Matahari pagi di Maldives menembus tirai tipis kamar, menyusup pelan dan menyentuh pipi Gilea yang masih terpejam. Hela napasnya teratur, dan lengan Bumi masih melingkar erat di pinggangnya. Ia belum bangun, tapi wajahnya tenang, seolah dunia sedang baik-baik saja untuk pertama kalinya.Bumi membuka mata perlahan, lalu memiringkan tubuhnya. Ia tersenyum kecil saat melihat Gilea mengerutkan dahi, seperti sedang bermimpi yang aneh.“Pagi, Nyonya Wicaksono,” bisiknya, sebelum bibirnya mengecup lembut dahi wanita yang perlahan mulai terbangun.“Mmm… ini masih mimpi ya?” gumam Gilea dengan suara serak baru bangun tidur.“Kalau ini mimpi, kamu pasti nggak bakal bangun, kan?”Gilea terkekeh kecil dan membenamkan wajahnya di dada Bumi.“Aku suka kamu yang sekarang, Bee. Kau terlalu expert untuk pria bermulut ketus untuk bisa membuat seorang wanita terus jatuh cinta padamu. Atau jangan-jangan hati ku saja yang terlalu mudah goyah padamu." Dalam kenyamanan dalam kehangatan tubuh Bumi, Gilea ter
Kamar Bumi dan Gilea terletak paling ujung dari jajaran vila terapung mewah itu. Tapi kamar mereka bukan sembarang kamar—melainkan satu-satunya kamar yang berdiri sendiri, di atas laut biru, dipisahkan dari vila utama oleh jarak sekitar 100 meter. Seakan Bumi sengaja memilih lokasi itu demi menciptakan dunia kecil hanya untuk dirinya dan Gilea.Begitu Gilea masuk ke kamar itu, matanya langsung melebar. Ia seolah-olah dibawa masuk ke dimensi lain. Ruangan itu dihiasi lampu-lampu gantung kecil yang menggantung dari langit-langit, memancarkan cahaya kekuningan lembut. Tirai putih melambai pelan tertiup angin laut yang masuk dari jendela besar. Kelopak bunga mawar merah ditaburkan di lantai kayu mengilap, membentuk jalur yang memandu langkahnya menuju balkon yang menghadap langsung ke laut. Dan di tengah-tengah ruangan, meja bundar kecil didekorasi dengan lilin dan dua gelas wine.Gilea menoleh ke arah Bumi dengan mata berkaca-kaca. "it's so romanctic, Bee. Thanks." ucapnya penuh haru. Ti
Begitu roda pesawat menyentuh landasan bandara di Maldives, langit biru menyambut dengan semburat mentari yang memantul di permukaan laut sejernih kristal. Angin laut menyapa dengan wangi kelapa dan bunga kamboja, seolah ingin berkata: welcome to Maldives.Pintu pesawat terbuka perlahan, dan Bumi turun pertama. Seorang pria berseragam putih dan rompi hotel eksklusif langsung menyambutnya sambil tersenyum sopan.“Selamat datang kembali, Tuan Bumi. Yacht dan mobil pribadi sudah menunggu.”Gilea ikut turun, menatap kagum pemandangan tropis yang memesona. Ia merasa seperti tokoh utama drama Korea. Tapi sebelum bisa terlalu tenggelam dalam kebahagiaan...tiba-tiba bising duo pengganggu kembali membuyarkan suasana yang telah terbangun indah. “Wah! ternyata sudah lama aku tidak kemari. Maldives masih indah seperti biasanya.!” seru Vino yang muncul dari pintu pesawat dengan koper hardcase besar yang warnanya mencolok seperti traffic cone.Damian melangkah santai di belakangnya, tetap memakai
"Kak Dee!!"Suara Vino meledak seperti kembang api di siang bolong, mengejutkan seluruh pengunjung bar rooftop tempat Damian sedang duduk termenung sendirian. Gelas wine di tangannya terguncang hebat—isinya bahkan sampai tumpah ke meja, membasahi tisu dan sebagian celana jeans mahalnya.“Sst! Kau ini!” Damian mendesis sambil berdiri setengah, gelagapan menyelamatkan sisa martabatnya dari percikan noda merah anggur. “Apa tidak bisa kau biarkan aku mencari ketenangan di antara para wanita yang berlalu-lalang ini?”Damian melirik ke arah sekumpulan wanita yang memang sedang nongkrong di pinggir kolam infinity pool. Beberapa dari mereka sempat melirik, mungkin karena suara tumpahan barusan.Dengan kesal, ia mengelap celananya menggunakan tisu bar, lalu menatap Vino dengan penuh tuduhan. "See? Lihat, ulah mu bocah!!" Amuknya tertahan.“Kak! Ini jauh lebih penting dari semua wanita itu! Dan juga tumpahan itu.” Vino menyodorkan ponselnya ke depan wajah Damian seperti hendak menabrakkan pesaw
Bumi menatap Gilea yang masih bersandar di dadanya. Dielusnya rambut panjang yang mulai mengering, diselipkannya helai-helai yang menutupi wajah Gilea ke belakang telinga dengan penuh kelembutan.“Kau masih nyeri?” bisiknya pelan.Gilea menjawab dengan desahan malas yang artinya 'sudah tahu masih saja bertanya, tapi dengan nada yang terlalu manja untuk membuat Bumi merasa bersalah.“Aku mandiin ya?”Gilea langsung mengangkat wajahnya. “Apa? Bee! Jangan bercanda. Aku masih bisa mandi sendiri. Tapi ya sebentar lagi, Ini masih sedikit - nyeri.” ucap Gilea malu-malu."Aku tidak bercanda, sayang." Bumi mencium ujung hidungnya. “Please, biar aku yang urus semuanya pagi ini. Kamu tinggal jadi ratu dan biarkan pelayanmu ini yang melakukan segalanya.”“Bee…Jangan aneh-aneh!” Gilea mencibir. “Aku bisa mandi sendiri. Lagi pula, aku bukan manekin patah kaki yang tidak bisa berjalan ke kamar mandi dan mandi sendiri.”Tapi Bumi sama sekali tidak mendengar semua celotehan Gilea. Buktinya, dia sudah
Gilea membuka mata perlahan.Sinar matahari pagi menyelinap dari celah tirai hotel yang belum sepenuhnya tertutup, membentuk garis tipis di dinding krem. Napasnya masih berat, kepalanya terasa ringan—seperti baru saja kembali dari dunia lain. Tapi yang membuatnya terbangun bukan cahaya itu. Ada sesuatu yang hilang.Ranjang di sebelahnya kosong. Tidak ada napas berat. Tidak ada kehangatan tubuh. Tidak ada lengan kekar yang biasa menariknya mendekat dengan posesif manja. Hanya ada Selimut berantakan. Bantal tempat kepala Bumi semalam bersandar yang hanya menyisakan lekukannya.Panikkah Gilea?Hmm sebenarnya iya! Tapi keadaannya yang masih terhoyong lemah tidak membiarkan kepanikannya tergambar dengan sempurna.Tidak terlihat, tapi jantung Gilea melonjak. Matanya menatap sekitar kamar dengan tergesa—kursi kosong, jendela tertutup, tidak ada suara air dari kamar mandi, tidak ada suara langkah kaki... tidak ada apa-apa. Bumi benar-benar telah meninggalkannya sekali lagi. “Tidak mungkin s