Setelah obat sudah ada di tangan Bryan, pria itu menghampiri istrinya yang sedang duduk manis di kursi tunggu.
“Yuk kita pulang sekarang!” ajak Bryan.
Bryan lalu menggandeng tangan istrinya menuju lobi rumah sakit. Sesekali dia mengecup kepala Nina dengan lembut. Hal itu tentu saja menjadi perhatian orang yang melintas dan berpapasan dengan mereka. Nina berusaha melepaskan diri dari suaminya. Nina merasa malu karena Bryan berlaku mesra di depan umum. Namun usahanya sia-sia karena lengan kiri Bryan segera memeluk pinggang Nina. Hal itu justru membuat mereka tampak semakin mesra, sehingga banyak pasang mata mengulum senyum ketika bertemu pandang dengan mereka. Sebagiannya lagi ada yang tampak iri hati melihat kemesraan pasangan suami istri itu.
“Mas, kamu bikin malu saja ihh.”
“Kenapa malu? Aku memeluk istriku sendiri, bukan istri orang lain,” elak Bryan. Dia menatap istrinya kemudian mengerlingkan sebelah mata pada Nina.
Waktu terus berjalan hingga tak terasa kehamilan Nina telah memasuki usia 7 bulan. Hari ini rumah Bryan dan Nina terlihat ramai dipenuhi oleh para tamu undangan. Kedua pasangan itu mengadakan syukuran atas kehamilan Nina yang sudah berusia 7 bulan.Acara itu Nina serahkan sepenuhnya kepada Even Organizer sehingga dia tidak perlu repot mengurus segala pernak-pernik acara itu.Nina tampil cantik dengan balutan kaftan berwarna baby pink. Dia sengaja memilih warna baby pink karena menurut hasil USG, kedua bayinya berjenis kelamin perempuan. Sedangkan untuk riasan rambutnya, disanggul yang menampilkan leher jenjangnya yang putih dan mulus. Riasan wajahnya tipis tapi elegan yang membuat Nina semakin mempesona. Sedangkan Bryan mengenakan kemeja batik dengan motif dan warna yang senada, begitu pula dengan Brianna yang juga memakai kaftan yang persis dengan ibunya.Bryan menatap istrinya yang tampil cantik hari ini. Hari di mana dia menjadi sorotan di acara tujuh bulanan
Dua bulan kemudian, kini usia kandungan Nina sudah menginjak sembilan bulan. Mereka baru saja pulang dari rumah sakit setelah mengontrol kehamilannya. Kata dokter, kira-kira dua minggu lagi Nina akan melahirkan kedua bayinya.Dan saat ini Nina sedang melihat-lihat kamar bayi untuk kedua calon buah hatinya itu. Nina berjalan mengelilingi kamar bayi yang didominasi warna pink. Nina semenjak tau kedua bayinya berjenis kelamin perempuan, langsung berbelanja perlengkapan bayi untuk bayi perempuan, mulai dari baju, kaos kaki, kupluk dan lainnya. Saat berbelanja, Nina ditemani oleh ibunya, karena saat itu Bryan sedang ada urusan pekerjaan yang tidak bisa ditinggalkan.“Kenapa kamu berbelanja sebanyak ini, Nak? Beli bajunya beberapa pasang saja. Jangan terlalu boros!” imbuh Aliyah memberi saran kala itu.“Bayinya kan ada dua, Bu. Kalau beli sedikit, mana cukup.”“Baju bayi Brianna dulu kamu simpan di mana? Itu kan bisa kamu gunakan kembali untuk bayimu nanti, Nak
Dengan kekuatan saldo shopee 20 juta, Nina akhirnya berhasil mengeluarkan satu bayinya dengan selamat.Oek.. oek.. oek…Nina bernapas lega dan tersenyum kala mendengar suara tangisan bayinya yang membahana di mobil. Bryan menyerahkan bayi pertamanya untuk Nina gendong. Senyum Nina semakin mengembang melihat anaknya yang sedang menangis di dekapannya. Namun senyumnya menghilang ketika sadar bahwa masih ada satu bayi lagi yang berada di perutnya.Nina kembali mengejan kuat hingga bayi yang kedua ikut keluar dari rahimnya.“Alhamdulillah, kedua bayinya udah keluar dengan selamat,” ucap Bryan seraya membungkus bayinya dengan daun pisang, eh ralat, dengan kain sarung. “Nanti sampai di rumah sakit baru dokter yang bersihkan.”“Makasih ya, Dok.”Bryan tersenyum lebar. “Sama-sama, Bu. Jangan lupa bayar biaya persalinannya ya.”“Minta ke suami saya saja ya, Dok.”“
“Taraaaa!! Happy graduation ya, sayang. Ini aku berikan hadiah untuk kamu. Semoga kamu suka ya.” Bryan menyerahkan sebuah box mewah dari brand terkenal kepada istrinya.Hari ini adalah hari kelulusan Nina selama kurang lebih 4 tahun menempuh pendidikan sarjananya di Universitas Terbuka.Nina senyum sumringah menerima pemberian dari suaminya itu. Bryan memang seringkali membelikannya barang-barang mewah dan limited edition. Saking senangnya Nina memeluk erat kotak itu dan meraba-rabanya dengan lembut. “Makasih banyak ya, Mas Bryan. Kamu baik banget. Paham kesukaan wanita seperti apa.”“Ayo dibuka, sayang,” titah Bryan.Nina mulai melucuti pita merah yang terlilit di kotak itu dan langsung membukanya. Namun Nina mengerutkan dahi kala melihat isi kotak itu.“Ihh, ku kira isinya tas Channel, ternyata lingerie,” sungut Nina. “Gagal deh aku nambah koleksi tas lagi.”“Hehehe. Urusan tas mah gampang. Bisa lain waktu. Kalau mau, aku bisa borong sekalian pabriknya. Yang penting kita skidipapap a
“Enak, Mas?”Bryan mengangguk lemah sembari memejamkan mata.Tangan Nina semakin nakal, meraba ke area bawah suaminya. “Aku bangunin dulu ya, Mas.”“Yes, baby. Bangunin aja.”Nina mulai meng-itu-kan milik suaminya hingga bangun.“Udah tegang nih, Mas. Aku mulai ya? Kamu mau request goyangan apa dari aku, Mas? Goyang ngebor? Goyang ngecor? Goyang gergaji? Atau goyang itik?”“B-bebas, sayangku. Atur aja. Yang penting kita sama-sama enak. Hmpphhss.” Napas Bryan semakin sesak karena kenikmatan yang diberikan dari istrinya dan juga aroma stella jeruk yang masih menyengat di indera penciumannya.‘Ahh… stella jeruk ini sangat memabukkan. Aku sudah tak tahan. A-apa ini pembunuhan berencana?’ batin Bryan meronta.“Aku masuk ya, Mas,” ucap Nina namun Bryan tidak merespon apa-apa. Nina melihat suaminya itu sudah memejamkan mata sepenuhnya. “Ka
Sore itu, saat pulang dari kantor, senyum Bryan langsung mengembang ketika melihat anak bungsunya yang sudah berdiri menunggunya keluar dari mobil. “Papa!” pekik Jonathan kala melihat Papanya baru saja keluar dari mobil. Jonathan langsung berlari ke arah Bryan dan masuk ke dalam pelukan Papanya yang kini menunduk dan merentangkan tangannya.Bryan pun berdiri sembari menggendong anaknya yang sebenarnya sudah besar. “Ke mana kakak-kakak kamu? Kok kamu sendirian aja sih, Nak?”“Kakak Nana, Yaya, sama Lala lagi main, Pa.”“Kenapa kamu tidak ikut bermain juga?”Jonathan tidak menjawab. Dia hanya menatap Bryan dengan mata yang sendu.Bryan pun membawa anak bungsunya menuju ruang tengah, tempat di mana anak-anaknya itu biasa bermain. Dan yaa, Bryan melihat ketiga putrinya sedang asik memainkan mainan barbie mereka. Kini Bryan paham kenapa si bungsu akhir-akhir ini sering menyendiri dibandingkan bergabung dengan ketiga kakaknya.“Jojo nanti main bola sama Papa ya. Mau gak?”Jonathan seketik
Brianna mengguncang-guncang tubuh ketiga adiknya, tetapi tidak ada satu pun dari mereka yang terbangun.“Bangun Yaya!! Lala bangun!! Jojo bangunn!!!”Brianna kesal sendiri karena saudaranya tidak kunjung sadar. “Ihh, kenapa sih kalian kebo banget! Bobonya udah kayak orang mati.”Di sisi lain, tepatnya di sebelah kamar Brianna, Nina terus menjerit keenakan karena permainan dari suaminya yang brutal. Suara ranjang yang berderit semakin terdengar jelas akibat goyangan pinggul Bryan yang cepat.“Ahh, hngghh, pelan-pelan aja, hngghh…,” desah Nina.“Gak bisa, sayang. Ini terlalu nikmat.”“Arghhh… aku dikit lagi keluar, Mas.”Bryan mendekatkan wajahnya ke arah Nina dan melumat-lumat bibir istrinya. Setelah itu, dia pun berbisik, “Aku juga akan keluar, sayang.”Tubuh Nina bergetar hebat kala gelombang kenikmatan itu menghampirinya. Begitu pun dengan sang suami yang kini rebah di atas dada istrinya.“Terima kasih, sayangku. Kamu telah menjadikan malam ini begitu indah. Aku menyayangi kamu,” bi
Pagi ini Nina sangat bersemangat, karena hari ini adalah hari pertamanya bekerja di perusahaan suaminya sendiri sebagai seorang asisten pribadi. Saat ini dia dan suaminya sedang berpakaian. Pasangan suami istri itu mengenakan setelan hitam putih ala-ala pencari info loker. Bedanya setelan yang mereka pakai ini lumayan mahal, bukan baju hasil nego di Tanah Abang.Bryan memandangi istrinya yang sudah selesai berpakaian dengan rapi. Nina terlihat gugup. Bisa dipastikan dari hembusan napasnya yang berulang kali ia lakukan dalam tempo yang cepat.“Kamu kenapa, sayang? Kok kelihatan nervous banget?”Nina kembali menghela napas sebelum menjawab pertanyaan Bryan. “Huhh, aku gugup, Mas. Aku takut melakukan kesalahan di hari pertamaku bekerja.”“Jangan gugup dong, sayang. Kamu kan bekerja di perusahaanku. Artinya kamu bekerja untuk aku. Kalau kamu melakukan kesalahan, ya gapapa dong.”Nina tersenyum tipis mendengar kalimat
“Tidak. Kamu ini jangan asal menuduh.”Nina merebahkan tubuhnya di ranjang mengikuti Bryan yang lebih dulu rebah di sana. Nina menoleh ke suaminya yang tidur dengan posisi membelakanginya. “Mas, kamu langsung mau tidur ya? Kamu gak mau minta jatah dulu?” tawar Nina.“Iya, sayang. Aku mau langsung tidur,” jawab Bryan tanpa berbalik badan.Tubuh Nina makin menempel ke tubuh Bryan. Nina sengaja ingin memancing gairah suaminya. Nina lalu memeluk erat Bryan kemudian berkata dengan manja. “Kok gitu, Mas? Biasanya kan kamu gak bisa tidur kalau gak dilayani dulu. Ayo, Mas. Kita habiskan malam ini dengan bercinta menggunakan seribu macam gaya.”Bryan menjauhkan tangan Nina yang melingkar di perutnya. “Lain kali saja ya, sayang. Aku benar-benar lelah malam ini. Aku mau tidur sekarang.”“Mas, ayo dong. Kita main! Aku kebelet, Mas. Pengen dicolokin sama kamu,” ucap Nina berusaha menggoda i
Sudah lima hari Nina bedrest di rumah sakit akibat pendarahan yang dialaminya, hingga menyebabkan janinnya gugur di dalam kandungan. Kini saatnya Nina kembali pulang ke rumah setelah memeriksa kondisinya. Dengan senyum yang merekah, Nina merapikan pakaiannya dan menunggu suaminya yang sedang mengurus administrasi rumah sakit.Bryan tersenyum sumringah melihat istrinya yang sudah siap dan tampak segar saat dia masuk ke dalam ruang rawat inap. Bryan lalu mencium bibir ranum Nina yang semakin hari terlihat semakin menggoda.“Sudah siap pulang ke rumah?” tanya Bryan sambil mengarahkan lengan kanannya untuk dirangkul istrinya.“Sudah dong, Mas. Aku sudah siap dari tadi. Ayo kita pulang sekarang, Mas. Aku sudah gak sabar mau ketemu dengan anak-anak,” sahut Nina. Dengan cepat dia melingkarkan tangannya di lengan kanan suaminya. Namun, Nina melepaskan lagi tangannya yang sudah melingkar manis di lengan Bryan, kala pria itu tiba-tiba menghentikan
“Sudah beribu kali aku katakan padamu. Aku cinta sama kamu.”Nina merasa sedikit lega mendengar jawaban Bryan. Meskipun belum bisa dipastikan benar atau tidaknya.Di saat Bryan tengah memeluk tubuh istrinya, tiba-tiba pintu kamar ruang rawat inap itu terbuka. Aliyah dan Rozak beserta keempat anaknya berjalan memasuki ruangan.“Mama!” seru anak-anaknya secara bersamaan.Nina sontak melepaskan diri dari pelukan suaminya dan merentangkan kedua tangan, menyambut keempat anaknya.“Nana, Yaya, Lala, Jojo, sini sayang!” ucap Nina dengan tatapan penuh kerinduan.Walaupun keempat anaknya itu setiap hari mengunjunginya di rumah sakit, tapi tetap saja Nina merasa rindu pada anak-anaknya.Bryan membawa keempat anaknya ke atas ranjang perawatan dan menempatkan mereka di sisi Nina, kiri dan kanan.“Mama kapan pulangnya? Yaya kangen sama Mama,” ucap Cattleya ketika berada dalam pelukan ibunya. Dia menatap ibunya dengan tatapan penuh kerinduan.“Iya, Lala juga kangen sama Mama. Pengen Mama cepat-cepa
Bryan mondar-mandir berjalan di depan ruang UGD seraya mengusap wajahnya berulang kali. Sementara Pak Jaka hanya duduk di kursi tunggu sembari memperhatikan majikannya yang dari tadi bergerak gelisah.“Mendingan Tuan duduk saja dulu di kursi,” ucap Pak Jaka.“Tidak bisa, Pak. Aku khawatir sama istriku. Kenapa sih dia harus menyusul aku ke hotel? Kenapa Pak Jaka mau saja mengantarkannya menemuiku?”“Maaf, Tuan. Tapi Nyonya sendiri yang mau bertemu dengan Tuan. Katanya sih ada hal penting yang mau disampaikan kepada Tuan. Nyonya juga tampaknya bersemangat sekali ingin bertemu dengan Tuan,” jelas Pak Jaka, sedikit merasa bersalah.Bryan memutuskan untuk duduk sembari menghela napas panjang. “Sesuatu yang penting seperti apa yang ingin dia katakan kepadaku sampai harus mengorbankan nyawanya?” gumam Bryan pelan kemudian kembali mengusap wajahnya.Tak lama kemudian, seorang dokter muncul dari dalam ruang UGD yang pintunya baru saja terbuka.“Apa Anda suaminya Ibu Nina Anatasya?” tanya dokte
“Mama juga gak tau. Kita samperin Papa sekarang yuk.”Nina menguatkan dirinya sendiri untuk melanjutkan langkahnya menghampiri sang suami.Bryan sedikit terkejut ketika melihat Nina dan juga anak sulungnya berada di bandara.“Nina? Kenapa kamu bisa ada di sini? Aku kan gak nyuruh kamu menjemputku di bandara,” ucap Bryan dalam kondisi yang masih bergandengan tangan dengan wanita cantik di sebelahnya.“Kenapa, Mas? Supaya kamu bisa mesra-mesraan dengan wanita ini ya?” semprot Nina. Nina menoleh lalu melemparkan tatapan tajamnya ke arah wanita itu. “Bisa lepasin tangan suami saya?”Dengan cepat wanita itu melepaskan tangannya di lengan Bryan dan berdiri agak menjauh dari Bryan. “Maaf, Bu. Saya hanya menjalankan tugas saja.”Nina menyipitkan matanya kala mendengar suara itu. Suara yang familiar. ‘Oh ternyata ini wanita yang juga mengangkat telponku waktu itu.’“
Dua minggu kemudian…Nina terkesiap ketika menatap kalender. Dia baru menyadari kalau saat ini dia telah terlambat datang bulan. Dalam perhitungannya, sudah ada dua bulanan dia tidak mengalami datang bulan. Seketika tangannya mengelus perut ratanya. Senyum merekah dari bibirnya yang ranum.Nina memang belum memeriksakan dirinya ke dokter kandungan untuk memastikan apakah benar dia hamil atau tidak. Namun, ciri-ciri kehamilan sudah dia alami saat ini. Dia sering mengantuk dan pusing pada pagi hari dengan disertai mual. Sehingga hal itu, membuat Nina yakin bahwa dirinya memang tengah mengandung buah hatinya.“Mas Bryan pasti senang kalau tau ada buah cinta kami di dalam sini. Nanti setelah Mas Bryan sampai, aku akan memintanya untuk menemaniku ke dokter kandungan. Dia pasti sangat antusias,” ucap Nina bermonolog.Sesuai janji yang pernah Bryan katakan sebelumnya, hari ini adalah hari kepulangan Bryan ke Jakarta. Saat ini Bryan sudah berad
Nina terdiam cukup lama sebelum memberanikan diri untuk menjawab pertanyaan anaknya. “Papa pasti pulang kok,” jawabnya penuh yakin di hadapan anak-anaknya.“Kalau misalnya Papa gak mau pulang gimana, Ma?”“Kenapa Lala ngomong gitu? Papa pasti pulang ke rumah.”“Siapa tau Papa ketemu anak-anak yang lebih baik dari kami. Makanya Papa gak mau nelpon dan bicara sama kami,” cetus Khaylila.“Lala kok bisa kepikiran seperti itu? Jangan pikir yang macam-macam ya, sayang. Papa di sana cuman kerja doang. Gak buat yang aneh-aneh.”“Soalnya di sekolah, Lala punya teman yang Mama Papanya udah pisah.”Kata-kata anak berusia empat tahun itu sukses membuat air mata Nina luruh seketika. “Kalau Papa ketemu anak-anak baru di sana, ya udah, berarti Mama juga harus cari Papa baru buat kalian. Bagaimana? Mantap kan rencana Mama?”“Tapi pilih Papa barunya jangan
Lima hari berlalu, Nina masih belum mendapatkan kabar dari Bryan. Setiap kali dirinya menghubungi Bryan, nomor suaminya itu selalu saja tidak aktif bahkan semua akun sosmednya terlihat seperti diblokir oleh Bryan. Dan kali ini, Nina berinisiatif menggunakan nomor baru untuk menghubungi nomor suaminya itu. Nina berkacak pinggang kala panggilannya tersambung ke nomor sang suami.“Ternyata benar dugaanku, kamu ngeblokir nomorku. Kurang ajar ya kamu, Mas!” ucap Nina bermonolog.“Kamu ini ke mana sih? Lama banget ngangkat teleponnya!” sungut Nina kesal.Setelah beberapa detik, panggilan suara itu pun terhubung ke si pemilik nomor. Tetapi Nina dibuat terkejut karena bukan Bryan yang menjawab panggilannya melainkan seorang wanita.“Hello. Can I help you?”Nina menjauhkan ponselnya dari telinga dan melihat kembali nomor yang dia hubungi, takutnya salah sambung. Tetapi sudah benar yang dia hubungi adalah nomor suaminya sendiri.‘Kenapa yang mengangkat telpon kamu malah orang lain? Siapa peremp
Nina pun kembali mengirimkan sebuah chat ke nomor Bryan.[Setidaknya ngasih kabar dong, walaupun satu chat saja. Aku cemas banget sama kamu, Mas]“Hmm, kok centang satu sih?” gumam Nina terheran-heran. “Seharusnya dari subuh dia udah sampai di apartemen. Tapi kok ceklis? Masa iya dia gak ada kuota atau wifi sih? Apa dia sengaja matiin data selulernya biar gak diganggu?”*Jam dinding menunjukkan pukul lima sore. Tetapi sampai detik ini juga, Bryan masih belum memberikan kabar. Bahkan nomornya saja masih centang satu. Nina semakin cemas dibuatnya. Tiba-tiba teleponnya berdering, membuatnya merasa lega.Nina segera mengecek ponselnya, berharap sang suami yang menghubunginya. Namun hatinya kembali diserang oleh rasa kecewa ketika orang lainlah yang menghubunginya.“Halo. Nina, apa kamu di rumah?” tanya seseorang di balik sana.“Iya. Tumben kamu menghubungi aku. Ada apa, Dicky?”Semenjak mengetahui bahwa Dicky telah menjalin hubungan dengan William, Bryan tidak mempermasalahkan lagi jika