Janice bersandar di dinding dengan wajah pucat. Pikirannya dipenuhi dengan bayangan akhir tragis Yoshua di kehidupan sebelumnya. Sekarang, Jason berencana menghancurkan Yoshua lagi!Satu-satunya orang di Keluarga Karim yang selalu baik padanya!Napas Janice terasa sesak, ujung jarinya mencengkeram dinding dengan begitu kuat hingga terasa menyakitkan. Beberapa detik kemudian, dia berbalik dan pergi dengan tanpa suara.Janice kembali ke kamar perawatan. Saat itu, Yoshua masih berjuang dengan rasa sakit akibat luka-lukanya. Namun ketika melihat Janice datang, wajahnya langsung dihiasi senyuman lembut. "Janice, kukira kamu nggak akan kembali.""Nggak mungkin," jawab Janice sambil duduk di tepi tempat tidu. "Yoshua, tadi aku lupa nanya. Kenapa bisa terjadi kecelakaan?""Ada kue spesial yang ingin kubawakan dari Kota Heco untukmu. Aku cuma terburu-buru," jawab Yoshua singkat, seolah-olah tidak ingin menjelaskan lebih jauh.Janice menyadari ada yang janggal dalam penjelasannya. "Tapi, bukanka
Setelah Zachary menyetujui permintaan Yoshua, dia segera mengikuti langkah Janice keluar dari kamar. Yoshua menatap Jason yang hendak berbalik, lalu tersenyum samar. "Paman Jason, terima kasih sudah menjengukku. Aku merasa seluruh tubuhku dipenuhi tenaga sekarang."Jason menatap Yoshua sekilas, sorot matanya tajam seperti kilatan pisau. "Oh ya? Kalau begitu, simpan tenagamu baik-baik."Senyuman Yoshua perlahan memudar. Dia hanya bisa menatap punggung Jason yang menghilang dengan ekspresi yang sulit ditebak.....Janice mengikuti Zachary menuruni tangga. Saat itu, Zachary menerima panggilan telepon. Setelah menanggapi dengan singkat, dia menatap Janice dengan raut canggung. "Janice, aku suruh sopir untuk ngantarin kamu pulang. Aku harus ke kantor untuk ngambil berkas.""Paman, nggak usah. Aku sudah pesan mobil lewat aplikasi," jawab Janice.Janice memikirkan Ivy yang masih menunggunya di rumah, sementara mencari kendaraan di sekitar sini cukup lama. Jadi, dia menolak tawaran Zachary."K
Janice tidak pernah membayangkan Jason bisa segila ini. Meskipun sudah tengah malam, masih ada cukup banyak orang di sekitar rumah sakit, tetapi Jason justru memaksa tangannya masuk ke bawah sweternya.Telapak tangan Janice yang dingin menyentuh pinggang Jason yang panas membara, membuatnya refleks mengeluarkan suara pelan. Beberapa orang di sekitar langsung menoleh ke arah merekaJanice segera menundukkan kepala dengan wajah memerah. Dia berusaha keras untuk menarik tangannya. Namun, Jason menekannya kuat-kuat di garis pinggangnya dan tak memberinya kesempatan.Jari-jarinya sedikit mengepal, merasakan otot Jason yang kencang dan hangat membara di bawah telapak tangannya. Janice ingin menarik diri, tetapi dia tidak bisa. Jika ada orang yang melangkah lebih dekat, mereka pasti bisa melihat tangannya yang menghilang di bawah sweter Jason.Suhu di telapak tangannya begitu tinggi, sampai-sampai Janice mulai panik. Apakah ini hanya perasaannya saja? Dengan suara cemas, dia berbisik, "Jason,
Karena Vania sedang bersembunyi di rumah untuk melakukan aborsi, Janice merasa bisa melanjutkan rencananya yang lain. Saat menuju toilet, Janice mengambil kesempatan untuk menelepon Ivy. "Bu, apa Paman Zachary ada di kantor hari ini?""Ada. Kenapa?""Aku mau mengajaknya makan siang," ujar Janice sambil menunduk dan memandang kantong di kakinya yang berisi mantel Jason.Janice takut jika langsung menemui Jason untuk mengembalikan mantel itu, pria itu akan menyadari sesuatu. Namun, jika dia makan siang bersama Zachary dan sekalian mengembalikan mantel itu, semuanya akan terlihat wajar.Ivy berpikir sejenak, lalu berkata, "Lebih baik jangan. Pamanmu pasti sangat sibuk hari ini."Janice tercengang. "Paman lagi nangani proyek besar?""Bukan itu," jawab Ivy, suaranya terdengar ragu. Namun akhirnya, dia menghela napas dan menjelaskan, "Kata pamanmu, Jason lagi sakit. Setelah dia menyelamatkanmu di danau waktu itu, tubuhnya basah kuyup dan masih harus mengantarmu ke rumah sakit.""Lalu, tadi m
Ding.Begitu pintu lift terbuka, lorong yang terang benderang menyambut Janice. Berdiri di atas sana, dia bisa melihat seluruh bagian dalam gedung melalui dinding kaca di kedua sisi lorong.Di ujung lorong itu, berdiri sebuah pintu kayu ganda yang kokoh. Tidak ada ukiran atau ornamen berlebihan, tetapi pintu itu memancarkan aura yang tegas dan penuh wibawa. Asisten Zachary mendorong pintu tersebut dengan hati-hati, memperlihatkan kantor dua lantai seluas 200 meter persegi milik Jason.Dinding kaca raksasa berjejer rapi, menampilkan pemandangan gedung-gedung di sekitar yang terlihat kecil dari ketinggian ini. Di sisi kanan ruangan, sebuah tangga melingkar berkelok naik ke lantai atas, yang sepertinya merupakan area pribadi milik Jason.Janice menatap lantai berubin yang dipenuhi sinar matahari. Seketika, dia merasa takjub. Ini pertama kalinya dia benar-benar masuk ke dalam dunia kerja Jason dan kantor ini benar-benar memancarkan wibawa dan keanggunan.Di salah satu sisi, Zachary yang se
Zachary bergegas mengambil nampan berisi bubur dari tangan Norman dan menyerahkannya ke Janice. "Gimana kalau kamu saja yang antar bubur ini? Dia sibuk sejak pagi dan belum makan apa pun."Janice menatap bubur yang masih mengepul hangat itu. Sampai sejauh ini, dia tahu dirinya harus bertaruh. "Baik," jawabnya mantap.Dengan nampan di tangan, Janice berbalik dan menaiki tangga menuju lantai atas. Begitu sampai di depan pintu, telapak tangannya sudah dipenuhi keringat dingin.Saat dia masih ragu untuk mengetuk, suara yang serak terdengar dari dalam. "Masuklah ... Janice."Mendengar itu, tangan Janice hampir saja menjatuhkan nampan yang dipegangnya. Di hadapan Jason, dia merasa dirinya begitu transparan. Bagaimana mungkin dia bisa bersaing dengan pria seperti ini?Namun, tekadnya tak goyah. Sekalipun akhirnya gagal, dia tetap harus mencoba.Janice menarik napas dalam-dalam, lalu mendorong pintu dan masuk ke dalam.Ruangan pribadi Jason ternyata sangat sederhana, didominasi warna abu-abu g
Tatapan Janice membeku sesaat. Barulah dia sadar bahwa dia tidak sengaja mengungkapkan sesuatu dari kehidupan sebelumnya. Dia mencoba menarik tangannya, tetapi Jason justru menggenggamnya lebih erat."Bilang.""Karena .... Dulu, setiap kali kamu batuk, aku selalu mencium aroma daun pir di tubuhmu." Dia bergerak sedikit dan mendesah, "Sakit, jangan terlalu kuat."Jason tidak langsung melepaskannya, tetapi genggamannya melonggar sedikit. Dengan penuh minat, dia mendekat lebih lagi. "Setiap kali? Hm?"Janice menggigit bibirnya. Dia sadar telah keluar dari satu jebakan hanya untuk masuk ke dalam jebakan lain. Dengan cepat, dia memalingkan wajah dan menolak untuk berbicara lebih lanjut.Tatapan Jason semakin panas. Meskipun tubuhnya sedang sakit, aura pria itu tetap kuat dan dominan. Tanpa sadar, Janice bisa merasakan hawa panas yang menekan di sekelilingnya. Ketika dia berbalik, wajah Jason hanya berjarak beberapa inci saja.Jason menundukkan pandangannya ke arah bibir Janice yang kemeraha
Sambil bicara, Janice berlari ke sisi lain tempat tidur dan mengambil dokumen yang jatuh. Setelah menyusunnya dengan rapi di atas tempat tidur, dia kembali ke sisi Jason.Namun, ketika melihat kancing kemejanya sudah setengah terbuka dan perut Jason yang berotot terlihat jelas, dia mendadak merasa tenggorokannya kering.Janice memejamkan mata dan mencoba untuk tetap tenang. Dengan cepat, dia membuka sisa kancing kemeja Jason dan menyeka tubuhnya dengan asal-asalan. "Sudah selesai. Waktu istirahatku hampir habis, aku pergi dulu," ucapnya cepat sambil merapikan dirinya."Janice," panggil Jason dengan suara tenang. "Kamu ke sini untuk menjengukku?"Janice mengepalkan tangannya, lalu menjawab dengan nada santai, "Bukan. Aku datang ngantarin makan siang untuk Paman Zachary! Sekalian saja ... melihat kondisimu."Tanpa menunggu balasan, dia berbalik dan berlari keluar. Jason memandang pintu yang kini kosong dengan senyum samar di bibirnya. "Keras kepala."Tiba-tiba, dia teringat komentar Sera
"Kenapa aku merasa Jason sekarang lebih pendiam dari sebelumnya?""Katanya tahun pertama pernikahan itu manis seperti madu, tapi lihat deh dia, apa kelihatan kayak pengantin baru?""Shh!"Seseorang menegur pelan.Dua orang yang sedang berbicara itu langsung diam saat melihat Rachel berjalan pelan di belakang Jason.Rachel mendengarnya, menggigit bibir sambil mempertahankan senyum di wajahnya.Saat makan siang, semua orang duduk sesuai dengan tempat duduk yang sudah ditentukan. Zachary dan Ivy memandangi ruangan, baru melihat nama mereka di pojok ruangan.Kebetulan saat itu Elaine masuk, menatap posisi duduk di barisan depan, lalu melihat ke arah mereka berdua dan mengejek dengan tawa sinis.Zachary menatap Ivy dengan pasrah. "Kalau kamu nggak enak badan, aku bisa minta orang antar kamu pulang dulu."Ivy tersenyum. "Nggak apa-apa. Dulu kita makan jajanan di pinggir jalan juga santai saja, 'kan? Di sini juga tenang. Kamu itu bagian dari Keluarga Karim, nggak usah bikin keadaan tambah can
Setelah bertemu dengan pemilik penginapan, Janice mengatakan bahwa dia ingin menginap dulu di penginapan tersebut.Pemiliknya tampak ketakutan karena insiden bunuh diri wanita sebelumnya. Melihat Janice datang sendirian, tatapannya pada Janice terlihat aneh. Bukan karena nafsu, melainkan karena takut Janice mati di penginapannya tanpa ada yang tahu.Pemilik penginapan pun berbaik hati mengajak Janice tinggal di properti lain miliknya yang tidak dekat dengan pantai.Saat memberikan kunci, dia bahkan menasihati, "Kamu masih muda dan cantik, harus bisa move on. Di dunia ini masih banyak pria."Janice sudah berkali-kali menjelaskan bahwa dia tidak ada niat bunuh diri, tetapi si pemilik tetap tak percaya.Keesokan harinya, setelah Janice menandatangani kontrak sewa, dia baru percaya bahwa Janice memang serius menyewa tempat itu. Dia bahkan bersikap sopan dan mengajak Janice sarapan bersama.Setelah sarapan, Janice mulai menjelajah layaknya seorang turis. Saat waktu di luar negeri sudah sama
Pada suatu liburan musim panas, Ivy tiba-tiba dipecat tanpa alasan yang jelas. Kebetulan saat itu Janice jatuh sakit parah. Pengobatannya menghabiskan banyak uang.Ivy menangis sepanjang malam. Sebelum fajar menyingsing, dia sudah menggandeng Janice berdiri di pinggir jalan tol menunggu kendaraan.Dia bahkan bersumpah tak akan membiarkan siapa pun menemukan mereka. Namun, setelah kabur seminggu, lokasi mereka terdeteksi karena tempat penginapan.Zachary pun menjemput mereka pulang. Kalau diingat sekarang, Janice ingin tertawa.Saat sedang tenggelam dalam kenangan, sebuah bus besar berhenti di depannya. Katanya ada pemeriksaan sebelum masuk tol, tetapi orang-orang di sekitar sudah naik dan memasukkan barang ke dalam bagasi.Janice sendiri tak punya tujuan tertentu. Yang penting bisa membawanya keluar dari Kota Pakisa.Dia menarik masker dan ikut naik ke dalam bus. Setelah membayar, dia memilih tempat duduk kosong secara acak.Tak disangka, penumpang dalam bus itu cukup ramai meskipun ha
Rachel mencengkeram baju Jason seolah-olah menggenggam cahaya terakhir dalam hidupnya. Sampai akhirnya, Jason perlahan menunduk dan mendekatinya.Air mata berlinang di wajah Rachel, seberkas harapan terpancar dari tatapannya. Rachel yakin, Jason tidak akan meninggalkannya begitu saja.Namun, detik berikutnya, hatinya seakan-akan tenggelam ke dalam danau es.Jason menggenggam tangannya, melepaskannya satu per satu. Suaranya datar, dingin seperti es. "Aku akan menemanimu sampai akhir. Hanya itu. Itu adalah utangku padamu."Rachel menatap tangannya yang terlepas perlahan. Air matanya jatuh makin deras. Dia tak sanggup menerima. Benar-benar tak sanggup.Karena tahu hidupnya tidak akan lama lagi, dia makin terobsesi pada apa yang benar-benar dia inginkan. Sekarang, satu-satunya yang dia pedulikan hanyalah Jason.Mau itu egois, mau itu obsesi, dia hanya ingin Jason tetap bersamanya. Dengan tidak rela, Rachel kembali menarik Jason dan akhirnya mengucapkan alasan sebenarnya kenapa Jason bersed
Sebelum dia sempat berbicara, lengannya sudah lebih dulu dicengkeram erat oleh pria itu. Dengan suara benturan keras, sepanci sup hangat yang baru saja matang langsung tumpah.Tatapan Jason tajam, jemarinya menegang, matanya merah, auranya penuh kemarahan dan niat membunuh. "Kenapa kamu harus mencarinya?"Rachel mendongak dengan kesakitan, menatap pria yang mengerikan itu dengan air mata mengalir. "Jarang sekali aku melihatmu sepanik ini. Kamu marah? Kalau marah, lampiaskan saja padaku!"Melihat air matanya, Jason seperti melihat kutukan yang memaksanya melepaskan cengkeramannya. Namun, Rachel malah menangis semakin keras. Dia melangkah pelan, ingin mendekatinya.Jason justru mundur dua langkah, menghindari sentuhannya. Mata hitam legamnya redup, seperti tenggelam dalam kabut yang hening, memandang Rachel seperti menatap laut tanpa gelombang.Rachel terisak-isak. "Kamu bahkan nggak mau marah padaku? Kenapa kamu rela melakukan apa saja demi dia?""Kakakku bantu Janice cari apartemen, la
Di bandara, Landon mengulurkan tangan untuk mengambil koper Janice. "Janice, aku minta maaf. Aku benar-benar nggak tahu Rachel bisa sebodoh itu.""Nggak apa-apa, toh aku juga akan pergi. Malah harus terima kasih karena kamu sudah menyiapkan semuanya untuk keberangkatanku secepat ini."Tatapan Janice tenang, tetapi dari sudut matanya, dia terus melirik ke arah luar bandara.Landon tahu dia masih belum rela pergi. Mungkin belum rela meninggalkan tempat di mana dia tumbuh, atau keluarga, atau mungkin seseorang.Landon mencoba menenangkan, "Mau telepon dulu sebentar buat pamitan?"Janice mengalihkan pandangan dan menggeleng. "Nggak usah. Ibuku itu cengeng, sekali nangis nggak bisa berhenti. Aku nggak sanggup dengarnya."Meskipun begitu, suara Janice terdengar serak dan menahan tangis. Bahkan untuk mengucapkan selamat tinggal pada ibunya pun tidak bisa, mana mungkin dia bisa merelakan semudah itu?Setelah Janice menenangkan diri, Landon berkata dengan lembut, "Ayo, aku sudah minta Zion siap
"Awalnya aku berniat membawa semua ini masuk ke liang kubur, nggak akan pernah kukatakan. Tapi tadi, waktu kamu bicara ke anak kecil itu, aku seperti baru terbangun dari mimpi.""Aku tersesat begitu lama, sampai lupa kalau dulu aku menolong dia bukan karena mengharapkan balasan, tapi karena aku benar-benar mencintainya."Rachel tersenyum, tampak bahagia dan penuh rasa puas. Dia menopang wajahnya dengan kedua tangan, seperti gadis remaja yang baru jatuh cinta pada Jason."Kamu tahu nggak? Sebenarnya dia nggak secuek itu. Dia suka bantu orang, kadang senyumannya juga luar biasa manis. Dia cuma nggak suka banyak bicara.""Hm." Janice mengangguk. Dia tahu.Rachel tersenyum getir. "Tentu kamu tahu. Kalian sudah kenal lama. Jadi, Janice, bisakah kamu jangan rebut dia dariku? Aku benar-benar nggak bisa melepaskan dia."Janice menatap Rachel dan menjelaskan pelan, "Kalian itu suami istri, nggak ada yang bisa rebut dia darimu.""Bukan, bukan itu maksudku. Aku hanya ingin kamu ...." Senyuman Rac
Janice terkejut mendengar suara Rachel. Gelas sudah menempel di bibirnya. Dia tidak tahu harus meminumnya atau tidak.Rachel melanjutkan, "Pura-pura minum, lalu taruh pelan-pelan."Janice tidak memahami maksudnya, tetapi tetap menurut. Dia berpura-pura mengangkat kepalanya seperti sedang minum, lalu perlahan meletakkan kembali gelas itu ke meja.Dengan suara pelan, Janice bertanya, "Kenapa?"Rachel tersenyum getir. "Karena di dalam jus itu ada obat penggugur kandungan."Tangan Janice yang menggenggam gelas langsung mengencang, hampir ingin melemparkannya. Akan tetapi, dia tidak bisa menebak maksud Rachel sekarang, jadi tidak berani bertindak sembarangan.Rachel tetap berbicara seperti sedang mengobrol santai, "Tenang saja. Dosisnya nggak cukup buat langsung bikin kamu keguguran. Paling cuma bikin tanda-tanda awal, kayak nyeri perut sedikit."Mendengar Rachel mengucapkan kata-kata itu dengan tenang, bulu kuduk Janice berdiri. Dia pun merasa panik. Dia benar-benar tidak mengerti kenapa R
Saat itu juga, pegawai toko kue memecah keheningan yang canggung dan berat di antara mereka."Kak, jus dan red velvet cheesecake-nya, silakan dinikmati.""Terima kasih."Janice menunduk, lalu mulai mengaduk jusnya perlahan dengan sendok panjang, memutar-mutar potongan buah di dalamnya.Rachel menatap makanan di depannya sekilas. Dengan nada seperti menginterogasi, dia bertanya, "Anak itu ... anak siapa?"Kling! Suara nyaring terdengar saat sendok di tangan Janice menabrak dinding gelas. Namun, dia sama sekali tidak berhenti, tetap lanjut mengaduk, seperti tidak terjadi apa-apa.Dari luar, Janice tampak tenang. Di mata Rachel, itu justru terlihat seperti upaya menyembunyikan sesuatu.Wajah Rachel yang pucat menjadi merah karena emosi. Dengan geram, dia berucap, "Jadi, kamu memang hamil."Dada Janice naik turun. Dia tidak tahu bagaimana Rachel bisa tahu tentang kehamilannya. Yang dia tahu sekarang adalah kalaupun Rachel membawa hasil USG dengan namanya tertulis di situ, dia tetap harus t