Share

Chapter 2 - Lucyana

Kring

Kring

"Ohhh shit!"

Umpatan itu lancar sekali terlontar dari bibir mungil seorang gadis kecil. Putri dari Abbyana yang dalam satu bulan kedepan akan menginjak usia 7 tahun— Mendapati jam yang telah menunjukan angka tujuh lebih dua puluh lima pagi.

Telat.

Tentu saja!

Setelah mematikan alarmnya yang memang telah diatur sejak setahun lalu oleh sang Ibu. kendati usianya yang masih sangat belia Lucy sudah di ajarkan mandiri untuk mengarungi dunia yang keras ini.

Pekerjaan dengan jam kelalawar yang di miliki sang Ibu sejak dua tahun yang lalu, membuat Lucy ikhlas tidak ikhlas mengiyakan titah sang ibu. Meski terkadang Lucy akan di ungsikan pada teman Abby  yang bersebelahan dengan kontrakannya.

Pagi hari pukul setengah delapan Lucy berangkat sekolah dan pulang tepat pukul satu siang, dan tentunya di jemput oleh ibunya.

Dan

dari pukul—ahh mentok jam 6 pagi Ibunya akan luang sekali dan lebih menghabiskan waktunya di rumah sedangkan pada malam hari, wanita yang telah melahirkannya itu akan sangat sibuk sekali, bahkan terkadang akan melewatkan jam waktu pulang, membuat Lucy terkadang hanya mendapati kekosongan di dapur,

karena jika biasanya ada ibunya yang tengah menyiapkan sarapan.

"Morning,"

Kaki kecil yang terbalut sepatu docmart itu terhenti di pertengahan tangga, kala netranya mendapati sesosok perempuan tinggi semampai dengan rambut merahnya yang mencolok—yaps, tentu saja itu Ibunya, yang telah pulang, entah dari jam berapa.

"Mommy is home?" Dengan sebelah alis naik, Lucy bertanya dengan wajah polosnya. Karena dia ingat sekali, sudah 3 hari ibunya itu pulang terlampat.

"Tidak senang, hm?"

Lucy hanya mengendikan bahunya sambil melanjutkan langkahnya menuruni tangga. Lucy hanya sudah terbiasa saja sendiri.

"Tidak juga." balas bibir kecil itu setelah berhadapan dengan Abby yang langsung menunduk untuk mengecup pipinya.

Well rutinitas Abby di pagi dan pulang bekerja meski lebih sering Ia mendapati bocah nakalnya itu sudah tertidur. 

"Lucy tidak mencium balik Mommy?" Tanya Abby menatap cemberut putrinya itu. 

"Mommy," protes malas bocah itu. 

"Hem?" 

Mendengus, akhirnya Lucy mengecup kening ibunya itu. 

"Duduk."

Tapi Lucy menolak dengan gelengan kepala dan malah mengambil roti berselai stroberi yang baru selesai di buat Abby dan langsung bocah itu gigit.

"Mommy c'mon, sudah terlambat!" Tangan mungil itu meraih tangan besar Abby yang tengah sibuk dengan sarapan paginya

"Tunggu Lucy, Mommy belum selesai," 

"Ishh ayo sudah terlambat!" 

"Oke fine, kita berangkat!" 

Abby akhirnya pasrah juga. 

Ada dua puluh menit tersisa kala sekilas Abby melirik jam dinding. Kesekolah putrinya memang memerlukan kurang lebih 20 menit. Dan Abby pun sadar Lucy terlambat bangun, begitu pun dengan dirinya sendiri.

Abby terlambat sadar dari hal mengerikan yang ternyata terulang kembali malam tadi.

Dan pagi tadi bukan lah ilusi.

Lupakan saja ABBYANA!! Decaknya dalam batin.

"Mom!"

Dan ya, ini lah kehidupannya saat ini dan mungkin seterusnya, yang sibuk mengurus kekacauan di pagi hari, sedangkan di malam hari—dia abdikan untuk sepucuk uang yang mampu menopang kehidupan keluarga kecilnya.

***

Menjadi seorang ibu di usia muda Abby tentu memikul beban berat di pundaknya, terlebih setelah dirinya di buang bak seonggak sampah yang tidak bisa di daur ulang lagi.

Kehidupan yang seperti di neraka tujuh tahun yang lalu, akhirnya bisa Abby terlepas meski Lucyana sebagai gantinya. Tapi Abby tidak menyesal karena gadis yang dulunya selalu dia timang-timang dengan sayang itu merupakan permata berharga yang akan selalu melekat padanya.

"Saya terima ya bu,"

Abby mengangguk dengan senyum formalnya pada sesosok wanita bertubuh semok di hadapannya—Sally, merupakan guru dari putrinya.

Dan ya, dirinya tengah berada di ruang tamu sekolahan putrinya, membayar uang pangkal setiap bulannya.

Baru beberapa bulan putrinya itu memasuki kelas 1 sekolah dasar tapi pengeluarannya sudah membuat Abby pusing.

Ternyata ini lah babak baru kehidupan berkeluarga, Abby jadi tak heran dengan beberapa tetangganya yang mengelukan soal perekonomian terlebih dalam lingkup sekolahan anak-anaknya.

"Ah iya bu, soal Lucy..."

"Lucy bikin masalah baru?"

Abby meringis kala tersadar menyela ucapan Sally. Terlalu reflek karena—oh ayolah Lucyana—seperti kebanyakan anak-anak nakal pada umumnya.

Dan perangainya kadang-kadang membuat tensi darah orang-orang naik.

Abby ingat sekali dua minggu lalu, bocah itu membuat masalah dengan perundungan terhadap teman sekelasnya.

***

Dan di sini lah sang bocah yang tengah di perbincangkan itu, kelas 1-D.

Bukan lah kelasnya.

Putri dari Abbyana itu mendatangi kelas tersebut dengan tujuan negatis. Menajamkan pandangannya Lucy mendapatkan apa yang tengah di carinya.

Lelaki sebaya di barisan ke dua terdepan yang tingginya tidak jauh berbeda dengan Lucy dan tengah membereskan buku bergambarnya.

Tersenyum Lucyana mendekat dengan di kawal sisi kanan kiri temannya.

"Hai Kevin," sapanya dengan tatap yang membuat anak lelaki itu menciut.

Entah semenyeramkan apa Lucyana, padahal usia masih sangat lah gemes-gemesnya.

"Kalvin, Lucy."

"Ohh, Maaf." Lucyana tampak tak peduli dengan ucapannya yang salah itu.

Well bocah itu ada faktor cadel keturunan yang sering kali membuat kesalahan kala berbicara.

"Karena aku tidak membawa bekal sekolah, boleh aku minta bekalmu," Kata Lucy yang lebih seperti pembajakan karena tanpa persetujuan mengambil bekal yang masih berada di tas sang pemilik.

Sang bocah ingin protes kala Lucy mengahut garang. "Ingat utangmu Kevin, maaf saja tidak cukup untuk mengampunimu."

Kalvin adalah anak baru di high school berusia delapan tahun, orang tuanya baru saja pindah ke kota ini seminggu yang lalu.

Karena sifatnya yang pendiam dan sedikit melambai menurut Lucy—padahal hanya di lihat dari warna-warna tas, buku-buku yang memiliki warna terang seperti pink, yang lucy simpulkan seperti perempuan.

Membuat Lucy tidak suka dan merundung Kelvin.

Alasan yang tak mendasar dari bocah nakal itu dan jika di biarkan akan semakin bertingkah.

***

"By!"

Baru turun dari kendaraan yang mengantarkannya, Abby mengerutkan keningnya kala mendengar namanya di sahutkan.

"Abby!"

Dan ternyata Noah.

Seorang pekerja market yang akan dia masuki, tentu untuk berbelanja bulanannya.

"Hai Noah." Sapa Abby yang di balas senyuman lebar Noah yang tampaknya tengah sibuk menurunkan berdus-dus stok berbagai merk yang akan di jualkan—maybe, dari mobil box.

"Belanja?" Tanya pria yang sudah berdiri di hadapannya.

"Menurutmu?" balasnya. Tujuan ke market apa lagi kalau berbelanja.

"Ya siapa tau mau ngadem." Balas Noah dengan kekeh garingnya. Tatapan pria itu tampak lekat menatap wajah Abby yang sedikit memerah, mungkin karena panas.

Yea, cuaca tengah terik-teriknya di jam sepuluh ini.

"Raut wajah lelahmu tidak bisa di tutupi." Ucapnya lagi bersamaan pandangannya yang berpaling.

"Apa tampak jelas?"

Kembali menatap Abby, Noah mengangguk. "Hm, tampak suram sekali seakan auramu habis tersedot penyedot wc."

Yang seketika saja Abby hadiahkan gebukan di pundak lelaki itu yang terkekeh nyaring dan begitu menyebalkan. 

"Menyebalkan." Jengkelnya sebelum kemudian mulai melangkah memasuki market.

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status