Camille membuka roti yang dia bawa pulang dari tadi dibelikan oleh Pierre di pinggir jalan. Gadis muda itu berusaha bernapas pelan, sambil tersenyum tipis, "Kami lembur tidak di cafe, Paman. Tetapi di gudangnya bos. Terletak sedikit ke atas dari cafe. Untuk hari ini aku bekerja masuk siang," ujar Camille tenang yang sulit dideteksi kebohongannya oleh Dylan. Dylan sama sekali tidak menyadari jika Camille banyak belajar darinya yang bisa bicara sangat tenang untuk menenangkan Solenne setelah pekerjaan mencurinya. Dan kini Camille lakukan pada Dylan, berhasil membuat Ayah angkatnya itu percaya padanya. "Serius! Besok aku akan mengajak Paman ke gudangnya bos kalau Paman tidak percaya padaku," tambah Camille sambil mengunyah roti sampai mulutnya penuh dan kakinya spontan naik satu bertumpu pada alas kursi. "Paman percaya. Ingat, jika ada pria yang menyakitimu atau memperlakukan tidak sopan, katakan pada Paman. Paman dan Bibi bisa menjagamu jika kamu tidak ingin menikah. Pierre dan Mart
Camille sudah berdiri di depan meja Martin yang memilih duduk di balkon dan pria itu menolak pelayan lain yang ingin menawarkan bantuan padanya. "Kamu tidak punya pekerjaan, Tuan Martin?" sarkas Camille menyapa Martin. Martin tersenyum melihat gadis muda yang belum memiliki hubungan apa-apa dengannya, sudah dia rindukan. "Duduklah dulu, semua orang akan takut padamu, jika tatapanmu pada tamu seperti itu," Camille memang sedang menatap Martin sengit bercampur kesal yang dia sendiri tidak mengerti apa sumber kekesalannya pada pria yang sama sekali tidak bisa di bilang buruk tersebut. Martin terlalu tampan malah! Camille akhirnya duduk pada kursi di hadapan Martin dan pria itu langsung mengeluarkan ponsel keluaran terbaru, menyodorkannya ke depan Camille. "Itu untukmu sebagai bayaran makanku tempo hari," tutur Martin yang tidak menolak dirinya di traktir oleh Camille waktu itu. Sebaliknya, Martin melihat Camille tidak memiliki ponsel dan dia ingin bisa menghubungi gadis muda
Clea memasukkan beberapa potong pakaian ke dalam tas ranselnya dan saat dia melewati ruang makan, kedua orangtuanya masih belum turun dari kamar. Clea berpapasan dengan Pamela, sekretaris Papanya di kantor datang ke kediaman mereka dan baru memasuki ruang tamu. "Apa yang kau lakukan di sini?" tegur Clea tidak suka pada Pamela, meletakkan kembali tas ranselnya di atas sofa.Pamela mengacungkan tas berisi berkas ke depan Clea, "Mister David kemarin tidak datang ke kantor, ada beberapa berkas yang penting untuk di tandatangani," sahut Pamela berusaha bersikap santai tetapi Clea melihat kesombongan dari cara wanita itu berbicara padanya. "Duduk! Aku yang akan mempelajari berkasnya, berikan padaku!"ketus Clea pada Pamela yang segera duduk tetapi tidak memberikan tas berisi berkas pada Clea. Di mata Pamela, Clea masih gadis remaja yang memiliki ukuran tubuh dewasa. Clea baru kuliah tahun pertama dan usianya delapan belas tahun."Kamu tidak mendengar ucapanku?" "Maaf, saya pikir hal ini
Camille menyadari Martin tidak ada di belakangnya. Lalu matanya melihat kerumunan orang cukup jauh, telah terlewati olehnya. Bergegas Camille berlari menuju kerumunan orang tersebut, langkah kakinya tersaruk pada pasir saat kakinya tenggelam cukup dalam masuk ke pasir yang masih basah dan lembut. "Minggir semuanya!" teriak Camille saat melihat sepatu Martin berada di tengah kerumunan orang banyak. Semua orang menyingkir dan Camille segera berlari memeluk tubuh Martin yang sudah sangat memerah gelap dengan napas yang putus-putus. Ditambah beberapa wanita datang memberikan bantuan menyentuhnya yang tidak bisa dia tolak dengan kondisi tubuhnya melemah. Secara sadar, Camille mengangkat tengkuk Martin dan mendaratkan bibirnya menempel ke bibir Martin yang terbuka terengah-engah karena pernapasannya. Para orangtua yang sedang membawa anak-anaknya dan berada di sekeliling Martin sebelumnya segera menyingkir membawa anak-anak mereka menjauh dan para wanita muda yang mengenal Martin merasa
"Hai, kamu oke?" tanya Pierre saat melihat Camille membonceng Luciano di belakangnya. Camille mengangguk, membaringkan tubuhnya ke depan motor dan menyikut Luciano yang juga ikutan iseng membaringkan tubuhnya di atas punggung Camille. "Kamu pria, turun!" dengkus Camille yang ditanggapi tertawa renyah Luciano segera turun dari motor. Pierre tertawa melihat gadis muda di depannya yang bukan hanya polos tetapi juga pintar untuk tidak dimanfaatkan pria. "Malam ini kita akan beraksi sedikit lebih jauh, kamu sudah bisa mengendarai motor itu?" tutur Pierre menelisik wajah Camille yang terlihat kemerahan, latihan bermotor bersama Luciano yang sepertinya membangkitkan adrenalinnya. "Ya, aku sudah bisa mengendarainya. Jangan kuatir!" Pierre mengangguk, "Kamu bisa bermotor bersamaku, jika kamu merasa ragu," Camille menggeleng sambil tertawa, "Jangan kuatir, Bos! Aku adalah pembelajar yang sangat baik!" sahutnya yakin, turun dari motor dan menepuk pundak Pierre lalu masuk ke dalam ma
Camille baru saja tiba di cafe Lemoncello dan langsung mempersiapkan meja serta kursi saat tengkuknya di rengkuh oleh Pierre dari belakang. "Hei, bagaimana keadaanmu? Maaf soal semalam, apakah kamu bisa beristirahat tadi malam? Kenapa masuk pagi sekali?" cecar Pierre seraya menarik lengan ramping Camille. Pierre membawa Camille dan membukakan kursi di depan bartender untuk gadis muda itu duduk lalu dia segera berputar ke balik meja bartender yang kemudian mengulurkan piring berisi sandwiches ke hadapan Camille. "Resep baru dengan saos rasberry," tutur Pierre sambil tersenyum lembut. Donna melihat sengit pada Camille yang diperlakukan spesial oleh Pierre. Gadis itu juga tadi melihat bagaimana Pierre mengusap puncak kepala Camille yang terlihat cuek dan santai menerima perlakuan memanjakan Pierre padanya. "Bagaimana keadaanmu, kapan kau akan mulai masuk bekerja lagi? Gadis itu semakin berani pada Pierre!" pesan Donna terkirim pada Carla. Tidak ada satu kali pun Donna meminta
Udara di perpustakaan menjadi semakin hangat seiring ciuman Martin dan Camille yang tumbuh lebih intens dan memanas. Bagian tubuh Martin yang diduduki Camille di atasnya sudah menggeliat dan ikut tumbuh mengeras. "Uhmmm ..." Camille kembali mendesah lirih, buku novel di tangannya terjatuh di balik punggung Martin. "Bagaimana? Mau jadi pacarku?" desak Martin yang tetap tidak ingin melewatkan kesempatan untuk menjalin hubungan dengan Camille. Martin sangat yakin bukan hanya dirinya yang tertarik pada gadis muda yang cantik, polos dan ranum itu. Tawarannya berpacaran tetapi bukan hal tidak mungkin nantinya dia bisa merubah pola pikir Camille dan menerima ajakan pernikahannya. Martin membersihkan sisa-sisa pertukaran salivanya dengan Camille pada tepian bibir gadis yang masih tetap duduk manis di atas pangkuannya. "Uhm, oke!" sahut Camille pendek. Martin langsung bersorak girang di dalam hatinya tetapi detik berikutnya dia terpekik dengan wajah berkerut dan alis indahnya be
Pierre langsung tersenyum melihat kedatangan Camille ke cafe Lemoncello. Bahkan pria itu tanpa sungkan membantu mengikatkan tali apron di pinggang belakang gadis mudanya sampai dia mencium aroma parfum pria pada tubuh Camille. "Kamu tidak jadi istirahat di rumah tadi?" tanya Pierre setelah dia selesai membantu mengikat apron Camille. "Aku tidak mengantuk jadi pergi berjalan-jalan di sekitar," sahut Camille seraya tersenyum ceria menutupi kebohongannya yang di 'culik' oleh Martin. Camille bukan hanya sekedar diculik oleh Martin tetapi mereka hampir bercinta panas dan kini Camille yang menolak pernikahan malah setuju untuk menjadi kekasih pura-pura Martin. Tangan Pierre terangkat dan membelai puncak kepala Camille yang terus diperhatikan oleh Donna dari sudut lain dalam cafe. "Baiklah aku akan bekerja sekarang," cetus Camille yang dianggukin Pierre dengan seulas senyuman. "Kamu akan segera kehilangan dia jika tidak bergegas menggaetnya!" bisik Luca setelah kepergian Camille mengant