Share

BAB 4 - Kaisar Baru

“Bagaimana menurutmu Yang Mulia Putra Mahkota tentang prosesi pengangkatanku sebagai Kaisar?” tanya Jean di sepanjang jalan kembali mengantarkan Adam menuju kamarnya.

“Ayolah, Paman, jangan panggil aku dengan sebutan itu jika kita hanya berdua,” tegus Adam.

“Hahaha, baiklah. Jadi bagaimana Adam?”

“Aku senang acaranya berjalan dengan lancer walaupun sebelumnya gaduh, aku ingin berterima kasih pada Paman karena bersedia untuk menggantikanku menjadi Kaisar. Aku minta maaf karena telah melimpahkan tanggung jawab ini padamu,” jawab Adam.

“Diumurmu yang sekarang memang belum waktunya untuk terjun ke dunia politik. Kamu perlu banyak belajar lagi hingga waktunya tepat dan kamu siap menanggung beban kekaisaran di pundakmu, saat itulah kamu pantas disebut sebagai kaisar! Jadi tidak masalah untukku menanggung sementara tanggung jawabmu itu. Lagi pula aku merasa ini adalah cara satu-satunya untukku agar dapat menebus kesalahanku karena pergi di saat yang tidak tepat,” jelas Jean dengan penyesalan yang teramat.

Adam sendiri menyukai Jean karena dia adalah saudara paling dekat dengan Ayahnya, juga merupakan orang yang paling ramah padanya. Di saat seperti ini yang bisa Adam percaya adalah Jean. Buktinya Jean bersedia untuk menjadi Kaisar walaupun dia mendapat cemoohan tak mengenakkan dari rakyat yang berimbas pada pendapat dominan para menteri di rapat sebelumnya. Walaupun cukup aneh, ketika saat pemungutan suara tiba-tiba suara terbanyak justru menyetujui Jean menjadi Kaisar.

“Apa maksudmu Paman! Kematian Ayahanda dan Ibunda sama sekali bukan kesalahanmu. Itu adalah kesalahan pembunuh keji yang sampai saat ini belum aku temukan!”

Jean mendelik, apa maksud Adam dengan pembunuh yang belum dia temukan?

“Apa maksudmu? Bukannya pembunuhnya adalah Sandres Cesilio?” tanya Jean berusaha untuk mencari tahu dari mana asumsi Adam terkait pembunuh yang lain.

Tersadar Adam mengatakan hal yang tidak seharusnya, dia berniat untuk tidak membagikan informasi yang dia dapatkan dari Sandres pada siapapun.

“Ah? Tidak, bukan apa-apa, Paman. Aku hanya melantur,” kekeh Adam.

“Ah, seperti itu ….”

Mereka telah sampai di depan kamar Adam dan Jean menyuruhnya untuk beristirahat. “Istirahatlah, besok kamu memulai pelajaran yang melelahkan,” katanya sembari tertawa.

“Hahh, aku yakin Paman senang melihatku menderita,” canda Adam. Jean terkekeh saja dan menepuk Pundak Adam pertanda dia akan pergi.

“Melihatmu menderita? Tentu saja aku senang,” gumam Jean.

“Kau mengatakan sesuatu, Paman?” tanya Adam sebelum masuk ke dalam kamarnya.

“Ah? Aku mengatakan jika kamu tidak perlu mengkhawatirkan kekaisaran ini. Aku berjanji akan memajukan kekaisaran ini untukmu ketika kamu sudah siap naik tahta. Aku akan berusaha sekuat tenaga, tunggu saja hasil kerja keras pamanmu ini. Kamu tidak perlu memikirkan prosesnya, kamu hanya akan menerima hasilnya!” kata Jean.

Adam tersenyum mendengarnya, merasa begitu beruntung memiliki seseorang seperti Jean.

“Terima kasih, Paman. Aku akan masuk kamar.” Anggukan dari Jean menjadi percakapan terakhir dia dan Adam saat itu.

Melihat punggung gagah keponakannya itu Jean justru tertawa remeh. Mengapa sosok kuat seperti Adam justru mudah terpedaya oleh akal liciknya?

“Aku rasa dia juga menaruh sedikit curiga pada hasil pemungutan suara yang terbilang mengejutkan. Namun, Adam sepertinya memilih untuk tidak mencari tahu karena sejak awal pilihannya memang condong padaku,” ucap Jean.

Kaisar saat ini itu menilik kembali kegaduhan di meja rapat. Di mana para minoritas yang menolak tidak menerima hasil dari pemungutan suara tersebut.

“I-ini pasti direkayasa!” kata Cerrish.

Mata Cerrish menatap tak percaya pada apa yang dia lihat. Semua kertas itu menulis “1”, hanya 3 yang menulis X. Bagaimana mungkin ini terjadi?

“3 kertas itu mungkin hanya aku, Duke Ellian, dan Penasihat Edward. Lalu menteri itu? apa dia setuju?” batin Cerrish menerka-nerka.

Pemungutan suara rahasia itu sempurna untuk menutupi siapa mendukung siapa. Sial, entah apa yang dilakukan Jean, tetapi mereka melihat secara langsung tidak adanya rekayasa pada pemungutan itu ataupun kecurangan.

“Hentikan itu Ajudan Cerrish. Anda adalah orang pintar, kepercayaan Yang Mulia Putra Mahkota. Tidakkah Anda mempermalukan diri sendiri dengan menganggap pemungutan ini rekayasa?” ucap Gallan sebagai juru hitung pemungutan tersebut.

Cerrish tidak bisa melawan, tetapi dirinya gatal. Bagaimana dia bisa diam saja dihadapkan pada ketidakadilan ini? Bagaimana dia bisa menyerahkan jabatan Kaisar pada seorang tiran?

“Baiklah, semuanya hentikan keributan ini. Aku tahu banyak dari kalian yang merasa aku tidak cukup pantas, atau kalian termakan konspirasi yang entah dari mana asalnya. Namun, ini suara kalian. Aku tidak memaksa kalian memilihku, bukan? Mari umumkan pada rakyat tentang pengangkatan Kaisar selanjutnya. Kita akan dihadapkan pada banyak konfilk dengan negara tetangga, kita akan tergerus jika masih memperdebatkan gosip tak berarti itu!” tegas Jean.

Rapat itu pun bubar, diakhiri dengan keputusan pengangkatan Jean sebagai Kaisar.

Kembali pada saat ini.

Jean tidak melangkahkah kakinya menuju kamarnya, melainkan dia pergi ke singgasana Kaisar yang mana merupakan tempat privasi yang hanya digunakan oleh kaisar untuk pembicaraan pribadi.

Prajurit yang berjaga di sana tidak bisa menentang Jean yang memasuki ruangan singgasana karena mata tajam dan dingin itu begitu menusuk. Lagi pula tanpa banyak orang sadari, setelah kematian kaisar dan permaisuri kekuasaan tertinggi di istana jatuh pada Jean. Putra mahkota memang terlihat menjadi puncak tertinggi kekaisaran saat ini, tetapi dibalik layar ada Jean yang mengendalikan semuanya.

“Ah . . . kursi itu kosong sekarang. Padahal hanya sebuah kursi tetapi mengapa aku begitu terobsesi ya? Kau dengar aku, Yurize?” ucap Jean pada angin.

Jean mendekat ke arah kursi itu, menyentuhnya pelan dan mendudukinya. “Jadi seperti ini pemadangan yang dilihat dari atas sini? Pantas saja kamu enggan untuk mengalah padaku, kan?” kata Jean lagi.

“Bertahun-tahun aku berusaha keras untuk bisa diakui oleh Ayahanda dan bisa menjadi kaisar selanjutnya. Tapi . . . tapi mengapa aku yang berusaha begitu keras bisa kalah dari dirimu yang bahkan tidak dicambuk saat belum selesai mengerjakan Latihan?”

Jean kembali merasakan sakit pada punggungnya yang dicambuk oleh Kaisar terdahulu. Dia bertanya-tanya mengapa Ayahnya begitu pilih kasih, mengapa Yurize diperlakukan sebagai penerus selanjutnya, sedangkan dia tidak?

“Sekarang aku mengetahui alasannya, karena aku anak dari perempuan itu, kan? Perempuan yang membuat Ayah kehilangan permaisuri tercintanya. Hahhaha, padahal aku tidak meminta lahir dari rahimnya. Lantas mengapa aku yang harus menanggung akibatnya?”

“Aku tidak melakukan kesalahan, aku hanya . . . mengambil kembali apa yang seharusnya menjadi milikku.”

Sementara itu Jean tidak tahu jika di sebalik tirai tersebut terdapat seseorang yang menguping sedari tadi.

Seorang pemuda itu pergi meninggalkan Jean yang sedang duduk di singgasana, dia melangkahkan kakinya tanpa suara. Apa yang akan dia lakukan setelah mendengar hal itu?

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status