تسجيل الدخولGilea berjalan cepat menyusuri koridor lantai delapan, tempat ruang HRD berada. Detak jantungnya masih belum stabil sepenuhnya sejak insiden kecil dengan pria bernama Damian tadi. Pergelangannya tangannya juga terasa nyeri kini.
Gilea memeriksa pergelangan tangannya dan tersentak kaget ketika melihat pergelangan tangannya sedikit bengkak dan agak biru. Tapi Gilea tidak bisa terlalu memperdulikan sakit di tangannya, karena hal yang paling mendesak sekarang adalah menyelesaikan urusannya di perusahaan ini, lalu pergi pulang untuk menjadi babu di rumah Bumi!
Dengan mantap, Gilea menggenggam map yang berisi salinan kontrak yang tak pernah ia baca itu serta surat pengunduran diri yang telah ia tulis semalam, lengkap dengan tanda tangan.
Baru saja Gilea hendak masuk ke ruang HRD, seseorang memanggilnya dari belakang.
“Hey! Kamu lagi!”
Gilea menoleh pelan. Matanya menangkap sosok Damian yang berdiri tak jauh darinya, masih mengenakan setelan kerja yang terlihat mahal dan rapi. Tatapan matanya terlihat bersahabat. Pria itu melangkah mendekati Gilea.
Gilea menunduk cepat, dia memang tidak terlalu suka beradu pandang dengan pria terutama pria yang tidak dia kenal. “Maaf, apa kamu memanggil ku?” tanya Gilea pelan.
“Tadi kamu bilang kamu baik-baik saja, tapi aku lihat pergelangan tanganmu membengkak.” Tunjuk Damian tanpa basa basi ke arah pergelangan tangan Gilea.
“Oh, ini. Ini tidak apa-apa. Cuma bengkak sedikit.” Jawab Gilea sambil menutupi pergelangan tangannya yang bengkak dengan tangannya yang satunya.
“Cuma sedikit bengkak dan sedikit biru?” Kejar Damian sambil tersenyum manis pada Gilea. “Sebaiknya kamu ikut aku dulu. Kita obati tanganmu dulu medical room di lantai bawah. Aku tidak ingin mendapat tuntutan karena telah membuat seorang wanita cantik cedera tangan.” Sambung Damian penuh gombalan.
“Terima kasih.Tapi sungguh tidak perlu. Ini juga nanti hilang sendiri. Lagi pula aku sedang terburu-buru. Maaf aku ke dalam dulu.” Cepat-cepat Gilea memutar tubuhnya untuk masuk ke ruang HRD, dia harus segera menyelesaikan urusan ini.
Damian reflek menahan lengan Gilea. “Kamu bisa mengurusnya nanti. Tanganmu lebih penting!”seru Damian.
Gilea membeku. Ia melirik ke arah lengannya yang dipegang Damian dengan tatapan risih.
“Ups! Maaf! Reflek.” Ujar Damian sungkan, buru-buru melepaskan pegangannya. Entah mengapa tangannya bisa se-reflek itu pada Gilea. Padahal saat ini saja, Damian tidak mengenal Gilea.
Gilea mengangkat wajahnya. Sebenarnya dia sudah cukup kesal dengan pria yang ada di depannya ini. Tapi karena tadi dia sudah bersalah menabrak pria ini, maka mau tidak mau Gilea harus menahan semburan cicitannya ke Damian.
Gilea mengatur nada bicara agar tetap netral. “Aku harus segera menyelesaikan urusan ini. Aku datang ke HRD untuk mengundurkan diri.” Jelas Gilea agar Damianberhenti menggangunya.
“Mengundurkan diri? Tunggu! Apa jangan-jangan kamu adalah sekretaris direktur yang baru?” tanya Damian tampak benar-benar terkejut.
“Hmm- begitulah.” Jawab Gilea dengan nada sungkan. Dia merasa tidak enak entah untuk alasan apa. Tapi ya memang begitulah Gilea, anaknya suka merasa nggak enakan untuk berbagai hal.
“Kamu serius?” ulang Damian bertanya, seolah benar-benar tidak percaya jika Gilea datang ke HRD untuk melepaskan posisi itu.
“Ya. Apa mukaku tidak pantas untuk posisi itu sehingga tidak terlihat meyakinkan?” jawab Gilea jengah dengan reaksi Damian yang Gilea rasa sedikit berlebihan untuk dua orang yang sama sekali belum mengenal.
“Bukan! Bukan seperti itu! Hanya saja rasanya tidak masuk di akal saja. Posisi yang kamu mau buang itu adalah posisi yang tidak mudah untuk didapatkan, bahkan HRD pasti melewati seleksi ketat. Aku tahu, karena aku yang menyetujui kandidat akhir bersama tim. Kau itu… top tier dari ratusan pelamar.” Jelas Damian panjang kali lebar.
“Dia yang menyetujui? Memangnya siapa pria ini? Jangan katakan kalau dia adalah direktur perusahan ini?” batin Gilea dalam hati, yang jadi penasaran siapa sebenarnya pria asing yang sedari tadi berbincang dengannya.
Melihat tatapan bingung yang tertera jelas di wajah Gilea, Damian seolah mengetahui apa yang ada di dalam kepala Gilea. “Maaf, aku lupa memperkenalkan diriku padamu. Aku Damian. Kau bisa memanggilkku, Dee. Aku adalah wakil direktur perusahaan ini.” Ucap Damian sambil mengulurkan tangan untuk berjabat tangan dengan Gilea.
Gilea terkejut. Bagaimana dunia bisa serandom ini? Bagaimana ujuk-ujuk dia bisa bertemu dengan wakil direktur dari perusahaan besar ini!
“Kamu akan menjabat tangan ku kali ini kan?” Tanya Damian sambil menunggu tangannya dijabat oleh Gilea. “Soalnya tadi kamu sudah mengacuhkan tangan ku sekali saat di lobi.”Kelakarnya.
“Oh, maaf.” Jawab Gilea kemudian buru-buru menjabat tangan Damian.
“Namamu?” tanya Damian sambil menahan tangan Gilea yang hendak Gilea tarik dengan cepat.
“Gilea. Namaku Gilea Wijaya.” Jawab Gilea sambil terus berusaha menarik tangannya agar terlepas dari genggaman tangan Damian.
“Baiklah nona Gilea, katakan padaku alasanmu mengundurkan diri di hari pertama seharusnya kamu datang untuk bekerja.” Tanya Damian usai melepas tangan Gilea.
Gilea menatap Damian dan untuk sesaat, ia terbayang dirinya yang sedang mengatakan semuanya pada Damian. Tentang Bumi. Tentang ‘pernikahan’ yang tak pernah ia inginkan. Tentang bagaimana hidupnya seperti barang yang telah dijual oleh keluarganya.
Tapi tidak mungkin dia mengatakan itu kan?
Gilea menarik napas panjang sebelum menjawab. “Aku mendapatkan tawaran kerja yang lebih baik dari pada di perusahaan ini, tuan Damian.” Jawab Gilea, mengulas sebuah senyuman penuh arti. Ya! Sebuah pekerjaan yang lebih baik! Menjadi babu tanpa bayaran di rumah Nathan Aldian Bumi Wicaksono.
Sungguh sebuah pekerjaan yang diidam-idamkan semua orang di atas muka bumi ini.
Damian tampak tidak puas dengan jawaban itu. “Better job ya? Hmm baiklah. Setidaknya izinkan aku mengantarmu ke ruang HRD. Kalau kamu benar-benar ingin berhenti, setidaknya biar aku pastikan mereka tidak memperlakukanmu seperti orang tak penting.” Bisik Damian, seolah-olah mereka adalah teman akrab.
Gilea menggeleng cepat. “Tidak perlu, tuan Damian. Terima kasih atas tawarannya. Itu pintu ruang HRD dan aku bisa masuk sendiri.” Tolak Gilea yang tidak ingin pandangan semakin miring padanya karena datang diantar oleh orang kedua perusahaan ini.
Jangan sampai ada yang mengira Gilea lulus karena bantuan orang dalam.
“Ini perintah. Saat ini statusmu masih pekerja di perusahan ini kan? So, kau tidak bisa menolak perintah bosmu kan?” Cecar Damian dan dengan cepat menarik tangan Gilea ke dalam ruangan HRD.
“Tapi tuan?” Gilea bahkan tidak diberi kesempatan untuk menolak. Damian benar-benar menggenggam tangan Gilea dengan erat dan membawanya masuk ke ruangan HRD.
“Siska, kemari! Tolong cek surat kontrak milik wanita cantik ini.” Ucap Damian membuat wajah Gilea sontak menjadi merah merona.
“Pria yang aneh.” Batin Gilea- hanya bisa menunduk, berharap ia dapat menghilang saat itu juga dari atas bumi ini
Kota Osaka terasa seperti sedang menahan napas ketika malam semakin menebal. Lampu lampu dari jalanan memantul ke dinding hotel seperti serpihan cahaya yang ingin masuk namun tertahan kaca tebal. Di kamar penthouse, Bumi duduk di depan deretan layar yang menampilkan setiap sudut aktivitas Elena.Ia tidak bergerak.Tidak berkedip.Tatapannya tetap.Sampai akhirnya ia berkata pelan kepada Max yang berdiri di sampingnya.“Max, aku ingin tahu siapa dua bocah itu.”Max menunggu penjelasan.“Mereka memanggil Elena dengan sebutan mommy. Mereka tidak disebutkan dalam kontrak. Dan usia mereka… cocok dengan waktu terakhir aku bersama Gilea.”Max menarik napas pelan. “Baik, Tuan. Apa yang perlu saya lakukan?”“Aku ingin kau cari tahu dari mana mereka datang. Siapa nama lengkap mereka. Catat tanggal lahirnya. Dan… dapatkan sampel DNA. Lakukan tanpa membuat mereka sadar.”Max sedikit mundur karena terkejut. Bukan karena perintah itu sulit, tetapi karena ia tahu apa arti kalimat berikutnya.Bumi me
Osaka pagi itu terasa seperti kota yang ingin memeluk dan menelan di saat yang sama. Udara dingin menempel di kulit Elena saat ia dan Daniel berjalan menuju ruang mural. Gedung pameran itu tinggi dan putih, seperti kanvas raksasa yang menunggu disakiti dan disembuhkan oleh warna cat.Daniel membuka pintu studio sambil berkata pelan, “Hari ini kamu hanya bertemu kurator jam empat. Setelah itu ruangan kosong.”“Bagus,” balas Elena sambil mengatur meja catnya. “Aku butuh cahaya sore untuk bagian tengah.”Daniel tersenyum kecil. “Kalau butuh apa apa, panggil aku. Aku tidak akan jauh.”Saat Daniel keluar, ruang itu kembali sunyi. Elena naik tangga kecil yang disediakan panitia, mengusap permukaan dinding yang masih polos. “Baiklah,” gumamnya. “Mari kita mulai.”Ia tidak tahu bahwa di sudut atas ruangan, sebuah kamera kecil tak lebih besar dari kancing baru saja menangkap gambar pertamanya. Lensa itu tidak berkelip. Tidak bersuara. Hanya menatap.Dan di kamar hotel yang Elena percaya masih
Hari hari setelah kontrak ditandatangani berjalan tanpa dentuman besar. Tidak ada kunjungan mendadak, tidak ada pengawasan di sudut lorong, atau tidak ada kehadiran yang mengintai dari kejauhan seperti yang Elena takutkan. Hanya email, panggilan singkat, dan jadwal yang disampaikan melalui Max kemudian diteruskan oleh Daniel.Seolah Bumi benar benar menghormati syarat yang telah Elena tetapkan.Atau jangan-jangan, ia hanya sedang menunggu waktu yang tepat.Tidak ada yang tahu pasti. Tapi yang pasti, selama beberapa minggu itu, Elena kembali bekerja dengan ritme yang teratur. Studio, cat, kanvas dan anak anak adalah lingkaran kecilnya. Ia tidak pernah merasa aman sepenuhnya namun paling tidak, saat ini cukup tenang dan memberikan masa untuknya menghela napas dengan tidak tergesa.Daniel sering terlihat berdiri di balkon pada malam hari, merokok pelan sambil mengawasi pintu masuk hotel dari jauh. Ia tidak pernah berkata ia was was. Tetapi Elena tahu. Mereka sama sama tidak bisa benar be
Elena memejamkan mata sejenak. Kertas kontrak terhampar di hadapannya.Ia menatapnya lama, lebih lama daripada yang ingin ia akui.Setelah itu ia berdiri, berjalan ke balkon perlahan. Udara dingin masuk, menusuk kulit namun entah mengapa malah membawa sedikit ketenangan.Daniel menyusulnya, berhenti satu langkah tepat di belakang. Mereka berdua memandang kota yang masih sibuk di bawah sana.“Kau yakin?” suara Daniel nyaris berbisik.Elena mengangguk pelan. Bukan jawaban pasti, hanya tanda bahwa ia sedang mencoba tegar.“Kalau aku kabur lagi,” katanya, menatap jauh ke lampu-lampu kota, “kita tidak akan pernah sampai ke tempat yang aman.”Daniel diam. Wajahnya menegang, bukan karena tidak setuju, tapi karena ia paham lebih dalam dari siapapun.Elena kembali menatap anak-anaknya yang masih tidur. Luca menarik selimut hingga pipinya tertutup sebagian. Sofia memeluk bonekanya erat, seolah dunia benar-benar sesederhana tidur dan bangun lagi.Hati Elena terasa seperti kain yang diremas kasar
Untuk waktu yang terasa seperti berabad-abad, Elena tetap berdiri mematung. Ruangan VIP tiba-tiba tampak terlalu sempit, terlalu padat oleh bayangan seseorang yang bahkan setelah pergi pun tetap memenuhi udara — seolah dinding masih memantulkan suaranya, lantai masih menyimpan jejak langkahnya, dan udara masih mengingat napasnya.Bumi sudah tidak berada di dalam ruangan, tapi kehadiran seolah tidak pernah pergi.Ia meremas ujung meja hingga jarinya memutih. Napasnya naik turun cepat—bukan panik, tapi keterpurukan yang terjaga. Setelah apa yang dia lewati, dia tahu bahwa dirinya bukan wanita yang mudah runtuh. Tapi hari ini… hari ini ia harus berdiri di atas bumi yang terasa kembali retak.Dengan langkah perlahan namun mantap, ia menunduk mengambil map hitam itu. Jari jemarinya menyentuh permukaan kulit sintetis yang dingin, namun rasanya seperti menyentuh bara.Ini bukan kontrak seni, pikirnya.Ini tali. Dan aku ujungnya.Namun ia menyelipkan map itu ke dalam tas sebelum pikirannya be
Elena tidak langsung berbicara. Ia menatap map itu lama, seperti menatap jantung dirinya yang tergeletak tanpa pelindung. Lima juta euro bukan angka sembarangan. Nilai yang cukup untuk membeli keamanan, masa depan kedua anaknya.Namun justru karena itu, tawaran ini berbahaya. Bumi tidak pernah memberi tanpa perhitungan.Jika ia menaruh lima juta di meja sejak awal percakapan, maka harga sebenarnya jauh lebih tinggi.Ia mengangkat wajah perlahan, menatap Bumi seolah berusaha membaca niat di balik pupil gelapnya. Tapi tatapan pria itu seperti danau hitam malam hari—jernih di permukaan namun menutup dalam yang tidak diketahui siapa pun.“Angka yang sangat besar untuk seorang seniman baru seperti saya,” suara Elena lembut tapi mengandung pisau halus. “Terlalu besar untuk hanya disebut kerja sama promosi.”“Nilainya sepadan,” jawab Bumi tenang. “Dunia butuh nama baru. Dan aku? Aku butuh wajah baru. Lalu kau? Kau butuh panggung lebih luas. Kita bisa saling menguntungkan.”Tidak ada getaran







