Share

9. Makan siang

Pagi yang sedikit kelabu dengan mentari yang bersinar malu-malu. 

Bella berjalan sepanjang koridor sekolah dengan mendendangkan sebuah lagu. Bel tanda masuk berbunyi, tepat saat Ryu berhasil masuk ke dalam gerbang yang sudah mulai ditutup.

"Bella!" teriak Ryu saat melihat Bella yang berjalan dengan santai.

Gadis itu menoleh ke arahnya.

"Tumben bisa ngelewatin gerbang dengan mulus," sindirnya.

Pemuda itu menggaruk kepalanya yang tak gatal. 

"Bell ... m-m yang kemarin, aku beneran minta maaf ya."

"Apa sih, ga penting juga," jawab gadis itu jutek.

"Ya ga enak aja, Bell. Sama Bokap lu, terutama."

"Udahlah. Papa juga tahu kok gimana sikap Jason. Dah, masuk yuk."

Bella menggandeng tangan Ryu berjalan menuju kelas. Ryu agak sedikit terhenyak dengan sikap gadis itu. Namun sedetik kemudian, pemuda berwajah oriental itu tersenyum.

.

Rintik hujan membasahi bumi pada siang harinya saat bel pulang sekolah berbunyi. Ryu bergegas pulang untuk mempersiapkan materi untuk ujian besok. Dia harus tetap mempertahankan juara umumnya di sekolah ini jika ingin tetap mendapatkan beasiswa.

Langkahnya terhenti saat seorang wanita cantik berdiri di dekat parkiran mobil dengan mengedarkan pandang ke setiap siswa yang keluar dari gedung sekolah. Dia menatap perempuan itu sebentar, lalu pergi dengan tak acuh.

Ryu akan menuju gerbang, saat ada yang menepuk bahunya.

"Lu dicariin tuh." Seorang pemuda berbadan gempal memberinya informasi.

"Siapa?"

"Wanita yang dekat mobil putih itu," tunjuknya pada wanita yang tadi diperhatikan Ryu.

Dia tertegun sejenak, karena tidak tahu apa alasan wanita itu mencarinya. Apa dia ingin memperpanjang masalah kemarin, karena tidak terima putranya telah dia hajar?

Ryu mengerutkan kening. Namun dia tidak boleh lari dari tanggungjawab. 

Seperti yang telah dikatakan Simon, Ryu harus berani menghadapinya. Kemudian pemuda itu menghampiri sang wanita yang masih celingak-celinguk mencari seseorang.

"Tante mencari saya?" Ryu yang berdiri tiba-tiba di depan Agatha membuatnya sedikit terlonjak.

"Ah, iya. Kamu apa kabar?" sapa Agatha ramah dan hangat.

"Baik, Tante. Ada perlu apa ya, tante mencari Ryu? Apa karena masalah kemarin?" Selidik Ryu penasaran.

Wanita itu tertawa. "Kita masuk ke mobil ya," ajaknya.

"Nggak ah. Nanti Jason marah lagi sama saya."

"Nggak, Nak. Jason nggak berangkat hari ini. Bolehkan, jika tante ingin bicara sama kamu?" Wanita itu menatapnya dengan harapan cemas.

Ryu menatapnya lama. Mencoba mencari satu titik saja kebohongan dari wanita di hadapannya ini. Namun yang ditemukan Ryu hanya ketulusan dan kehangatan. Akhirnya pemuda itu mengangguk.

Mereka masuk ke dalam mobil dan meluncur pergi. Agatha yang menyetir sendiri tanpa seorang sopir membuatnya leluasa untuk pergi kemanapun dia mau tanpa ada yang memata-matai nya. 

Sepanjang perjalanan, mereka hanya berbasa-basi singkat. Mobil berhenti tepat di depan sebuah restoran yang mengusung konsep taman dengan gazebo di atas kolam ikan.

Mereka berjalan beriringan menuju sebuah gazebo, seperti layaknya seorang ibu dan anak.

Agatha memesan banyak menu makanan lezat, yang jujur, belum pernah Ryu makan.  Ryu takjub dengan menu hidangan yang ada di atas meja. Mereka duduk berhadapan dan lesehan di atas gezebo, dengan pemandangan kolam ikan di bawahnya dan taman yang asri.

"Ayo, di makan. Harus dihabiskan ya," ujar Agatha.

"Ini banyak sekali, Tante. Ryu ga kuat."

"Nanti bisa dibungkus, dibawa pulang untuk ibumu," sahut Agatha.

"Ryu sejak lahir ga punya ibu," jawab Ryu sambil mengunyah makanannya.

Agatha tertegun dan menatap Ryu lama. "Ibumu di mana?" tanya wanita itu lirih.

"Bapak nggak pernah bilang ibu di mana. Pokoknya Ryu tumbuh besar di asuh bapak sendiri, sampai bapak meninggal kecelakaan tepat saat Ryu mau kelulusan kelas enam." Ryu bercerita dengan polos pada Agatha.

"Jadi kamu dah ga punya orangtua? Terus selama ini kamu tinggal sama siapa? Biaya untuk sekolah kamu, itu semua dari mana?" Pertanyaan Agatha yang beruntun membuat Ryu menghentikan makannya dan tertawa.

"Satu-satu dong Tante, tanyanya."

"Ah, maaf." Agatha ikut tertawa. Pemuda di depannya ini membuat hatinya berdesir halus, entah kenapa.

"Sejak bapak meninggal, aku hidup sama tetangga yang udah kek saudara sendiri. Dia yang biayain hidup aku selama ini. Kalo untuk sekolah, aku bisa masuk ke Pelita Jaya karena beasiswa dengan mempertaruhkan terus prestasi juara umum, Tan," jelas Ryu dengan mengaduk es kelapa mudanya.

Agatha menatapnya terharu. Sejak kecil dia sudah tidak punya ibu, di saat dia membutuhkan kasih sayang. Lalu disusul bapaknya yang meninggal, dan kini dia yatim piatu. Sedangkan putranya Jason, bergelimang kasih sayang dan juga harta. Sejak bayi, dia sudah dimanjakan dengan fasilitas lengkap di rumah.

Agatha mengusap sudut matanya yang berair. Dia tersenyum sendu melihat Ryu yang makan dengan lahap dan tanpa rasa sungkan di depannya.

Lagi ... ada yang mengalir hangat dalam hatinya. 

Ryu ... itu juga sebuah nama yang diberikan Lingga, suaminya dulu pada putra mereka yang hilang sejak bayi.

***

Ryu turun dari mobil Agatha dengan mengucapkan banyak terimakasih pada wanita elegan itu.

"Rumahmu yang mana?" Agatha memandang sekeliling komplek rumah kumuh tempat tinggal Ryu.

"Rumah bedeng yang itu, Tante."

"Oke. Kapan-kapan jika tante ingin mampir, boleh?" tanya Agatha tersenyum manis.

"Boleh. Jika Tante kagak merasa risih sih," jawab Ryu.

Agatha tersenyum. "Tentu nggak dong. Oke, salam buat Abangmu ya." Dan Agatha melajukan mobilnya pergi meninggalkan Ryu.

Pemuda itu berjalan menuju rumah Simon. Ada beberapa tamu yang sedang bertandang dan berbincang dengan Abangnya.

"Kamu pulang, Tong," sapa Dipa.

"Ini ada banyak makanan, Bang. Mau ga." Ryu menawarkan makanan yang dia bawa pada semua teman Simon.

"Dapat duit dari mana lu, bisa beli makanan mahal gini?" Simon menatapnya curiga.

"Ibunya Jason yang belikan, Bang. Tadi waktu pulang sekolah, dia nungguin gue di parkiran. Katanya mau ngajak ngomong, gue diajak ke restoran, terus dibungkusin ini semua," jelas Ryu sambil membuka beberapa bungkus makanan.

"Jason? Anak yang berantem ma lu kemaren?"

Ryu mengangguk.

"Ibunya jadi mo nuntut lu? Kok baik dia beliin semua makanan ini." Simon mencecarnya karena curiga.

"Orangnya emang baik kok. Ga sekali ini gue ketemu ma dia. Entah, kok anaknya kek setan." Ryu tertawa mengingat Jason.

Setelah menghidangkan semua makanan pada teman-teman Simon, Ryu masuk ke dalam kamar yang lebih mirip sebuah bilik dari dinding triplek. 

Terdengar lima orang di luar berdiskusi tentang sesuatu yang Ryu tidak mengerti.

"Jadi gimana? Kalian semua mau ikut gua? Tapi gua ingatkan sekali lagi, pekerjaan ini resikonya tinggi. Taruhan nyawa dan penjara seumur hidup. Kalo kalian mau, pendapatannya juga besar, karena teman gua dah jamin itu." Simon bicara dengan serius sambil menghirup kopi panasnya.

"Gua ikut, Bang." Dipa mengangkat tangannya.

"Gua juga, Bang. Lagian kita jadi preman gini juga taruhannya udah nyawa kalo bentrok ma preman lain," ujar Hamdan, si pria dengan tato di leher dan tangan.

"Gua juga ikut, Bang."

Bono dan Jimmy ikut menimpali. Simon tersenyum, karena semua anak buahnya adalah orang-orang yang setia. Bahkan rela menyerahkan nyawa untuk melindunginya.

Komen (1)
goodnovel comment avatar
Yusup Cms123
lanjut terus...mantap
LIHAT SEMUA KOMENTAR

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status