Keesokan harinya, saat matahari sudah tinggi dan Bumi kebetulan tidak pulang untuk makan siang seperti biasa sebab ia ada pertemuan penting dengan klien, dua orang tamu tak terduga datang ke mansion Gilea dan Bumi. Mereka adalah Maria dan Maghdalena."Kita beruntung sekali, Maria," bisik Maghdalena saat mereka menunggu di ruang tamu. "Bumi tidak ada di rumah. Jadi kita bisa mencuci otak si bodoh Gilea." Tawa kecilnya segera dipotong Maria yang melempar pandangan peringatan."Diam, mami," desak Maria. "Jangan asal bicara. Ini mansion keluarga Wicaksono, siapa saja mungkin bisa mendengar apa yang mami katakan."Di tengah obrolan Maria dan Maghdalena yang lebih mirip bisikan itu, Gilea muncul dari tangga dengan senyum ramah. Dia sangat ingat dua orang ini. Syukurnya ingatannya yang hilang tidak membawa serta ingatan tentang betapa jahat dan kejamnya dahulu dua orang ini dengannya."Kakak, Ibu... apa kabar?" Sapa Gilea sehangat mungkin. Dia tidak ingin dua orang ini mencium aroma-aroma
Pertemuan dengan Maria meninggalkan rasa tidak enak yang mengendap di dada Gilea. Malam itu, setelah mereka tiba di mansion, Gilea mengurung diri di kamar tidur mereka. Bumi, yang biasanya selalu ada untuk menemani Gilea memejamkan mata, malam ini juga tidak terlihat di sana. Dalam kesendirian di kamar yang megah itu, Gilea merenungi sesuatu sambil duduk di tepi tempat tidur. Tangannya secara refleks mengelus perutnya yang membesar, mencari kenyamanan dari kehidupan yang sedang tumbuh di dalam rahimnya."Rasa bersalah?" gumamnya pada bayangannya sendiri di cermin. "Apakah yang kurasakan saat bertemu Maria tadi adalah sebuah rasa bersalah?" tanyanya pada dirinya sendiri, yang masih mencoba mencari tahu apa yang sebenarnya dia rasakan saat bertemu dengan Maria di acara tadi.Tapi semakin Gilea merenung, semakin yakin dia bahwa yang dia rasakan bukanlah rasa bersalah. Ini adalah sesuatu yang lebih dalam, lebih gelap—seperti naluri purba yang memperingatkannya akan bahaya.Gilea mencoba
Enam bulan. Itulah waktu yang telah berlalu sejak Maria berhasil melarikan diri dari vila mewah sekaligus penjara pribadinya di pulau terpencil. Pelarian yang dirancang matang selama berbulan-bulan, menunggu saat yang tepat ketika pengawasan terhadapnya mulai mengendur karena Bumi terlalu sibuk dengan Gilea dan proyek rumah seninya.Saat ini, Maria tidak lagi berada di Indonesia. Dia bersembunyi di sebuah apartemen kecil di Bangkok, jauh dari jangkauan Bumi. Ruangan itu sederhana, kontras dengan kemewahan yang biasa ia nikmati. Tapi bagi Maria, kebebasan lebih berharga daripada kemewahan.Di mejanya, terpampang berbagai dokumen dan foto-foto terbaru Gilea yang diambil dari jarak jauh. Ada foto Gilea dengan perut yang membesar, foto Bumi yang selalu mendampingi, bahkan foto pertemuan tidak sengaja antara Gilea dan Daniel di rumah sakit."Gilea yang polos dan tak berdaya karena kehilangan ingatannya," gumam Maria dengan senyum getir. "Sempurna."Matanya yang tajam menganalisis setiap po
Sementara Bumi merencanakan pengawasanya terhadap gerak gerik Daniel dari balik dinding mansionnya yang megah, Daniel Richard sendiri saat ini sedang mengalami kegelisahan yang jauh lebih dalam di apartemennya yang minimalis. Dia berdiri di depan jendela, memandang kota penuh cerita masa lalu itu yang kini sedang diterangi hujan malam. Semua terlihat indah tetapi sayangnya pikirannya masih tertambat pada pertemuan singkatnya dengan Gilea di rumah sakit tadi siang.Dia terlihat begitu sehat... begitu cantik dengan kehamilannya, pikir Daniel dengan perasaan campur aduk. Ada kerinduan yang mendalam untuk memeluk sahabat lama sekaligus wanita yang dicinta sepenuh jjiwa raga itu. Rasanya ingin sekali Daniel untuk bercerita tentang segala yang telah terjadi. Tapi ketakutan membekukan lidahnya. Sebuah ketakutan bahwa satu pelukan saja bisa membongkar rahasia yang telah ia jaga mati-matian selama ini."Dada... papa..." suara kecil Alena dari tempat tidurnya menarik perhatian Daniel.Dia sege
Mobil Rolls Royce mereka meluncur mulus meninggalkan rumah sakit, namun suasana di dalamnya bagai diwarnai oleh awan gelap yang tak terlihat. Bumi duduk dengan wajah yang tampak tenang, tetapi pikirannya berputar kencang. Tangannya masih menggenggam erat tangan Gilea, sebuah gestur protektif yang sudah menjadi kebiasaan selama enam bulan terakhir."Kau kenal baik dengan Daniel itu, Ya?" tanya Bumi seolah-olah biasa saja, mata tetap tertuju ke jalan di depan.Gilea yang sedang memandangi hujan di luar, menoleh. "Dulu kami sangat dekat. Dia seperti saudara laki-laki yang tidak pernah kupunya. Seingatku, terakhir aku bertemu dengannya adalah sebelum aku pindah ke Italia. Dan saat aku kembali, aku sempat datang ke rumahnya. Tapi dia tidak ada. Pelayan di rumahnya mengatakan bahwa dia sedang ada urusan keluar negeri. Bahkan saat pernikahan kita, dia juga tidak hadir. Setelah itu rasanya aku tidak pernah bertemu dengan. Atau aku tidak begitu yakin, karena kau tahu sendiri bahwa aku kehilang
Gilea tidak menyia-nyiakan kesempatan. Dengan energi yang tak terduga dari tubuhnya yang hamil besar, ia bergegas menghampiri Daniel, meninggalkan tempat duduknya di lobi. "Daniel?" panggilnya, suaranya campur antara rasa tak percaya dan gembira.Daniel, yang sedang mendorong troli bayi, menoleh. Wajahnya yang semula tenang langsung berubah pucat saat melihat Gilea. Matanya membelalak, seolah melihat hantu. "G-Gilea?" gumannya, terdengar gagap. Tangannya menggenggam erat pegangan troli bayi hingga buku-bukunya putih. "Apa... apa kau doing di sini?""Aku sedang kontrol kandungan," jawab Gilea singkat, matanya langsung tertarik pada bayi kecil dalam troli. "Daniel, siapa ini? Jangan-jangan... ini anakmu?" Tanya Gilea dengan mata berbinar. "Kau menikah dan tidak memberitahuku? Kapan itu terjadi?"Daniel terlihat semakin tidak nyaman. Dia melirik ke sekeliling dengan cepat, seperti mencari jalan keluar. "Iya, ini... ini putriku," katanya, suaranya rendah dan terburu-buru. Dia membetulkan