INICIAR SESIÓNPintu kamar terkunci dengan bunyi klik lembut. Senyum hangat yang baru saja menghias wajah Bumi segera luruh, digantikan oleh kerutan kekhawatiran di dahinya. Langkahnya berat menuju ruang kerja di lantai bawah, jari-jemarinya sudah menekan nomor Max sebelum ia sempat duduk."Max," suaranya rendah dan tegas, "Selidiki apa yang dilakukan Gilea di luar rumah hari ini. Kemana saja dan dengan siapa dia bertemu."Dia memutuskan sambungan tanpa menunggu balasan. Matanya tertuju pada layar laptop yang menampilkan rekaman CCTV. Di sana, terlihat Gilea menyelinap keluar lewat pintu samping, berjalan cepat dengan kepala tertunduk. Ini bukan pertama kalinya. Sejak beberapa pekan terakhir, istrinya itu seperti bayangan yang menghilang di siang bolong, selalu pulang tepat sebelum jam makan siang dengan wajah lelah dan alasan yang samar.Bumi menjatuhkan diri di kursi kerjanya, kedua tangannya menekan pelipis yang berdenyut-denyut. Pikirannya kacau, diterpa badai prasangka yang membuat dadanya sesa
Pagi itu masih berbalut kabut tipis ketika Gilea mendengar langkah Bumi bersiap di kamar. Dengan cepat ia masuk ke kamar mandi, mengunci pintu, dan membiarkan air keran mengalir. Dari balik pintu, ia mendengar Bumi memanggil namanya dengan lembut."Gilea? Sayang, aku berangkat." ujar Bumi, penuh rasa sayang.Gilea menahan napas, membiarkan suara air menjawab untuknya. Beberapa detik kemudian, ia mendengar pintu kamar tertutup perlahan.Rasa bersalah menusuk dadanya, tapi segera digantikan oleh kenangan akan lembaran berkas kuning yang tersembunyi di laci rahasia. Tanda tangan Bumi di surat persetujuan itu membakar ingatannya lebih dari segalanya.Setelah memastikan Bumi telah pergi, Gilea berganti pakaian sederhana dan menyelinap keluar melalui pintu samping yang jarang digunakan. Hari ini, misinya jelas: menemukan Daniel. Dan pencarian itu akan ia mulai dari rumah sakit. Tempat dimana dia bertemu dengan Daniel terakhir kalinya.***Di rumah sakit, ia berdiri di lorong yang sama diman
Pagi menjelang dengan kabut tipis menutupi taman belakang. Burung-burung terdengar sayup, tapi Gilea tak benar-benar mendengarnya. Sejak fajar, ia duduk di kursi tepi jendela, menatap kosong ke arah kebun mawar yang mulai layu. Wajahnya tenang—terlalu tenang.Ketika Bumi berangkat kerja, ia masih sempat mencium keningnya seperti biasa. Gilea tersenyum lembut, seperti istri penyayang yang bersyukur atas perhatian suaminya. Tapi begitu pintu utama tertutup, senyum itu lenyap seolah terhapus angin.Ia berdiri perlahan, mengganti gaun rumahnya dengan dress panjang berwarna krem muda. Tidak ada perhiasan mencolok, hanya syal tipis yang melingkar di lehernya. Penampilannya rapi, sederhana—tapi di balik keanggunan itu, ada rencana yang dingin.“Rane,” panggilnya pelan.Kepala pelayan itu segera muncul. “Ya, Nyonya?”“Aku ingin pergi ke rumah sakit pagi ini. Hanya kontrol ringan.”“Apakah saya perlu mengabari Tuan Bumi?”“Tidak perlu.” Tatapan Gilea naik perlahan menatap Rane. “Kau tahu bagai
Setelah Maria dan Maghdalena pergi, Gilea berdiri di depan jendela kamar nya dengan pandangan tajam. Semua ingatannya telah kembali—setiap penghinaan, setiap paksaan, dan yang paling menyakitkan, pengakuan Bumi bahwa dialah yang memerintahkan pengakhiran kehamilan pertama nya. Semua ingatan itu kita melekat erat diingatan nya, bersama wajah dingin Bumi yang tanpa penyesalanm saat meminta dokter mengakhiri nyawa putri mereka.Bumi yang mendapat kabar dari kepala pelayan di mansion nya langsungbergegas pulang setelah mendapat laporan dari Rane, bahwa Gilea tadi sempat pusing dan hampir pingsan."Sayang, katanya tadi kau tidak enak badan?" Bumi menghampiri dengan wajah penuh kepedulian yang kini terasa sangat munafik di mata Gilea.Dia memeluk Gilea dari belakang, tapi tubuh Gilea tetap kaku. "Aku baik-baik saja, Bee. Hanya lelah." Suaranya datar, terkontrol.Masih dalam kecemasan yang mendalam, Bumi meraba perut Gilea dengan tangan nya. "Bagaimana calon bayi kita? Apa dia baik-baik saja
Keesokan harinya, saat matahari sudah tinggi dan Bumi kebetulan tidak pulang untuk makan siang seperti biasa sebab ia ada pertemuan penting dengan klien, dua orang tamu tak terduga datang ke mansion Gilea dan Bumi. Mereka adalah Maria dan Maghdalena."Kita beruntung sekali, Maria," bisik Maghdalena saat mereka menunggu di ruang tamu. "Bumi tidak ada di rumah. Jadi kita bisa mencuci otak si bodoh Gilea." Tawa kecilnya segera dipotong Maria yang melempar pandangan peringatan."Diam, mami," desak Maria. "Jangan asal bicara. Ini mansion keluarga Wicaksono, siapa saja mungkin bisa mendengar apa yang mami katakan."Di tengah obrolan Maria dan Maghdalena yang lebih mirip bisikan itu, Gilea muncul dari tangga dengan senyum ramah. Dia sangat ingat dua orang ini. Syukurnya ingatannya yang hilang tidak membawa serta ingatan tentang betapa jahat dan kejamnya dahulu dua orang ini dengannya."Kakak, Ibu... apa kabar?" Sapa Gilea sehangat mungkin. Dia tidak ingin dua orang ini mencium aroma-aroma
Pertemuan dengan Maria meninggalkan rasa tidak enak yang mengendap di dada Gilea. Malam itu, setelah mereka tiba di mansion, Gilea mengurung diri di kamar tidur mereka. Bumi, yang biasanya selalu ada untuk menemani Gilea memejamkan mata, malam ini juga tidak terlihat di sana. Dalam kesendirian di kamar yang megah itu, Gilea merenungi sesuatu sambil duduk di tepi tempat tidur. Tangannya secara refleks mengelus perutnya yang membesar, mencari kenyamanan dari kehidupan yang sedang tumbuh di dalam rahimnya."Rasa bersalah?" gumamnya pada bayangannya sendiri di cermin. "Apakah yang kurasakan saat bertemu Maria tadi adalah sebuah rasa bersalah?" tanyanya pada dirinya sendiri, yang masih mencoba mencari tahu apa yang sebenarnya dia rasakan saat bertemu dengan Maria di acara tadi.Tapi semakin Gilea merenung, semakin yakin dia bahwa yang dia rasakan bukanlah rasa bersalah. Ini adalah sesuatu yang lebih dalam, lebih gelap—seperti naluri purba yang memperingatkannya akan bahaya.Gilea mencoba







