Disaat itu, mata Caca melotot hampir lepas dari tempatnya. Matanya tepat melihat ke pintu ruangannya. Disana berdiri Indra yang tertegun mematung. Tangan Indra membeku berhenti beberapa sentimeter dari pintu yang hendak diketuknya.Caca juga mematung. Kedua telapak tangan Caca reflek menutupi seluruh wajahnya.Caca merasakan seolah-olah bumi berhenyi berputar dan waktu tidak berjalan. Inginnya, Caca sembunyi saja di bawah kolong meja atau kalau bisa langsung lari keluar dari ruangannya.“Eh, Pak Indra. Silahkan masuk Pak.” kata Jasmine yang memecah keheningan.“Kok disuruh masuk sih Mbak,” Protes Caca dalam hati atas keputusan Jasmine yang menyuruh Indra masuk.Setelah berusaha keras menyetel wajahnya agar terlihat normal, dengan perlahan Caca menurunkan telapak tangannya. Saat telapak tangan itu turun, matanya langsung tertuju pada Indra. Saat itu, Indra terlihat malu-malu dan wajahnya memerah.Caca sendiri tidak bisa membayangkan betapa merah wajahnya. Caca yakin Indra mendengar apa
Hari selasa adalah hari yang ditunggu-tunggu Caca. Hari ini adalah hari yang istimewa dimana dia mengajar kelasnya Indra. Hari ini akan menjadi lebih istimewa karena dia akan menjalankan rencananya mendekati Indra.Setelah menghabiskan sekitar lima belas menit untuk memilih pakaian. Bahkan Caca juga mengaplikasikan riasan wajah yang lebih daripada biasanya. Setelah merasa puas dengan riasan wajahnya dan bajunya, Caca segera turun.Tidak ada siapapun di meja makan. Akhirnya, Caca memutuskan untuk tidak sarapan meskipun perutnya perih minta ampun. Ditambah lagi, jantungnya yang berdebar-debar menunggu kelas nanti siang. Rasanya Caca mempunyai energi lebih meskipun tidak ada sarapan.Sesaat sebelum mengajar kelas Indra, keraguan menyisip pelan-pelan. Hati kecilnya menanyakan berbagai pertanyaan seperti, bagaimana kalau ternyata Indra sakit hati atas penolakan kemarin? Bagaimana kalau ternyata karena sakit hati itu, Indra tidak mau membantunya? Apa lebih baik tidak meminta bantuan dari In
“Se.. Sebenarnya, saya mau mengajak kamu bekerja sama.” ujar Caca dengan suara yang masih gelagapan.Dalam hati Caca mengumpat. Caca benci dirinya sendiri yang tidak bisa menguasai dirinya sendiri.Indra menatapnya. Tatapan mata Indra seolah-olah menelanjanginya. Lutut Caca sudah menyerah tidak mampu menahan berat badannya sendiri.“Bekerja sama?” mata Indra menyipit, dahinya berkerut.“Ya. Sebelumnya, apakah kamu sudah menjalani seminar akademik atau proceeding sebagai salah satu syarat kelulusan?”“Belum Bu. Saya berencana untuk menerbitkan jurnal saya di jurnal internasional. Saya tidak berniat untuk ikut seminar atau proceeding karena butuh persiapan yang lama dan kemungkinan juga dilaksanakan di luar kota atau bahkan luar negeri. Lagipula waktu pelaksanaannya proceeding sudah ditentukan, tidak sepanjang tahun seperti publikasi jurnal. Jadi saya berpikir publikasi di jurnal saja lebih cepat daripada ikut proceding.”“Kebetulan sekali kalau begitu, saya mau menawarkan bagaimana jik
Senin dini hari, dua hari yang lalu.Satrio sedang makan roti bakar dan menyeruput cappuccino di ruang tunggu eksekutif maskapai Emirates di Bandara Internasional Dulles, Washington D.C. yang tenang dan nyaman. Makanan dan minuman tersedia gratis bagi penumpang kelas bisnis dan kelas satu di ruang tunggu itu. Satrio menunggu pesawatnya akan berangkat jam lima pagi menuju Bandara Internasional Soekarno-Hatta Jakarta.Selama itu pula, pikiran Satrio mengarah pada Caca.Selama hampir seminggu Satrio berada di negeri adidaya itu. Satrio diundang sebagai pembicara ahli di sebuah konferensi medis internasional yang diadakan di kampusnya, Johns Hopkins University. Kampusnya yang membiayai semua akomodasi Satrio.Seminggu itu pula, intensitas komunikasinya dengan Caca berlangsung baik. Caca sering membalas pesan pendeknya.Jam lima tepat, pesawatnya berangkat. Untunglah Satrio ada di kelas bisnis, perjalanan selama dua belas jam ke Dubai, menjadi tidak masalah karena dia bisa meluruskan kaki
Satrio mengetuk pintu ruangan Direktur Rumah Sakit. Tak sampai semenit, Satrio sudah duduk di hadapan Sang Direktur.“Wah, Mas Satrio, kapan pulang dari Amerika?” sambut Pak Bondan, sang direktur rumah sakit.“Tadi dini hari Pak.”Pak Bondan terlihat sedikir terhenyak. “Mas Satrio langsung ke sini?”Satrio mengatakan bahwa dirinya sempat ke tempat prakteknya terlebih dahulu sebelum ke rumah sakit.“Bagaimana presentasinya? Lancar?”Satrio mengangguk. Dengan sopan, Satrio menerangkan secara ringkas kegiatannya selama seminggu di Amerika.Setelah berbasa-basi, Satrio berkata, “Saya mau bertanya perihal surat tugas penelitian yang terbaru Pak.”“Iya Mas ada apa dengan surat tugas itu?”“Dokter Irene, dokter residen bimbingan saya, tidak ada di surat tugas tersebut sebagai peneliti di tim saya. Penelitian ini penting bagi dokter Irene karena penelitian ini adalah salah satu syarat kelulusan dokter Irene. Ada apa Pak?”“Oh,” Pak Bondan mengibaskan tangannya sambil melemparkan tawa konyol.
Caca menghela nafas panjang dengan pelan-pelan supaya Mbah tidak mendengarnya. Kakinya dan otaknya berseberangan. Kakinya menginginkan dirinya untuk segera pergi. Sedangkan otaknya menyuruhnya untuk menuruti kemauan Mbah.Kaki Caca ternyata lebih tahu daripada otaknya bahwa bencana dan badai sedang mengintai. Mbah pasti akan memarahinya atas sesuatu yang Caca tidak tahu.Caca menuruti kemauan otaknya karena tak sanggup membayangkan konsekuensi yang akan dihadapinya kalau tidak menuruti kemauan Mbah.“Kamu mau kemana?” tanya Mbah yang sedang menghisap rokoknya.“Mau keluar Mbah, ada acara dengan teman-teman kampus.” kata Caca sembari dengan sengaja mengambil duduk di seberang Mbah dengan meja di tengah-tengah.Caca selalu membenci Mbah yang merokok. “Apa kata Mas Satrio kalau tahu Mbah merokok?”“Kamu sama dokter Satrio sudah sejauh mana? Mbah perhatikan, dokter Satrio jarang kesini. Ada apa?” ujar Mbah tidak mempedulikan pertanyaan Caca.Jantung Caca berhenti untuk sepersekian detik.
Wajah masam Caca langsung berubah ceria ketika melihat Indra sudah duduk menunggunya di salah satu meja di Neal’s. Caca duduk di kursi seberang Indra. Di sebelah kanan Caca, terhampar pemandangan lampu kota di bawah sana berkelip-kelip dan berwarna-warni. Tempat duduk yang sempurna untuk makan malam.Caca tampil dengan setelan hem warna krem bermotif bunga-bunga dan rok mekar panjang berkerut bawah lutut dengan warna krem yang lebih tua. Caca benar-benar percaya diri dengan penampilannya malam itu. Terlebih lagi, Caca mengenakan sandal model square toe tinggi.Indra sendiri tidak kalah menarik. Dengan paduan hem putih lengan panjang yang digulung sesiku dan jeans warna biru, Indra tampak mempesona. Caca tidak kuat menahan dirinya yang meleleh karena terpesona.“Ibu mau pesan apa?”Mata Caca menyipit. “Kamu panggil aku apa? Ibu? Kamu mau buat aku terlihat tua?”Indra melongo.“Panggil Caca.” terang Caca dengan senyuman manis.Indra menggeleng, “Saya akan panggil dengan Tante saja.”“Ka
Tidak ada hal yang hebat di Rabu pagi untuk Izzy. Tapi siang nanti, dia punya rencana memisahkan Indra dan Bu Syasmala. Izzy berencana untuk menemui seorang saudara jauhnya, lebih tepatnya mas keponakan. Izzy yakin mas keponakannya mampu membantunya.Meski begitu, sebelum jam empat dirinya sudah bangun. Izzy turun ke dapur. Ada hasrat tak tertahankan di hatinya untuk memasak sarapan untuk Papa dan Mama. Sudah lama mereka tidak pernah sarapan bersama.Izzy meolak bantuan dari beberapa asisten rumah tangganya. Izzy bersikeras ingin menghidangkan sarapan untuk Papa Mamanya. Izzy memasak sayur pedas atau orang Malang biasanya menyebut sebagai “jangan pedes”. Banyak versi dari jangan pedes ini. Tetapi, versi favorit Papa adalah olahan sayur yang terdiri dari kepala ikan tongkol, tahu, tempe, petai, dengan kuah kental yang terbuat dari gilingan kacang tanah.Tak lupa juga Izzy membuat tempe mendol. Olahan dari tempe yang sudah agak basi. Tempe tersebut dihaluskan, diberi bumbu-bumbu, lalu d