinggal tidak jauh dari pusat kota dan tempat kerjanya yang baru. Meskipun hanya diterima sebagai seorang pramu di toko swalayan, setidaknya Zach masih beruntung karena ia bisa kembali mendapatkan pekerjaan dalam waktu singkat."Aby?" Zach menghampiri Abigail yang tengah termenung di jendela kamar, entah apa yang dipikirkannya namun sudah beberapa hari ini ia nampak murung. Zach juga melihat semakin hari Abigail semakin pucat, bahkan mood Abigail juga sangat tidak stabil."Aby, apa kamu tidak menyukai rumah ini?" tanya Zach."Aku menyukainya Zach, jangan khawatir.""Lalu kenapa kamu terus murung seperti itu? apa kamu menyesal karena sudah memilih keputusan un