"Dee!"
Suara Bumi menggelegar di seberang telepon, menusuk gendang telinga sebelum Damian sempat mengucap sepatah kata pun. "Kau pikir ini lelucon?" Sambitnya, kesal. "Dua belas panggilan dalam dua jam—baru sekarang kau menjawab?!"
Nada getirnya menghantam tanpa peringatan. Damian sampai menggeser ponselnya sedikit dari telinga, seolah hal tersebut bisa meredam kemarahan bumi yang memancar dari seberang.
Dengusan nafas kesal Bumi masih terdengar sejenak, hingga sejurus kemudian, suaranya kembali ke mode awal- dingin dan terkendali.
"Kalau kau sudah bosan jadi wakilku, katakan sekarang. Aku bisa menggantimu dengan orang lain—Orang yang cukup bersedia untuk segera mengangkat telepon."
Seperti biasa, sindirannya meluncur tajam tanpa intonasi. Benar-benar mencerminkan bos yang berhati dingin.
Sementara itu, Damian yang sudah terbiasa dengan Bumi hanya bisa menahan desisan nafasnya sambil dalam hati berkata, “dia ini sedikit-sedikit menggertak! Andaikan dia tahu jika aku sedang membujuk sekretaris barunya agar tidak resign! Aku yakin dia tidak akan mengomel tidak jelas seperti tadi. ”
“Mr. Presdir yang terhormat.” Ucap Damian dengan sedikit sarkas, "sebelum anda mempertimbangkan tentang pemecatanku, mungkin lebih baik anda pertimbangkan tentang kenaikan untuk ku. Sebab saat ini, aku sedang bernegosiasi dengan calon sekretaris baru anda agar dia membatalkan rencana resignnya."
Damian sengaja berhenti sejenak guna memastikan setiap kata yang baru saja keluar dari mulutnya tertanam dalam di otak Bumi. Karena selain sombong dan pemarah- Bumi adalah pria yang sangat keras kepala.
"Atau... Anda lebih suka Ms Carlotta, mata-mata kesayangan nenek Anda, yang mengisi posisi itu?"Lanjut Damian pelan sambil menyeringai kecil. .
“Kalau dia memang tidak bersedia bekerja di sini, aku tinggal mencari orang lain. Ada banyak orang yang menginginkan posisi itu.”Ujar Bumi tak acuh, seolah mencari sekretaris untuknya adalah hal yang mudah.
“Memang benar ada banyak orang yang menginginkan posisi itu, tapi sayang tidak ada satu pun dari mereka yang tahan dengan sikapmu.” Reflek kata-kata itu keluar dari mulut Damian, entah itu dia sengaja atau tidak, yang pasti kalimat itu telah didengar oleh telinga Bumi.
“Apa kata mu? Sepertinya kau memang sudah bosan bekerja sebagai wakil ku, Dee!” sentak Bumi, kembali dengan gertakan.
"Setiap harinya aku menghitung, setidaknya kau akan mengancamku dengan hal yang sama sebanyak lima puluh tiga kali. Dan ini masih dua kali. Itu artinya masih ada lima puluh satu kali lagi. Bee, aku sudah kebal dengan gertakan mu itu. Jadi mari kita ke permasalahan semula.” Seru Damian menyeringai.
“Aku minta kau bisa menempatkan dirimu sebagai orang yang membutuhkan wanita saat ini. Karena mencari seorang sekretaris dengan kualifikasi sebaik dia, sangat sulit. Lagi pula ini adalah keperluan mendesak. Kita tidak mungkin melakukan seleksi lagi. Jadi tolong berikan aku sedikit waktu, untuk membuatnya berubah pikiran. Dalam lima menit aku akan sampai ke ruanganmu dengannya. Sampai jumpa lima menit lagi!" Sambung Damian yang kemudian langsung mengakhiri panggilan telpon itu begitu saja.
"Sial si Damian! Dia main matikan saja! Yang bos di sini itu aku atau dia sih?" Umpat Bumi kesal.
“Ada apa kak? Kenapa kau marah-marah? Apa kak Damian tidak bersedia kemari? Padahal aku datang jauh-jauh dari Sydney untuk menemuinya.” Ujar Joanna sambil memasang wajah sedih. Bumi yang tidak pernah tega melihat kesedihan di wajah Joanna, akhirnya melempar jauh semua rasa kesalnya demi menghibur sang adik. Bagi Bumi, Joanna tidak hanya sekedar adik sepupu, melainkan support system satu-satunya yang Bumi miliki disaat semua orang tidak mempercayainya untuk sebuah kejadian di masa lalu.
“Kau tidak perlu memasang wajah sedih seperti itu. Damian akan kemari lima menit lagi. Kau duduklah dulu. Aku akan minta Lidya membuatkan jus semangka kesukaan mu.” Ucap Bumi, sambil merapikan kembali jasnya.
“Baiklah, terima kasih kak.” Ungkap Joanna ceria. Kedatangannya ke perusahan Bumi hari itu memang hanya untuk bertemu Damian. Sahabat Bumi yang sekaligus wakil Bumi di perusahan milik Bumi.
Joanna memang sudah lama menyukai Damian. Tapi pria itu, sama sekali tidak membalas perasaan Joanna. Bahkan Damian cendrung malas untuk bertemu dengan Joanna.
***
Lima menit yang dijanjikan oleh Damian sungguh terasa bagaikan lima menit yang sangat panjang. Bahkan setelah Bumi membolak balik beberapa berkas, Damian tak kunjung tiba di ruangannya
Kepala Bumi dibuat semakin pusing. Belum lagi karena tumpukan kertas-kertas di atas mejanya, ditambah dengan muka cemberut Joanna yang setiap tiga puluh detik melihat ke arah pintu- menanti Damian muncul dari sana.
Bumi menghela napas berat. Kesabarannya habis. Ia segera mengambil handphonenya untuk menelpon Damian.
Namun belum sempat panggilan itu tersambung, suara ketukan pintu pun terdengar.
Tok.. Tok..
"Masuk." Ujar Bumi yang sepertinya sudah tahu siapa yang akan datang. Lelaki itu kembali menaruh handphonenya di meja.
Pintu terbuka perlahan, dan Damian muncul lebih dulu dengan wajah tenangnya yang khas, disambut senyum merekah dari Joanna yang bahagia melihat pria pujaan hatinya akhirnya muncul.
Namun, kali ini bukan senyuman bahagia Joanna yang menarik perhatian Bumi melainkan sosok perempuan berbalut blouse putih sederhana dan rok hitam selutut yang berdiri tegak di belakang Damian.
“Wanita itu!” Seru Bumi dalam hati dengan perhatian yang tak berpaling sedikit pun. Ia menatap lama sosok wanita itu yang kini juga menatapnya dengan tatapan tegang.
“Tunggu! Jangan katakan kalau dia- “
Kegelapan dan keheningan yang tiba-tiba memaksa semua orang untuk mengemas barang dan pulang lebih awal. Suasana chaos itu memberikan kesempatan sempurna bagi Gilea. Hatinya masih berdebar kencang, dipenuhi oleh rasa penasaran yang membara dan sedikit ketakutan. Dia tidak langsung menuju basement. Kaki-kakinya membawanya melesat menuju lift executive, jarinya menekan tombol lantai paling atas dengan tekad bulat.Dia menemukan Bumi masih di ruang kerjanya. Cahaya dari meja kerjanya menerangi profile tegasnya, menyoroti ketegangan di pundaknya yang biasanya begitu tegak. Dia sedang menatap layar komputernya, tapi tatapannya kosong, seolah pikirannya berada sangat jauh."Bee," sapa Gilea, suaranya sedikit gemetar, memecah kesunyian.Bumi menoleh. Wajahnya yang tegang sedikit melunak melihatnya, tapi matanya masih menyimpan sisa-sisa kegelapan yang baru saja dia hadapi. "Kau sudah seharusnya pulang, Sayang," ujarnya, suaranya lembut namun berisi perintah yang tidak terbantahkan."Apa yang
Semua berjalan seperti biasanya di keesokan harinya. Saat Gilea akan pulang, .Klik. Klak. Klik.Suara heels Gilea berdetak tak beraturan di atas karpet tebal, sebuah irama nervous yang memecah kesunyian ruang kerjanya yang nyaris kosong. Senja mulai merayap, melukis dinding dengan warna jingga dan ungu yang seharusnya menenangkan, tapi hari ini hanya terasa seperti pertanda akan datangnya kegelapan.Lalu, sebuah suara mengiris keheningan itu. Ding.Sebuah email.Subjeknya menyala seperti neon sign di kegelapan: "URGENT: Revisi Anggaran Final - Perubahan Parameter Vendor".Kata "URGENT" itu terasa seperti pukulan ke ulu hatinya. Jantung yang baru saja tenang langsung berdebar kencang, memompa adrenalin yang membuat ujung jarinya terasa dingin.Dia membukanya. Setiap kata dalam email itu terasa seperti jarum es, menusuk-nusuk kelegaan yang baru saja dia rasakan. Itu datang dari Procurement. Tersalin untuk Natasha. Semuanya terlihat sah, sempurna. Tidak mungkin ini sebuah perangkap. Kar
Ruangan Natasha adalah sebuah benteng. Dindingnya yang kedap suara menelan setiap getaran suara, dan tirai-tirai tebal menutupi jendela, menyembunyikan aktivitas di dalamnya dari dunia luar. Di dalamnya, udara terasa pengap, berbau parfum mahal yang bercampur dengan aroma kopi pahit dan ambisi yang tak terucapkan."Jadi, bagaimana permainan kita berjalan?" Natasha tidak perlu menyebut nama. Suaranya rendah, halus seperti sutra yang diiris, ditujukan kepada sosok yang duduk di hadapannya—seseorang dengan wajah yang sengaja dibuat biasa, mudah terlupakan di antara kerumunan karyawan."Tidak begitu baik, nona," jawab orang itu, jari-jarinya tak henti memutar-mutar gelas kertas di tangannya. "Rani mulai kehilangan duri. Dan ada juga orang yang tadinya suka pada si ratu, kini mulai mendengarkan karena merasa diberikan apresiasi olehnya. Tapi proyek itu sendiri... sebenarnya macet di sana-sini. Prosedur procurement sengaja aku perpanjang, persetujuan sengaja aku buat sulit dengan jalan yang
Ketenangan yang menyelimuti mereka terasa seperti sebuah dunia baru. Di bawah selimut lembut, dengan tubuh masih terjerat, Gilea merasakan sebuah kelegaan dan kekuatan yang belum pernah dia rasakan sejak memimpin tim baru itu. Bumi membelai punggungnya dengan gerakan lambat dan menenangkan.“Aku tadi melihat semuanya,” bisik Bumi akhirnya, memecahkan keheningan yang nyaman. “Apa yang kau lakukan tadi sungguh mengesankan. Kau luar biasa.”Gilea mendekatkan kepalanya ke dada Bumi, mendengarkan detak jantungnya yang masih berdebar pelan. “Aku tidak bisa membiarkannya. Aku tahu bagaimana rasanya.”"Mungkin ingatan ku saat bersamamu telah hilang, tapi semua ingatan saat aku masih tinggal bersama keluarga ayahku, aku masih ingat semuanya. Hm,- kecuali ingatan saat aku usia enam atau tujuh tahun. Aku mengalami sebuah kecelakaan. Kata ibu tiriku, ginjal ku rusak akibat kecelakaan itu dan kak Maria memberikan ginjalnya untukku. Sejak itu aku selalu dibayangi oleh rasa beban 1 ginjal yang diber
Dunia menyempit hingga hanya ada ruang yang mereka bagi di atas sofa kulit yang lembut itu. Desahan dan napas yang berat adalah satu-satunya suara yang mengisi keheningan rumah kaca, diselingi gemerisik daun yang seolah berbisik menikmati pemandangan mesra ini.Bumi menahannya, tubuhnya menindih dengan sempurna namun tidak menindas. Seluruh beratnya ditopang oleh lengan dan lututnya, memberikan Gilea ruang untuk bernapas, untuk merasakan. Dia adalah sebuah kuil dan Bumi adalah penyembahnya yang paling setia."Aku mencintaimu," bisiknya lagi, seolah kata-kata pertama tadi belum cukup. Kali ini, diucapkan dengan keyakinan penuh, sebuah fakta yang tak terbantahkan yang menggema di antara mereka.Bibir mereka bertemu kembali, tetapi ini bukan lagi tentang nafsu yang membara. Ini tentang pengakuan. Setiap sentuhan lidah adalah sebuah sumpah, setiap hisapan lembut pada bibir bawah adalah sebuah janji. Bumi mencintainya, dan dia menunjukkan itu dengan setiap fiber keberadaannya.Tangannya, y
Gilea berdiri sendirian di koridor yang sepi, masih merasakan debaran jantungnya yang kencang usai membela Rani. Kelegaan dan kekuatan baru itu bercampur dengan sisa-sisa emosi yang belum sepenuhnya mereda. Dia butuh satu menit untuk sendiri, menarik napas dalam-dalam sebelum kembali menghadapi kenyataan ruang kerjanya yang penuh tekanan halus.Dia berjalan menuju pantry untuk mengambil air, pikirannya masih diselimuti oleh kejadian tadi. Saat sedang asyik terbenam dalam pikirannya, tiba-tiba sepasang lengan kuat menyergapnya dari belakang, menariknya dengan lembut namun pasti ke sebuah relung tersembunyi di antara rak arsip.Gilea nyaris berteriak, jantungnya nyaris melompat keluar dari dadanya. Namun, sebelum panic-nya memuncak, sebuah aroma familiar menyergap indranya—wangian kayu yang hangat dan maskulin, campuran parfum mahal dan esensi yang sangat melekat pada satu orang saja."Bee," desisnya, tubuhnya yang sempat tegang langsung melemas, bersandar pada dada di belakangnya. "Kau