Share

Bab 4 Narapidana Seumur Hidup

“Berhenti di sini,” ucap Galvin, sontak membuat sopir menginjak rem di depan gerbang kompleks perumahan mewah. "Agar tidak menarik perhatian orang-orang, lebih baik aku turun di sini dan berjalan kaki menuju rumah," jelasnya. “Aku tidak ingin ada kenalanku yang tahu mengenai hubunganku dengan kemiliteran.”

Galvin membuka pintu mobil diikuti oleh sang sopir yang membukakan bagasi untuk mengeluarkan koper pria tersebut.

Setelah Galvin menerima kopernya, dia pun menghadap Javon. “Terima kasih atas tumpangannya, saudaraku,” ujarnya seraya berjalan pergi tanpa menunggu balasan pria di hadapan.

Javon terkejut melihat Galvin yang langsung berbalik pergi, dia pun langsung mengejar pria itu dan berkata, “Tuan Galvin!” Teriakannya berhasil menghentikan langkah Galvin. Javon pun menyodorkan kartu kecil ke arah sang dewa perang sembari membungkuk hormat. “Ini adalah kartu namaku, Tuan bisa menghubungiku jika membutuhkan bantuan, aku akan selalu siap membantu."

Saat dia menerima kartu nama itu, Galvin melihat jabatan Javon yang sebenarnya.

“Mayor Jenderal Javon Lloyd,” ucap Galvin membuat Javon langsung menegapkan tubuhnya dan memberi hormat kepada Galvin. “Senang berkenalan denganmu,” ujar pria itu sembari tersenyum sebelum akhirnya berbalik pergi. Dia melambaikan kartu nama Javon dan berkata, “Aku akan menghubungimu.”

Javon terus menatap punggung Galvin yang perlahan-lahan menghilang dari tatapan matanya. "Dewa perang Negara Leen, panglima pasukan elit Zero.” Bahkan, ketika menyebutkan identitas lengkap Galvin di dunia permiliteran, seluruh tubuh Javon bergidik ngeri. “Guncangan apa yang akan dia berikan setelah kembali menjadi seorang rakyat biasa?"

***

“Sepuluh tahun, tempat ini berubah banyak ….” gumam Galvin seraya menyusuri kompleks perumahan tempatnya berada. Pandangannya menyapu sekeliling, pada rumah-rumah di sekitar.

Area perumahan itu tidaklah asing lagi bagi Galvin, terlebih karena untuk dua puluh tiga tahun lamanya dia tinggal di sana. Bahkan, dalam kurun waktu sepuluh tahun belakangan, tidak tahu sudah berapa kali dia kembali ke sini di dalam mimpinya, kembali ke rumah kecil yang hangat kala itu.

Namun, ternyata sekarang semuanya jauh berbeda dari yang dia ingat.

Rumah-rumah yang dahulu sudah terkesan mewah, sekarang menjadi semakin megah dengan tinggi menjulang. Tidak hanya itu, tiap rumah dilengkapi dengan keamanan tingkat tinggi, dengan pos penjaga dan lebih dari dua pria bertubuh besar dengan seragam keamanan yang siap siaga. Tatapan mereka ketika menyadari keberadaan Galvin tidakklah bersahabat, melainkan waspada dan penuh intimidasi.

Salah seorang penjaga dari satu rumah besar melemparkan tatapan mematikan kepada Galvin secara terbuka, seakan memperingatinya dengan keras, “Macam-macam dan kamu akan mati!”

Galvin mendengus melihat prasangka orang-orang tersebut. Akan tetapi, dia sendiri paham alasannya mereka begitu waspada. Dengan pakaian sederhana dan tanpa kendaraan, dia—seseorang yang terlihat asing—tengah menyusuri kompleks perumahan elit tersebut, membuatnya terlihat berbeda dari mereka yang seharusnya tinggal di tempat itu.

Namun, bagaimana ya? Tidak akan masuk akal untuk seorang narapidana datang kembali ke rumahnya dengan menaiki mobil. Kalau ada yang melihatnya, lalu menyadari identitasnya, bukankah hal tersebut akan memancing perbincangan orang-orang? Oleh karena itu, berjalan kaki adalah pilihan yang tepat bagi Galvin untuk menyembunyikan masa lalu dari orang lain dan juga keluarganya.

Setelah cukup lama berjalan kaki sambil menyeret koper, Galvin berbelok ke arah blok rumahnya. Namun, begitu dia melihat tempat seharusnya gedung kediaman keluarganya berdiri kokoh, keningnya berkerut.

“Apa … ini?” gumam Galvin dengan ekspresi buruk.

Mata Galvin memandang sebuah rumah dengan pekarangan luas dengan pagar besinya yang berkarat. Gedung kediaman itu sendiri terlihat dihiasi retakan dan lumut di sejumlah besar bagian, membuatnya terlihat mencolok karena kekumuhannya dibandingkan rumah-rumah lain yang ada di sekitar.

Satu pertanyaan terbesar Galvin adalah … di mana kediaman indah dan megah yang dahulu dia kenal?

Dengan jantung berdebar, Galvin melangkah mendekati gerbang rumah itu. Melihat gembok besar dan rantai yang menghalanginya masuk, pria itu mengangkat pandangan ke arah rumah. “Ada orang?” serunya dengan suara bariton tegas. Namun, tidak ada yang membalas.

Merasa ada yang tidak beres, Galvin menautkan alisnya erat. Dia menyapu pemandangan sekeliling untuk sesaat, lalu memutuskan untuk melemparkan koper kecilnya melewati pagar. Kemudian, dia pun melompati gerbang besi itu—sesuatu yang jelas tidak mudah untuk orang biasa mengingat bahwa gerbang itu tidak rendah.

Mendarat di rumput yang sudah begitu tinggi lantaran tidak dipangkas, Galvin berjalan masuk ke dalam rumah. Tempat itu seakan tidak berpenghuni.

‘Di mana semua orang?’ tanya pria tersebut dalam hati seiring dirinya mendorong pintu utama rumahnya terbuka dan melangkah ke dalam.

Debu tebal yang berkumpul di tangannya membuat Galvin menebak bahwa … tidak ada yang tinggal di tempat itu. Namun, bagaimana mungkin? Ke mana ayah dan ibunya? Bagaimana dengan adiknya?!

WHOOSH!

Suara angin yang terbelah kasar membuat Galvin menoleh cepat ke belakang. Netranya pun menatap sebuah tongkat kayu terarah ke wajahnya.

“Haaa!”

BUK! KRAKK!

Suara garing kayu bertemu dengan tubuh dan berakhir patah terdengar bergema di ruang utama kediaman Galvin. Hal itu diikuti dengan suara terkesiap seorang perempuan yang merupakan pelaku utama penyerangan.

“Ah!” Lenguhan kesakitan perempuan itu pun terdengar, terutama karena tangan Galvin telah berakhir mencengkeram kuat lehernya. “L-lepaskan … aku!” seru sosok ramping dengan manik cokelat membara penuh amarah itu sembari meronta.

Detik netra hitam Galvin bertemu dengan manik cokelat sang perempuan, pria itu terkejut dan langsung melepaskannya. “Lisa?” ucapnya dengan keraguan dan ketidakpercayaan.

Gadis muda berusia dua puluh lima tahun yang tersungkur di lantai sembari terbatuk-batuk itu mengangkat pandangan. Netra cokelatnya yang diselimuti amarah kini bercampur rasa bingung dan ketakutan, terutama saat menyadari lawannya memiliki kekuatan yang jauh lebih besar.

"Siapa kamu? Untuk apa kamu datang ke rumahku?!" Gadis itu berusaha menjauh selagi memandang Galvin dengan waspada. Dia merasa sangat asing dengan sosok pria yang berdiri di hadapan, tapi suara pria itu terdengar familier.

"Ini aku, Lisa.” Galvin mengambil satu langkah maju dan berjongkok di hadapan gadis tersebut. “Galvin,” ucapnya seraya mendaratkan tangannya di pundak Lisa.

Ketika mendengar ucapan Galvin, mata Lisa membesar. Namun, dia menepiskan tangan pria itu dengan cepat dan mengambil langkah mundur. “Omong kosong! Kakakku, Galvin Wijaya, adalah narapidana penjara terasingkan di Pulau Mata!” Senyuman sinis terpasang di wajahnya, mengira Galvin tengah berusaha menipunya. “Dengan hukuman penjara seumur hidup, bagaimana mungkin dia berdiri di hadapanku?!”

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status