تسجيل الدخولPagi itu, Bumi sedang duduk di ruang makan ketika Gilea keluar dari kamar. Pria itu tampak santai dengan secangkir kopi di tangannya, sementara ponsel tergeletak di meja.
“Hanya ada Bumi.” Batin Gilea, karena di saat itu dia tidak melihat Joanna di mana pun. “Apa Joana sudah pergi? Atau jangan-jangan dia tidak tinggal di sini?” Tanya Gilea membatin, hanya bisa menebak kemungkinan yang ada.
Gilea menarik napas dalam-dalam, mencoba mengumpulkan keberanian sebelum mendekat ke arah Bumi.
Gilea tahu dan pastinya masih ingat bahwa Bumi telah menyebutkan dengan jelas tentang kedudukannya di rumah tersebut. Sungguh, Gilea pun tidak tertarik menjadi nyonya di rumah pria sombong-kasar-arogan-bermulut sampah seperti Bumi.
Satu-satunya alasan Gilea berjalan mendekat ke arah Bumi adalah karena Gilea ingin meminta izin meninggalkan rumah itu sebentar karena dia harus membatalkan kontrak kerjanya yang baru saja dia terima.
Ya! Gilea baru saja diterima kerja di sebuah perusahan besar. Hanya saja Gilea kan tidak tahu jika sesaat setelah dia menandatangi kontrak kerja di perusahan tersebut, dia akan menikah dengan Bumi dan harus menjadi pelayan di rumah Bumi.
Jadi sesuai dengan prinsipnya, datang baik-baik maka keluar pun harus baik-baik. Maka Gilea berniat untuk mengundurkan diri baik-baik dari perusahan itu. Itulah mengapa Gilea ingin izin pada Bumi untuk keluar sebentar.
Sesampainya di dekat Bumi, Gilea terdiam sejenak. Ia menelan ludah, berusaha membuat terongkongannya basah terlebih dahulu sebelum bicara pada Bumi.
Jujur saja, saat ini Gilea merasa kerongkongannya sangat kering. Namun belum sempat Gilea mengkondisikan dirinya untuk bicara, Bumi dengan lirikan mata datarnya melihat ke arah Gilea, seolah tahu kalau Gilea akan mengganggu sarapan paginya yang tenang.
“Kau itu pelayan, tapi bisa-bisanya kau baru menampakkan mukamu jam segini,” tanya Bumi tajam dan dingin pada Gilea, “apa kau tidak ingat posisimu di rumah ini, huh?”
Gilea menggenggam tangannya erat, berusaha menenangkan detak jantungnya yang berdebar kencang. Setelah semua berhasil stabil di dalam sana, Gilea kemudian menjawab pertanyaan Bumi-gugup. “T-tentu saja aku ingat, tuan. Hanya saja, sebenarnya, hmm a-aku ingin meminta izin untuk pergi keluar sebentar,” ujar Gilea dengan suara pelan, hampir seperti bisikan.
Bumi mengangkat alis, tampak sedikit terkejut. Mungkin dia tidak menyangka Gilea akan berani untuk minta izin keluar padanya.
“Keluar? Apa kau berniat kabur dariku?” Tanya Bumi tanpa memberikan jawaban atas pertanyaan Gilea.
“Tentu saja tidak. Aku sama sekali tidak ada berniat untuk kabur. Lagi pula tidak ada tempat yang bisa aku tuju meskipun aku kabur dari sini.” Jawab Gilea, yang terenyuh dengan jawabannya sendiri. Karena semua itu memang benar adanya.
Memangnya mau kabur kemana dia? Kabur ke rumahnya? Keluarganya saja sudah tidak peduli dengan nasibnya sebelum pernikahan!
“Kemarin lusa aku baru saja menandatangi kontrak kerja. Dan aku ingin ke perusahaan itu untuk mengundurkan diri baik-baik. Aku tidak bisa membuat mereka menungguku sedangkan aku tidak akan pernah kembali ke sana lagi. Paling tidak berikan aku kesempatan untuk mengundurkan diri dengan benar.” jelas Gilea akhirnya. Suaranya bergetar, tetapi ia tetap mencoba terlihat tenang.
“Itulah mengapa aku memberanikan diri untuk meminta izin keluar hari ini.” terang Gilea, berusaha tetap tenang di depan Bumi.
Bumi tertawa kecil, nadanya penuh penghinaan. “Mengundurkan diri dengan baik? Kau sungguh ingin aku percaya akan hal itu?” tanyanya penuh ejekan.
Gilea menggigit bibir, berusaha mempertahankan ketenangan yang ia miliki. “Kau boleh saja tidak percaya padaku. Tapi yang pasti aku sudah mengatakan semuanya dengan jujur padamu. Aku berjanji akan segera kembali setelah urusanku selesai,” kata Gilea, meskipun suaranya semakin terdengar lemah.
Bumi menatap Gilea selama beberapa detik lalu menghela napas seolah-olah ia bosan. “Terserah. Lakukan apa pun yang kau mau. "Jangan berani kabur, atau investasiku di Wijaya kucabut—kau cuma barang ganti kakakmu yang dijual, jadi patuhlah seperti hamba!"Peringat Bumi penuh penghinaan.
Gilea menundukkan kepala sambil mengangguk pelan. Setelah itu, ia berbalik dan meninggalkan ruang makan.
Dalam pikiran Gilea, setidaknya Bumi memberikannya izin untuk keluar. Itu saja sudah cukup untuk memberinya sedikit rasa senang.
***
Pagi itu, langit begitu cerah dengan awan putih yang mengapung lambat. Udara pagi yang segar menyentuh kulit Gilea ketika ia melangkah keluar dari rumah, memberikan sedikit energi untuk tubuhnya yang lelah.
Langkah Gilea cepat, namun setiap langkah terasa berat. Seperti ada beban tak kasat mata yang menekan pundaknya, mengingatkan bahwa ini mungkin adalah kali terakhir dia bisa keluar dari rumah itu.
Sungguh! Andaikan dia bisa kabur, pasti dia akan kabur! Tapi mau kabur pun percuma, keluarganya tidak menerimanya bahkan akan marah besar padanya, terlebih lagi ia merasa inilah cara untuk balas budi pada keluarga yang telah membesarkannya.
Dengan susah payah Gilea menepis semua pikiran dan ide-ide gila di dalam kepalanya. Lalu menggantinya dengan hal-hal lain yang lebih realitis dan masuk akal untuk dilakukan. Misalnya bekerja sebagai pelayan dengan benar di rumah Bumi sehingga meminimalisir pertengkaran yang tidak perlu antara dirinya dan bumi ataupun Joanna. Gilea rasa hidup seperti itu pasti lebih tenang.
Sesampainya di perusahaan yang Gilea tuju, perasaan Gilea tiba-tiba berubah mendung. Seketika saja berat rasanya melepaskan pekerjaan ini. Padahal, dia sudah bersusah payah untuk bisa mendapatkan pekerjaan ini tapi harus Gilea lepaskan demi menjadi pelayan di rumah Bumi. Sungguh sebuah ketidak adilan yang diturunkan dari Syurga!
Gilea mengepalkan tangannya untuk memantapkan dirinya sebelum melangkah masuk Tapi baru saja Gilea akan mendaratkan kakinya, seorang pria menabraknya hingga jatuh ke lantai.
“Maafkan aku, nona. Apa kau baik-baik saja?” tanya pria tersebut yang seketika itu juga langsung mengulurkan tangannya pada Gilea yang terduduk kesakitan di lantai.
“Aku Damian. Mari aku bantu.” Lanjut Damian, menanti Gilea meraih uluran tangannya.
Tapi entah karena kesakitan atau apa, Gilea hanya merintih kesakitan.
“Aku baik-baik saja.” Jawab Gilea tanpa meraih uluran tangan Damian. Ia bangkit perlahan sambil memegang pergelangan tangannya yang sepertinya sedikit terkilir akibat pendaratan tanpa aba-aba tersebut. Ia kemudian melangkah pergi tanpa memedulikan Damian yang masih berdiri diam.
Gilea bukannya bermaksud tidak sopan, tapi saat ini dia sedang terburu-buru. Tidak ada waktu untuk berlama-lama dengan orang asing yang tidak dia kenal. Bisa-bisa Bumi murka kalau dia berlama-lama di luar rumah.
“Apa dia barus aja mengabaikanku?” tanya Damian sambil melihat telapak tangannya yang hanya digenggam erat oleh angin yang berlalu lalang.
Damian kemudian mengalihkan pandangannya pada Gilea yang kini sudah berada di depan lift.
“Siapa dia? Rasanya aku belum pernah melihatnya di sini?” Gumam Damian masih menatap Gilea hingga pintu lift tertutup.
Saat pikirannya terbawa oleh lift yang membawa Gilea ke lantai atas, sebuah tepukan di bahunya menarik paksa pikirannya keluar dari lift.
“Aku kira kau tidak masuk hari ini.” tegur seorang pria dengan nada datar.
Damian segera membalikkan badan dan tersenyum cerah, “Hey, Bee!! Sorry kemarin aku tidak datang. Pesawatku landingnya dini hari.” Balas Damian menyapa hangat pria di belakangnya yang ternyata adalah Bumi.
Bumi memutar bola matanya malas. “Sepertinya jetleg membuatmu lupa kalau aku tidak pernah menganggap pernikahan itu ada. Jadi apa kita bisa merubah topik kita pagi ini ke wanita-wanita Jerman yang kau temui selama perjalanan dinas mu?” Ujar Bumi sambil berjalan mendahului Damian.
Damian terkekeh kemudian buru-buru mengikuti Bumi. “Kalau bos sudah memerintahkan, memangnya bawahan yang hina ini bisa mengatakan apa? Aku siap mengganti topik apa pun yang kau inginkan.” Jawab Damian sambil tertawa ringan, berjalan bersama Bumi menuju lift khusus presdir dan wakil presdir perusahaan Skyline Corporation.
Kota Osaka terasa seperti sedang menahan napas ketika malam semakin menebal. Lampu lampu dari jalanan memantul ke dinding hotel seperti serpihan cahaya yang ingin masuk namun tertahan kaca tebal. Di kamar penthouse, Bumi duduk di depan deretan layar yang menampilkan setiap sudut aktivitas Elena.Ia tidak bergerak.Tidak berkedip.Tatapannya tetap.Sampai akhirnya ia berkata pelan kepada Max yang berdiri di sampingnya.“Max, aku ingin tahu siapa dua bocah itu.”Max menunggu penjelasan.“Mereka memanggil Elena dengan sebutan mommy. Mereka tidak disebutkan dalam kontrak. Dan usia mereka… cocok dengan waktu terakhir aku bersama Gilea.”Max menarik napas pelan. “Baik, Tuan. Apa yang perlu saya lakukan?”“Aku ingin kau cari tahu dari mana mereka datang. Siapa nama lengkap mereka. Catat tanggal lahirnya. Dan… dapatkan sampel DNA. Lakukan tanpa membuat mereka sadar.”Max sedikit mundur karena terkejut. Bukan karena perintah itu sulit, tetapi karena ia tahu apa arti kalimat berikutnya.Bumi me
Osaka pagi itu terasa seperti kota yang ingin memeluk dan menelan di saat yang sama. Udara dingin menempel di kulit Elena saat ia dan Daniel berjalan menuju ruang mural. Gedung pameran itu tinggi dan putih, seperti kanvas raksasa yang menunggu disakiti dan disembuhkan oleh warna cat.Daniel membuka pintu studio sambil berkata pelan, “Hari ini kamu hanya bertemu kurator jam empat. Setelah itu ruangan kosong.”“Bagus,” balas Elena sambil mengatur meja catnya. “Aku butuh cahaya sore untuk bagian tengah.”Daniel tersenyum kecil. “Kalau butuh apa apa, panggil aku. Aku tidak akan jauh.”Saat Daniel keluar, ruang itu kembali sunyi. Elena naik tangga kecil yang disediakan panitia, mengusap permukaan dinding yang masih polos. “Baiklah,” gumamnya. “Mari kita mulai.”Ia tidak tahu bahwa di sudut atas ruangan, sebuah kamera kecil tak lebih besar dari kancing baru saja menangkap gambar pertamanya. Lensa itu tidak berkelip. Tidak bersuara. Hanya menatap.Dan di kamar hotel yang Elena percaya masih
Hari hari setelah kontrak ditandatangani berjalan tanpa dentuman besar. Tidak ada kunjungan mendadak, tidak ada pengawasan di sudut lorong, atau tidak ada kehadiran yang mengintai dari kejauhan seperti yang Elena takutkan. Hanya email, panggilan singkat, dan jadwal yang disampaikan melalui Max kemudian diteruskan oleh Daniel.Seolah Bumi benar benar menghormati syarat yang telah Elena tetapkan.Atau jangan-jangan, ia hanya sedang menunggu waktu yang tepat.Tidak ada yang tahu pasti. Tapi yang pasti, selama beberapa minggu itu, Elena kembali bekerja dengan ritme yang teratur. Studio, cat, kanvas dan anak anak adalah lingkaran kecilnya. Ia tidak pernah merasa aman sepenuhnya namun paling tidak, saat ini cukup tenang dan memberikan masa untuknya menghela napas dengan tidak tergesa.Daniel sering terlihat berdiri di balkon pada malam hari, merokok pelan sambil mengawasi pintu masuk hotel dari jauh. Ia tidak pernah berkata ia was was. Tetapi Elena tahu. Mereka sama sama tidak bisa benar be
Elena memejamkan mata sejenak. Kertas kontrak terhampar di hadapannya.Ia menatapnya lama, lebih lama daripada yang ingin ia akui.Setelah itu ia berdiri, berjalan ke balkon perlahan. Udara dingin masuk, menusuk kulit namun entah mengapa malah membawa sedikit ketenangan.Daniel menyusulnya, berhenti satu langkah tepat di belakang. Mereka berdua memandang kota yang masih sibuk di bawah sana.“Kau yakin?” suara Daniel nyaris berbisik.Elena mengangguk pelan. Bukan jawaban pasti, hanya tanda bahwa ia sedang mencoba tegar.“Kalau aku kabur lagi,” katanya, menatap jauh ke lampu-lampu kota, “kita tidak akan pernah sampai ke tempat yang aman.”Daniel diam. Wajahnya menegang, bukan karena tidak setuju, tapi karena ia paham lebih dalam dari siapapun.Elena kembali menatap anak-anaknya yang masih tidur. Luca menarik selimut hingga pipinya tertutup sebagian. Sofia memeluk bonekanya erat, seolah dunia benar-benar sesederhana tidur dan bangun lagi.Hati Elena terasa seperti kain yang diremas kasar
Untuk waktu yang terasa seperti berabad-abad, Elena tetap berdiri mematung. Ruangan VIP tiba-tiba tampak terlalu sempit, terlalu padat oleh bayangan seseorang yang bahkan setelah pergi pun tetap memenuhi udara — seolah dinding masih memantulkan suaranya, lantai masih menyimpan jejak langkahnya, dan udara masih mengingat napasnya.Bumi sudah tidak berada di dalam ruangan, tapi kehadiran seolah tidak pernah pergi.Ia meremas ujung meja hingga jarinya memutih. Napasnya naik turun cepat—bukan panik, tapi keterpurukan yang terjaga. Setelah apa yang dia lewati, dia tahu bahwa dirinya bukan wanita yang mudah runtuh. Tapi hari ini… hari ini ia harus berdiri di atas bumi yang terasa kembali retak.Dengan langkah perlahan namun mantap, ia menunduk mengambil map hitam itu. Jari jemarinya menyentuh permukaan kulit sintetis yang dingin, namun rasanya seperti menyentuh bara.Ini bukan kontrak seni, pikirnya.Ini tali. Dan aku ujungnya.Namun ia menyelipkan map itu ke dalam tas sebelum pikirannya be
Elena tidak langsung berbicara. Ia menatap map itu lama, seperti menatap jantung dirinya yang tergeletak tanpa pelindung. Lima juta euro bukan angka sembarangan. Nilai yang cukup untuk membeli keamanan, masa depan kedua anaknya.Namun justru karena itu, tawaran ini berbahaya. Bumi tidak pernah memberi tanpa perhitungan.Jika ia menaruh lima juta di meja sejak awal percakapan, maka harga sebenarnya jauh lebih tinggi.Ia mengangkat wajah perlahan, menatap Bumi seolah berusaha membaca niat di balik pupil gelapnya. Tapi tatapan pria itu seperti danau hitam malam hari—jernih di permukaan namun menutup dalam yang tidak diketahui siapa pun.“Angka yang sangat besar untuk seorang seniman baru seperti saya,” suara Elena lembut tapi mengandung pisau halus. “Terlalu besar untuk hanya disebut kerja sama promosi.”“Nilainya sepadan,” jawab Bumi tenang. “Dunia butuh nama baru. Dan aku? Aku butuh wajah baru. Lalu kau? Kau butuh panggung lebih luas. Kita bisa saling menguntungkan.”Tidak ada getaran







