Seketika Bumi teringat akan perkataan Gilea pagi ini.
“Kemarin lusa aku baru saja menandatangi kontrak kerja. Dan aku ingin ke perusahaan itu untuk mengundurkan diri baik-baik. Aku tidak bisa membuat mereka menungguku sedangkan aku tidak akan pernah kembali ke sana lagi. Paling tidak berikan aku kesempatan untuk mengundurkan diri dengan benar.”
“Itulah mengapa aku memberanikan diri untuk meminta izin keluar hari ini."
Kata-kata Gilea terngiang di kepala Bumi. Bagaimana bisa semua sekebetulan seperti ini?
Bumi kembali menatap Gilea. Sedangkan Gilea? Dia yang akhirnya tahu bahwa direktur yang diceritakan oleh Damian tadi adalah Bumi- hanya bisa menunduk penuh rasa cemas.
"Tuan Bee, ini dia, sekretaris barumu yang aku ceritakan tadi. Dan sebagai informasi, dia ingin mengundurkan diri. Mungkin kau bisa membuat berubah pikiran makanya aku bawa dia kemari." ujar Damian sambil menyeringai kecil, lalu menoleh ke arah wanita di sampingnya.
“Kakak, dia-“ Seru Joanna terputus sebab Bumi langsung mengangkat tangannya guna memberikan isyarat padanya untuk tetap diam.
Damian yang tidak tahu situasi sebenarnya, sempat terbengong sesaat sampai akhirnya dia kembali melanjutkan kata-katanya. "Gilea, ini tuan Nathan Aldian Bumi Wicaksono, direktur perusahan ini dan biasa di panggil tuan Bee."
Gilea melihat sekilas pada Bumi yang sedang menatapnya dingin. Sebuah tatapan dingin yang membuat Gilea langsung kembali menundukkan pandangannya. Dia takut Bumi akan memuntahkan kata-kata penuh penghinaan di depan Damian.
"Bagaimana mungkin aku tidak tahu jika dia adalah presdir perusahan ini!” Bee? Bumi? B for Bumi. Sial!” Batin Gilea yang sudah pasrah dengan apapun reaksi yang mungkin Bumi berikan.
"Dee, Joana, bisakah kalian meninggalkan kami berdua? Mungkin untuk membujuknya untuk tetap tinggal sebagai sekretarisku, aku butuh bicara empat mata dengan nya," kata Bumi dingin tanpa melepaskan pandangannya dari Gilea.
Damian menatap Gilea sejenak, seolah seperti menunggu persetujuan dari Gilea untuk bicara empat mata dengan Bumi. Lalu setelah mendapatkan anggukan kecil dari Gilea, Damian pun mengganguk, tersenyum dan pergi.
Sebelum Damian melewati Gilea, Damian sempat-sempatnya memegang tangan Gilea dan berkata,"aku sungguh berharap kau tidak jadi meninggalkan perusahan ini, Gilea." Sebuah senyuman indah nan penuh Damian berikan pada Gilea sebelum akhirnya dia meninggalkan Gilea dan Bumi berdua saja di dalam ruangan tersebut.
Hal ini tentunya tidak luput dari pandangan Joanna, membuat rasa tidak sukanya pada Gile semakin besar.
“Kak Dee! Tunggu aku!” Panggil Joanna manja, dan mengejar Damian yang bergerak ke arah pintu.
"Kunci pintunya." Perintah Bumi begitu Damian menutup usai Joanna melangkah keluar. Dan bak kerbau yang ditusuk hidungnya, Gilea melangkah mendekati pintu dan melakukan apa yang Bumi perintahkan..
"Kau sungguh luar biasa, Nona Wijaya."
Suara Bumi mengiris, datar tapi mematikan. Matanya yang hitam menatap Gilea bagai es yang menyentuh tulang. "Apa semua ini bagian dari rencanamu.” Bumi berjalan mendekat, langkahnya pelan tepat seperti harimau mengintai mangsa. "Atau...
“Aku mulai berpikir. Bagaimana kau bisa ada di semua situasi dalam hidup ku! Kau pulang dari Italia, tepat disaat kakak mu kabur dari pernikahan kami. Kau datang melamar ke perusahan ku tepat di saat aku butuh seorang sekretaris. Kau tahu segalanya. Apa jangan-jangan kau sudah memata-matai saya sebelumnya?" Simpul Bumi sambil melihat Gilea bagaikan seorang tertuduh di persidangan.
Gilea menggigit bibir bawahnya. Tubuhnya menegang, tangan berkeringat mencengkeram ujung blus. Dia tidak tahu dari mana datang nya tuduhan tidak berasal itu. Tapi yang pasti, dia tidak seperti yang Bumi tuduhkan padanya.
"T-Tuan, saya benar-benar tidak tahu—"
"Cukup." Bumi memotong, suaranya seperti pisau yang menebas. "Aku tidak tertarik mendengar pembelaanmu.”
Kata-kata Bumi membuat Gilea menunduk lebih dalam. Dia sadar tidak ada gunanya juga ia membela diri. Bumi sudah terlebih dahulu menghakiminya.
Bumi merapikan jas hitamnya yang jatuh sempurna di tubuh tegapnya. Tangannya ia masukkan ke saku celana yang mana hal tersebut semakin mempertegas sikap angkuhnya. Sorot matanya terus mengintimidasi, seolah memvonis Gilea untuk setiap tuduhan yang dia berikan.
"Apa resign ini juga adalah bagian dari rencanamu?” Tuduhnya kemudian, membuat Gilea tersentak.
“Kalau benar, maka lupakan! Aku tidak akan membiarkan rencana mu berjalan seperti yang kau inginkan!” Bisiknya tiba-tiba, dingin tapi menusuk. “Kau tidak diizinkan untuk resign dari perusahan ini. Kau hanya bisa meninggalkan perusahan ini bila kau memecatmu!”
Gilea mengangkat wajah perlahan, pupil matanya membesar. Dia benar-benar tidak menyangka dengan keputusan Bumi. "M-Maaf, Tuan? Saya... tidak mengerti."
Bumi tertawa pendek, sinis. "Kau pikir kau itu pintar, huh? Kau bisa mengatur semuanya? Tidak, Gilea! Tidak! Aku- Nathan Aldian Bumi Wicaksono, yang akan mengatur alur permainan ini mulai dari sekarang. Jadi kau akan tetap di sini.”
"Tapi Tuan, sungguh, saya tidak—"
"Diam." Bumi mengangkat tangan, wajahnya seperti patung yang tak tergoyahkan. "Satu kata lagi kau membantah kata-kataku, maka aku akan membuatmu bekerja dari pagi hingga pagi di perusahan ini.”
Gilea tercekat. Dadanya sesak, tapi air matanya ditahan mati-matian. Dia benar-benar tidak tahu dari mana datangnya semua kebencian Bumi padanya. Apa hanya karena dia menggantikan kakak? Tapi dirinya sendiripun terpaksa! Semua tuduhan Bumi sungguh tidak berdasar.
Gilea terdiam. Mulutnya ingin bergerak, tapi tidak satu pun kata keluar. Dia ingin menahan air mata, tapi rasanya bola matanya mulai panas. Bertemu dengan Bumi di rumah saja, sudah seperti di dalam neraka rasanya. Apalagi harus bertemu Bumi di kantor? itu sama saja 18 jam dia harus bertemu dengan pria yang membencinya ini.
"Mulai dari hari ini, kau akan duduk tepat di luar ruangan ini, dekat denganku, di mana aku bisa melihat dengan jelas setiap rencana licikmu." tuding Bumi.
"Tuan, saya tidak pernah—"
"DIAM!" bentaknya, suaranya membentur dinding dan membuat Gilea tersentak. Berapa kali harus aku kataka, aku tidak peduli dengan penjelasanmu! Aku tidak butuh kata-kata itu!!!!" Tegas Bumi.
Bumi kembali ke kursinya, duduk dengan posisi menyandar seenaknya, kaki disilangkan, dan pandangannya dingin namun penuh intimidasi.
"Kau akan tetap menjadi sekretarisku, Gilea Wijaya. Dan jangan pernah berpikir bahwa pekerjaanmu di sini akan mudah. Dan ingat! Kau juga pelayanku di rumah. Kalau kau tidak sanggup maka sebaiknya kau mati saja!" Ucap Bumi tajam dan tidak berperasaan.
Setelah beberapa detik keheningan yang tegang, Gilea menarik napas panjang. Tubuhnya sedikit gemetar, tapi sekali lagi- tidak ada jalan untuk mundur atau kembali!
"Baik, Tuan. Saya akan melakukan apapun yang anda perintahkan pada saya." Ujar Gilea, pasrah. Dia benar-benar telah di jual oleh keluargnya sebagai budak ke pria dingin nan kejam ini.
Bumi mengangkat sebelah alis. Tatapannya mengamati gadis itu dari atas ke bawah.
Beberapa saat kemudian, Bumi mengambil dokumen dari meja, melemparkannya ke depan Gilea.
"Itu. Mulai besok, kau akan mengatur semua jadwal kerjaku, rapat, email, dan segala sampah administratif lainnya. Kalau ada yang salah, bahkan satu menit keterlambatan, aku akan buat kau membayarnya dengan harga yang mahal." lontar Bumi.
Gilea mengambil dokumen itu. Tangannya bergetar, tapi genggamannya kuat. "Saya mengerti, Tuan."
"Keluar dari ruanganku. Aku tidak tahan lama-lama melihat wanita murahan seperti mu. Mata ku bisa sakit!" sindir Bumi tajam.
Gilea menunduk hormat, lalu berjalan ke pintu. Tangannya membuka kunci, dan sebelum ia keluar, Bumi menambahkan kalimat terakhirnya dengan tajam.
"Oh ya... Jangan pernah mengungkap status mu di perusahan ini! Apalagi pada Damian! Tanam baik-baik kata-kataku ini di dalam kepalamu! "Peringat Bumi, lagi-lagi dengan nada dingin- tidak peduli.
Gilea keluar tanpa membalas. Tapi di balik langkah tenangnya, dadanya bergemuruh hebat. Namun seperti yang Bumi katakan, ia harus menutup rapat mulutnya. Sehingga dengan sekuat tenaga, Gilea berusaha terlihat baik-baik saja.
Di luar ruangan, Damian sudah berdiri menunggu. Wajahnya menyiratkan tanya dan harapan.
"Hei, bagaimana" katanya pelan, "kau tidak jadi mengundurkan diri, bukan?" tanya penuh harap.
Gilea tersenyum tipis, pahit. "ini." jawab Gilea sambil mengangkat map yang Bumi serahkan padanya.
Damian tersenyum lega. "Syukurlah! Terima kasih." ucapnya keceplosan.
"Terima kasih?" Tanya Gilea heran. Jelas-jelas dia mendapatkan pekerjaan, kenapa malah Damian yang mengucapkan terima kasih padanya.
"Untuk apa?" Tanya Gilea lagi karena penasaran.
"Karena tidak jadi resign." Jawab Damian dengan entengnya.
Gilea semakin heran dengan respon di luar BMKG yang Damian berikan. Tapi ya sudahlah. Dia tidak ingin bertanya lebih lanjut. Selain karena saat ini yang terpenting adalah jangan memancing emosi Bumi, di belakang Damian berdiri sosok Joanna yang melihatnya dengan tatapan tidak suka. Gilea tidak ingin menambah list masalah dalam hidupnya. Paling tidak, tidak untuk hari ini.
“Kak Damian, apa masih lama? Aku lapaar.” Rengek Joanna, bergayut manja di tangan Damian.
Damian yang terlihat sangat enggan, hanya bisa memutar bola matanya pasrah.
Seketika Bumi teringat akan perkataan Gilea pagi ini.“Kemarin lusa aku baru saja menandatangi kontrak kerja. Dan aku ingin ke perusahaan itu untuk mengundurkan diri baik-baik. Aku tidak bisa membuat mereka menungguku sedangkan aku tidak akan pernah kembali ke sana lagi. Paling tidak berikan aku kesempatan untuk mengundurkan diri dengan benar.”“Itulah mengapa aku memberanikan diri untuk meminta izin keluar hari ini."Kata-kata Gilea terngiang di kepala Bumi. Bagaimana bisa semua sekebetulan seperti ini? Bumi kembali menatap Gilea. Sedangkan Gilea? Dia yang akhirnya tahu bahwa direktur yang diceritakan oleh Damian tadi adalah Bumi- hanya bisa menunduk penuh rasa cemas."Tuan Bee, ini dia, sekretaris barumu yang aku ceritakan tadi. Dan sebagai informasi, dia ingin mengundurkan diri. Mungkin kau bisa membuat berubah pikiran makanya aku bawa dia kemari." ujar Damian sambil menyeringai kecil, lalu menoleh ke arah wanita di sampingnya.“Kakak, dia-“ Seru Joanna terputus sebab Bumi langsu
"Dee!"Suara Bumi menggelegar di seberang telepon, menusuk gendang telinga sebelum Damian sempat mengucap sepatah kata pun. "Kau pikir ini lelucon?" Sambitnya, getir. "Dua belas panggilan dalam dua jam—baru sekarang kau menjawab?!"Nada getirnya menghantam tanpa peringatan. Damian sampai menggeser ponselnya sedikit dari telinga, seolah hal tersebut bisa meredam kemarahan bumi yang memancar dari seberang.Dengusan nafas kesal Bumi masih terdengar sejenak, hingga sejurus kemudian, suaranya kembali ke mode awal- dingin dan terkendali."Kalau kau sudah bosan jadi wakilku, katakan sekarang. Aku bisa menggantimu dengan orang lain—misalnya, salah satu dari mereka yang nganggur tapi setidaknya bersedia mengangkat telepon."Seperti biasa, sindirannya meluncur tajam tanpa intonasi. Benar-benar mencerminkan bos yang berhati dingin.Sementara itu, Damian yang sudah terbiasa dengan Bumi hanya bisa menahan desisan nafasnya sambil dalam hati berkata, “dia ini sedikit-sedikit menggertak! Andaikan di
Gilea berjalan cepat menyusuri koridor lantai delapan, tempat ruang HRD berada. Detak jantungnya masih belum stabil sepenuhnya sejak insiden kecil dengan pria bernama Damian tadi. Pergelangannya tangannya juga terasa nyeri kini.Gilea memeriksa pergelangan tangannya dan tersentak kaget ketika melihat pergelangan tangannya sedikit bengkak dan agak biru. Tapi Gilea tidak bisa terlalu memperdulikan sakit di tangannya, karena hal yang paling mendesak sekarang adalah menyelesaikan urusannya di perusahaan ini, lalu pergi pulang untuk menjadi babu di rumah Bumi!Dengan mantap, Gilea menggenggam map yang berisi salinan kontrak yang tak pernah ia baca itu serta surat pengunduran diri yang telah ia tulis semalam, lengkap dengan tanda tangan.Baru saja Gilea hendak masuk ke ruang HRD, seseorang memanggilnya dari belakang.“Hey! Kamu lagi!”Gilea menoleh pelan. Matanya menangkap sosok Damian yang berdiri tak jauh darinya, masih mengenakan setelan kerja yang terlihat mahal dan rapi. Tatapan matanya
Pagi itu, Bumi sedang duduk di ruang makan ketika Gilea keluar dari kamar. Pria itu tampak santai dengan secangkir kopi di tangannya, sementara ponsel tergeletak di meja.“Hanya ada Bumi.” Batin Gilea, karena di saat itu dia tidak melihat Joanna di mana pun. “Apa Joana sudah pergi? Atau jangan-jangan dia tidak tinggal di sini?” Tanya Gilea membatin, hanya bisa menebak kemungkinan yang ada.Gilea menarik napas dalam-dalam, mencoba mengumpulkan keberanian sebelum mendekat ke arah Bumi.Gilea tahu dan pastinya masih ingat bahwa Bumi telah menyebutkan dengan jelas tentang kedudukannya di rumah tersebut. Sungguh, Gilea pun tidak tertarik menjadi nyonya di rumah pria sombong-kasar-arogan-bermulut sampah seperti Bumi.Satu-satunya alasan Gilea berjalan mendekat ke arah Bumi adalah karena Gilea ingin meminta izin meninggalkan rumah itu sebentar karena dia harus membatalkan kontrak kerjanya yang baru saja dia terima.Ya! Gilea baru saja diterima kerja di sebuah perusahan besar. Hanya saja Gilea
Mata Gilea masih belum teralihkan dari Bumi yang saat ini sedang mengenakan kemeja hitam yang digulung hingga siku dengan rambut yang sedikit berantakan.Tatapan dingin dan penuh kemarahan yang tadi Bumi arahkan pada Gilea seketika berubah saat wanita antah berantah itu meraih tangan Bumi.Bumi menoleh ke samping. Wajahnya seketika melunak dan bahkan tampak sedikit hangat.“Joanna? Kapan kau datang? Kenapa tidak menghubungi kakak? Aku pasti akan menjemputmu,” sapa Bumi dengan nada lembut, sangat kontras dengan cara bicaranya pada Gilea.“Joanna?” gumam Gilea, membatin, matanya bergantian menatap Bumi dan wanita bernama Joanna itu.Joanna tersenyum lemah sambil merapat ke sisi Bumi. “Aku tidak ingin merepotkan, Kak. Ini hari pernikahanmu... Aku tidak mau mengganggu waktumu dengan... istrimu.” Ucapannya terdengar penuh pertimbangan, namun gerak tubuhnya—yang menggenggam lengan Bumi erat—berbanding terbalik dengan nada rendah hatinya.Bumi meletakkan tangannya di atas tangan Joanna. “Kau
Selayaknya pengantin baru, Gilea pun diboyong ke kediaman Bumi. Sepanjang perjalanan menuju rumah Bumi, tidak ada percakapan di antara mereka. Gilea yang masih terguncang enggan membuka pembicaraan, terlebih Bumi juga rasa-rasanya tidak ingin Gilea berbicara sedikit pun.Begitu sampai di rumah Bumi, pria itu segera turun dari mobil dan meninggalkan Gilea begitu saja. Gilea terdiam sejenak sebelum mengikuti langkah Bumi. Begitu masuk, Bumi sudah menunggu di samping pintu.Ia menatap tajam Gilea. Lalu..BAAM!Pintu besar itu ditutup dengan keras, suara gemanya memenuhi ruangan mewah yang luas.Gilea tidak tahu harus berbuat apa. Kakinya seolah terpaku ke lantai, membuatnya hanya bisa berdiri di depan Bumi yang sedang melepas dasi dengan gerakan kasar.Gilea tidak buta. Dia bisa melihat wajah tampan Bumi masih dipenuhi kemurkaan. Dan itu membuat tatapan Bumi semakin tajam seolah siap untuk menelannya kapan saja.“Dengar baik-baik, Gilea. Aku hanya akan mengatakan ini sekali,” kata Bumi de