Rombongan regu prajurit Sriwijaya telah sampai di muka kedai tuak Pak Cik. Mereka terdiri atas lima orang prajurit. Kelimanya berhenti persis di depan pintu masuk kedai. Menariknya, salah satu dari kelimanya adalah seorang perempuan. Jika dilihat dari tanda kepangkatan, ia bahkan memiliki pangkat tertinggi di antara keempat prajurit lainnya.Candra, Aditya, dan Pak Cik dengan malas langsung berdiri begitu kelima prajurit Sriwijaya tersebut turun dari kuda dan menuju pintu kedai. Dalam situasi dominasi militer Sriwijaya sekarang, tetap duduk sambil menenggak tuak akan dianggap sebagai sikap tak sopan. Bahkan bisa dianggap sebagai sikap melawan.Gadis muda berusia dua puluh tahunan itu lalu berjalan mendahului keempat rekannya. Dengan langkah tegap ia berjalan paling depan."Tara," desis Pak Cik nyaris tak terdengar. Aditya yang berdiri paling dekat dengan Pak Cik cepat mengarahkan pandangannya pada lelaki paruh baya tersebut."Siapa dia Pak Cik?" tanya Aditya."Aku tak bisa jelaskan se
Pilinan helai rambut Antu Banyu membumbung tinggi, lalu menukik cepat ke arah Sadnya. Juntaiannya mirip tentakel atau tangan-tangan gurita yang digunakan untuk memburu mangsa. Bedanya, jika tentakel gurita berjumlah delapan buah, sedangkan tentakel rambut Antu Banyu jumlahnya jauh lebih banyak.Dalam hitungan detik, puluhan tentakel rambut Antu Banyu berhasil mengurung Sadnya dari semua penjuru. Saking rapatnya, hampir tak ada celah bagi Sadnya untuk mengelak. Apalagi meloloskan diri.Sebelum benar-benar menerkam tubuh Sadnya, puluhan tentakel rambut Antu Banyu tersebut berhenti sejenak. Dalam jarak kira-kira dua depa, puluhan tentakel itu bergerak dinamis seperti menunggu komando.Sadnya yang baru kali ini menghadapi ilmu setan menghasut manusia dibuat keheranan. "Ilmu setan macam apa pula ini? Semua berubah dengan cepat. Tadi gadis muda dengan suara merdu. Kini, muncul iblis neraka dengan rambut mengerikan!"Baru saja Sadnya berujar dalam hati, tiba-tiba suasana kembali berganti. Se
"Mukha Upang? Aku baru mendengar namanya Puan. Sebesar apakah bandar yang Puan maksud?" tanya Aditya. Disebelahnya Candra berusaha menahan tawa melihat tingkah pura-pura bodoh Aditya.Dengan bangga dan sombong Tara menjawab pertanyaan Aditya. Ia sama sekali tak paham jika dirinya sedang menghadapi seorang telik sandi pandai yang berlagak lugu. "Ahhh...kuceritakan panjang lebar juga kau belum tentu paham.""Maaf Puan, bukan bermaksud tak sopan, tapi aku ingin sekali mendengar cerita tentang Mukha Upang.""Baiklah kalau kau ingin mengetahuinya," ujar Tara sambil membenahi rambut bagian depan dan menyeka keringat diwajahnya. "Kami, bangsa Sriwijaya, ditakdirkan menjadi bangsa besar di tanah Swarnadwipa ini. Datu kami, Sang Dapunta Hyang Sri Jayanasa adalah titisan Sang Hyang Adi Buddha. Maka kalian tak perlu heran ketika kami dengan gampang mampu menaklukkan Melayu. Bukan hanya Melayu, Sang Dapunta Hyang Sri Jayanasa juga menghendaki kekuasaan Sriwijaya membentang dari Palas Pasemah, Pul
Ledakan besar terjadi. Ledakan itu terjadi akibat gaya gesek antara tenaga dalam Rajaputra Aruna yang dialirkan melalui tentakel rambut Antu Banyu dan aliran tenaga dalam Sadnya yang dilepaskan lewat konsentrasi pikirannya.Pertemuan dua tenaga besar yang tak kasat mata itu menghasilkan energi sangat besar. Selain ledakan, efeknya juga bisa dirasakan dari dorongan tenaga ke segala penjuru. Saking besarnya, dorongannya sampai menimbulkan gelombang setinggi empat meter di permukaan Sungai Komering.Di atas permukaan, dorongan tenaga itu melahirkan angin berkecepatan tinggi yang menumbangkan ratusan pohon. Besar dan kecil. Yang masih mampu bertahanpun harus kehilangan seluruh daun yang rontok berguguran.Semua mata yang menyaksikan fenomema pertarungan 'gaib' jadi terkesima. Pelepasan mega energi terjadi tanpa pertarungan yang bisa dilihat oleh mata telanjang. Semua orang dibuat bingung dengan keadaan yang terjadi. Tak ada yang tahu darimana ledakan dan tenaga merusak berasal.Untungnya
Aditya dan Candra geram bukan kepalang mendengar ucapan pongah Tara. Hampir saja keduanya kehilangan kontrol diri.Emosi keduanya tersulut bukan karena soal pengakuan mereka dari Pulau Bangka dan Sriwijaya akan menaklukkan Pulau Bangka. Emosi keduanya tersulut karena kalimat Tara menunjukkan bahwa ambisi Sriwijaya menguasai laut dunia akan menempuh segala cara untuk mewujudkannya. Termasuk melakukan penindasan antar sesama manusia.Bagi Aditya dan Candra, dua anak muda yang sedang merasakan tanah kelahirannya dijajah, ucapan Tara itu berarti Kedatuan Melayupun pantas dibumihanguskan jika melawan ambisi Sriwijaya. Idealisme mereka sebagai anak muda langsung berontak saat kehendak pembebasan dari cengkeraman penjajah memenuhi dada. Ucapan Tara benar-benar membangkitkan nasionalisme Aditya dan Candra. Sriwijaya pantas untuk diusir dari bumi Melayu.Kegeraman Aditya dan Candra mungkin tak bisa dibaca oleh Tara. Tapi tidak demikian dengan Pak Cik. Lelaki paruh baya pemilik kedai tuak itu d
Darah segar terlihat meleleh di bibir Rajaputra Aruna."Huk..huk...!" beberapa kali Anak Raja yang kini tinggal sendiri itu terbatuk. Berkali-kali tangan kanannya menyeka darah yang mengajak sungai dibibirnya. "Kurang ajar, hebat juga senapati tengik ini! Paru-paruku seperti mau pecah dibuatnya!"Menyadari kemampuan kanuragan Sadnya yang tak bisa dianggap main-main, Rajaputra Aruna lantas membenahi posisinya. Kini ia duduk bersila ditempatnya semula. Sebuah cabang besar pohon loa.Kedua tangan Rajaputra Aruna bertangkup dan membentuk sikap seperti orang bersujud di atas kepalanya. Mulutnya kembali berkomat-kamit. Sesekali mulutnya terbuka dan memamerkan gigi yang merah karena darah."Antu banyu...Antu banyu datanglah...! Antu banyu...Antu banyu datanglah...!""Hasutlah manusia...! Hasutlah manusia...!""Sebab kegelapan adalah kebenaran! Sebab gelap adalah kebenaran!"Mantera terus diucapkan berulang-ulang oleh Rajaputra Aruna. Wajahnya mulai menegang. Satu dua keringat mengalir dikeni
"Benarkah apa yang kalian katakan?" mulut Pak Cik terbuka lebar. Terperangah. Matanya menyipit. Antara tak percaya bercampur curiga. Pikirannya berbalik arah. Mencoba mengingat peristiwa tersembunyi setahun yang lalu."Hei Pak Cik! Kenapa kau menatap kami begitu curiga?" protes Candra sambil mengibaskan tangannya perlahan di depan muka Pak Cik.Sontak sikap Candra itu mengagetkan Pak Cik. Lelaki paruh baya itu mengendurkan urat-urat diwajahnya. Tapi ia masih tetap terlihat belum bisa menyembunyikan kecurigaannya."Ah...kau masih belum percaya siapa kami sesungguhnya?" kali ini Aditya yang bersuara. "Pak Cik, mungkin kami perlu cerita lebih banyak agar kau percaya pada kami. Itupun dengan syarat kalau kau benar-benar seorang Melayu sejati!"Suara Aditya terdengar lebih tegas dari sebelumnya.Pak Cik yang belum lagi bisa menguasai diri sepenuhnya kembali tertekan oleh ketegasan Aditya. Kali ini terdengar hembusan nafas panjang dari Pak Cik."Aku tak punya pilihan. Mau tak mau aku harus
Sadnya menjaga konsentrasi. Sembari bersila, tangan kanannya tak pernah lepas dari gagang Golok Melasa Kepappang. Sedangkan mata pendekar muda itu tetap terpejam. Penglihatannya kini semata-mata mengandalkan mata batin.Didepannya, sosok Antu Banyu mulai beringsut, memainkan rambut dan lidah yang mulai terjulur panjang. Seolah hendak melilit dan menghisap darah siapapun yang berada di depannya.Dalam situasi yang terus mendesak, anehnya, Rampog dan Pisau Terbang yang berada di dekat Sadnya sama sekali tak bisa melihat Antu Banyu. Mereka tahu ada pertempuran besar yang bakal terjadi. Pertempuran hidup mati di level yang sulit dijelaskan oleh nalar. Tapi anehnya, walaupun mereka tahu apa yang akan terjadi, mereka sama sekali tak bisa melihat pertarungan itu sendiri.Di pihak Antu Banyu, ia berkali-kali berusaha membuyarkan konsentrasi Sadnya. Pola yang ia lakukan tak berubah. Menyerang dan melemahkan sisi manusiawi Sadnya. Tapi usaha kerasnya kali ini menemui jalan buntu. Sadnya sama se