“Aku tidak mengerti, seharusnya Adik senang. Aku akan memperlakukan Adik dengan baik. Aku mau Adik di rumah tidak terbebani dengan pekerjaan dan stress karena pekerjaan di luar rumah. Aku ingin Adik fokus merawat dan mendidik anak-anak kita nantinya. Lagipula, seperti yang aku bilang tadi, seorang ibu rumah tangga adalah sebuah pekerjaan penuh waktu. Seorang ibu adalah sebuah pekerjaan yang mulia.”
Nada Satrio terdengar sangat tenang ketika itu.
“Mas, perempuan tidak harus selalu ada di rumah. Perempuan bisa bekerja di luar. Budaya patriarki yang selama ini dianut harus dirubah. Perempuan mempunyai hak dan kewajiban yang sama dengan lelaki. Perempuan juga bisa melebihi lelaki dalam pencapaian-pencapaian apapun. Perempuan tidak bisa dipandang sebelah mata. Bukankah kemarin Mas juga sudah bilang bahwa pekerjaan rumah adalah tanggung jawab bersama? Kenapa sekarang Mas menyuruhku untuk berdiam di rumah dan juga mengurusi rumah?”
Nada Caca ter
Caca mematung di depan lemari pakaian. Bau sabun dari tubuhnya semerbak mengharumkan seluruh ruangan. Tangannya sibuk memilih dan memilah pakaian. Biasanya, dia akan langsung mengambil baju tanpa ada pertimbangan. Dia memutuskan untuk memakai baju hem biru langit dan rok panjang dengan warna senada. Dioleskannya bedak tipis di wajahnya dan seberkas rona merah lipstik di bibirnya. Olesan lipstik itu tidak terlalu tebal, sesuai dengan keinginannya. Dimasukkannya koreksian manuskrip skripsi dan thesis mahasiswanya yang berserakan di meja ke dalam tas jinjingnya. Udara masuk ketika dia menarik nafas dalam-dalam. Paru-parunya mengembang menerima sensasi oksigen. Mulutnya menyunggingkan senyuman kepuasan memandangi tumpukan manuskrip-manuskrip tersebut. Sinar matahari yang lembut masuk ke dalam kamar Caca melalui jendela besar. Selasa pagi yang cerah dan indah selaras dengan suasana hati Caca. Jam dinding menunjukkan pukul lima lebih empat puluh lima ketika dirinya menutup pintu kamar
Dengan Mbah merengut, “Kalian itu, Caca itu sudah benar cari yang lebih tinggi. Ini juga menyangkut nama baik keluarga juga. Ingat kalian ini masih keturunan darah biru.” Papa menghela nafas sebelum membantah, “Darah biru...” “Huss.” Telunjuk Mbah menunjuk hidung Papa. Caca bisa melihat Mbah melotot marah pada Papa. “Kamu diam saja, Hadi. Kamu tidak tahu apa-apa. Lagipula, apa kata orang kalau Caca, seorang pejabat kampus, sudah S3 lulusan luar negeri mendapat suami yang lebih rendah derajatnya, penghasilannya, dan pendidikannya?” Papa menghela nafas. Tanpa mempedulikan perkataan Mbah, Papa berkata pada Caca, “Nduk, kamu boleh menikah dengan siapa saja. Asalkan dia baik, ibadahnya bagus, bertanggung jawab. Selama kamu sayang sama dia, dia juga sayang sama kamu. Papa tidak pernah menuntut mantu Papa harus berpendidikan tinggi dan harus dari status sosial yang lebih tinggi ataupun penghasilannya lebih tinggi daripada kamu. Rezeki sudah diatur oleh Allah.” Caca menggelengkan kepalan
Caca melemparkan tubuhnya ke kursi kerjanya, menyandarkan kepalanya ke sandaran kursi dan memejamkan matanya. Dia meregangkan seluruh tubuhnya, sehingga tulang-tulang yang ada di punggungnya meregang, capek pun berkurang. Hari ini Caca memang mengajar dua kelas beruntun, tapi kali ini capeknya dua kali lipat. Selain itu otaknya juga masih melayang pada kejadian pagi tadi. Bencana yang datang di pagi hari. Tangannya memijat perlahan dahinya. Dia mulai mempertanyakan keyakinannya, apa benar laki-laki merasa minder dengannya? Apa benar bahwa tidak ada yang mendekatinya karena lelaki melihatnya terlalu tinggi hingga tak dapat diraih? Apa dirinya harus menurunkan kriteria agar bisa cepat menikah? "Tidak," kata Caca pada dirinya sendiri. Ketika pikiran Caca masih menerawang, ponselnya berbunyi. Sebuah panggilan telepon masuk. Jasmine menghubunginya. “Halo, selamat siang dengan Ibu Kapolres disini.” jawab Caca. “Oh, ya Bu. Saya mau melaporkan ada tindak kejahatan kelaparan. Apa Ibu b
“Ya, tapi sekarang saatnya kamu maju, lupakan masa lalu itu. Tidak semua lelaki mau memperalat kamu dan mencari keuntungan darimu. Masalahnya, kamu tidak pernah memberi kesempatan lelaki untuk mendekatimu. Bagaimana kamu tahu mereka berniat jahat kepadamu? Lagipula mantan kamu itu mungkin sudah menikah dan bisa jadi dia bahagia dengan istri dia sekarang. Bisa saja dia saat ini sedang bermain-main dengan anaknya. Sedangkan kamu? Kamu masih saja bergelut dengan cerita dan sakit hati masa lalu. Dia tidak pantas mendapatkan itu Ca. Kalau ini ibarat perang, kamu adalah pihak yang kalah. Dia berhasil menguasaimu sampai lebih dari tujuh belas tahun. Ini buktinya. Kamu masih sakit hati dengan perbuatannya di masa lalu.” “Balik lagi ke teori tadi Mbak. Lelaki itu kodratnya menguasai. Kalau mereka mendapatkan pasangan yang gampang dibodohi maka mereka akan menggunakan kesempatan itu sebaik-baiknya. Mereka akan selalu membodohi kita dan berbuat seenaknya sendiri. Sedangkan perempuan yang tidak m
“Mohon maaf Bu Syasmala, Pak Warek tidak bisa ditemui hari ini. Beliau menemani Pak Rektor ke Surabaya bertemu Ibu Gubernur.” kata seseorang di seberang telepon. “Balik hari ini atau menginap Pak?” “InsyaAllah langsung pulang Bu.” “Berarti besok bisa langsung ditemui ya Pak?” “Mohon maaf Bu Syasmala, besok hari minggu. Pak Warek tidak ke kampus.” Caca terkekeh menertawakan kebodohannya. Bagaimana dia tidak sadar kalau hari ini adalah hari sabtu? “Mohon maaf juga Pak. Saya lupa kalau hari ini adalah hari sabtu. Maksud saya adalah, apakah senin Bapak ke kantor?” “Untuk saat ini Bu, hari Senin Bapak tidak ada jadwal kemana-mana. Kalau tidak ada rencana mendadak, hari senin Bapak bisa ditemui. Saya masukkan nama Ibu untuk jadwal Bapak Warek senin pagi. Saya hubungi Ibu untuk jamnya senin pagi.” “Terima kasih Pak.” “Iya Bu, sama-sama.” Caca menutup telefonnya. Kepalanya menggeleng-geleng tidak percaya karena seharusnya Pak Warek atau Wakil Rektor langsung menyetujui seperti tahun-
Dipenuhi rasa ingin tahu, Caca memberedel amplop itu. Matanya bergerak-gerak cepat. Sesaat kemudian, mulutnya menganga. Tangannya reflek menutup mulutnya yang menganga. Matanya melotot ke kertas itu lalu ke Jasmine bergantian. Caca melepaskan tangan yang menutupi mulutnya dan mulai tersenyum lebar. “Indra bimbinganku?” sorak Caca gembira. Jasmine mengangguk, “Cie… Yang dapat mahasiswa kesayangannya.” “Ya iya tah.” sambut Caca sombong. Jasmine tersenyum menang, menggoyang-goyangkan telunjuk kanannya. “Mbak, aku hanya kagum, tidak lebih. Aku sudah bilang kemarin. Dia mahasiswa paling pintar di kelas, seorang pemimpin.” Pipi Caca bersemu merah sebelum melanjutkan perkataannya, “Lagipula apa kata orang kalau aku pacaran sama brondong yang notabene itu mahasiswaku sendiri. Mbak pikir ini novel dimana guru atau dosen bisa dengan gampang menjalin hubungan dan menikah dengan muridnya. Di novel pun itu yang guru adalah seorang lelaki dan muridnya perempuan. Hidup tidak semulus roman-roman
Sabtu sore, jalanan Malang lebih padat daripada hari-hari biasa. Kota dingin itu menjadi tujuan wisata akhir minggu oleh orang-orang dari luar kota Malang. Caca sedang terjebak di lampu merah di daerah Dinoyo selama lebih dari satu setengah jam. Walau begitu, Caca tidak mengeluh. Sensasi kupu-kupu yang menggelitik perutnya terlalu menyenangkan. Kemacetan itu tidak berarti baginya. Caca menyadari bahwa dia telah jatuh cinta pada Indra. Perbincangannya dengan Jasmine tempo hari membuatnya sadar, hatinya sudah menjadi milik Indra. Untuk pertama kalinya dalam tujuh belas atau delapan belas tahun terakhir, Caca merasakan indahnya jatuh cinta. Caca tersenyum-senyum sendiri. Berkali-kali Caca menoleh pada cermin tengah mengaca, membenarkan rambutnya, melihat pipinya yang bersemu merah. Mobil-mobil yang ada di sekililingnya seolah-olah kumpulan binatang kesukaanya, panda. Caca tidak berada di tengah kemacetan, tapi berada di hamparan hutan belantara bambu yang sejuk. Warna jingga matahari me
Tanpa berganti baju, Caca langsung telungkup di atas kasurnya. Dunianya seolah-olah berhenti berputar. Detik jam yang biasanya terdengar, sepertinya ikut-ikutan berhenti berdetak. Dadanya terasa sangat sesak. Hatinya terasa berlubang dan hancur. Tangan Caca menempel di dadanya. Caca berusaha meredakan rasa sakit, hancur, dan perih di dadanya dengan terus memegangi dadanya. Tak puas hanya dengan memegangi dadanya, Caca memukul-mukul kasurnya dengan keras. Caca mengerahkan seluruh kekuatannya untuk memukul. Setelah beberapa pukulan tak bersuara dan sama sekali tidak menimbulkan kerusakan di kasur, Caca kelelahan dan berhenti memukuli. Tangisan Caca meledak. Air mata menetes dengan deras. Hidungnya berair mengucur. Tubuhnya berguncang di atas kasurnya, bergerak naik turun tak berirama. Caca tidak dapat memutuskan mana yang lebih sakit. Pikirannya buntu tidak dapat memilih dan memilah mana yang lebih menyakitkan diantara dua fakta yang dia ketahui. Apakah Ratu yang dilamar Zul, yan