Dengan susah payah, Pendekar Pisau Terbang dan dua ratusan sisa-sisa pasukan Rajaputra Aruna akhirnya mampu membentuk formasi cakrayubha. Formasi tempur berbentuk spiral berlapis-lapis itu selain ditujukan untuk bertahan, juga dilakukan untuk menjebak pasukan Sriwijaya yang menyerang.Rajaputra Aruna dan Pendekar Pisau Terbang berada di tengah-tengah formasi yang dibentuk. Pendekar Pisau Terbang lalu menggeser posisinya ke lapis kedua. Tameng-tameng kayu berbaris-baris diangkat seperti payung untuk melindungi mereka dari panah api pasukan Sriwijaya.Sebentar saja, tameng-tameng kayu pasukan pemberontak dipenuhi anak panah pasukan Sriwijaya. Puluhan prajurit pemberontak langsung terjengkang. Melepas nyawa. Sisanya yang lain tetap berusaha mempertahankan diri.Perahu terdepan pasukan Sriwijaya yang ditumpangi Senapati Madya Arsa hampir menjangkau posisi pasukan pemberontak. Menyadari posisi itu, Senapati Madya Arsa segera berhenti dan memerintahkan Abinawa untuk menghentikan serangan pa
"Syiuuuut....! Syiuuuut...! Buuum!"Satu senti sebelum mata Golok Melasa Kepappang mengenai batok kepala Datuk Lepu, sekonyong-konyong sebuah serangan mendadak dilancarkan oleh Cakar Macan.Sadnya sudah menduga serangan itu. Dengan mudah ia menghindarinya. Tapi mau tak mau serangan Cakar Macan menunda kematian Datuk Lepu."Hei...siapa kau keparat? Berani sekali kau menolong datuk tua cabul tak ada guna ini?" hardik Sadnya pada Cakar Macan."Ah...ah...jangan terburu emosi senapati muda! Aku hanya sedikit menunaikan hutangku pada Anak Raja tak tahu diri itu!" jawab Cakar Macan seenaknya."Apa maksudmu Cakar Macan?""Pemberontakan dan perang saudara ini bukan urusanku! Kalian, kau, Pangeran Indrawarman, Rajaputra Aruna, dan lainnya berbeda denganku! Kalian berebut kekuasaan besar! Sedangkan aku hanya perampok dusun yang sekedar mencari kesenangan kecil! Jadi, perang saudara dan rebutan kekuasaan ini urusan kalian! Bukan urusanku hahaha...!""Aku tak mengerti apa tujuan kalimatmu?" tanya
"Apa kabar teman lama?" terdengar suara berat seseorang menjawab amarah Pendekar Pisau Terbang. Seorang pria bertubuh kekar dengan rajah di sekujur tubuhnya tampil ke muka. Kelip nyala obor memuncul hilangkan wajahnya."Ram...pog...!" desis Pisau Terbang tak bisa menutupi rasa kagetnya. Sambil berusaha menenangkan diri, Pisau Terbang terbata-bata menjawab teguran Rampog."Apa kabarmu Ekata[1]? Lama kita tak jumpa?"Pisau Terbang terdiam mendengar sapaan Rampog. Sepertinya, kedua jago tarung dari kubu yang berbeda itu sudah saling mengenal."Ram...pog...ah ya kau Rampog bukan?""Hehe...benar Ekata. Aku Rampog! Teman seperjuangan yang kau khianati dulu!""Ahhh...ma..maafkan aku Rampog!" paras muka Pisau Terbang mendadak kelu dan sayu mendapati dirinya bertemu kembali dengan teman lamanya, Rampog."Hahaha...cuih! Begitu mudah lidahmu mengatakan maaf Ekata? Begitu mudah kau minta maaf, seperti begitu mudahnya dulu kau menghancurkan Puak Naga Hitam[2] yang kubangun susah payah," cecar Ramp
"Tahan Rampog! Jangan kau bunuh Pisau Terbang!" jerit seseorang mencegah tebasan pedang Rampog. Mendengar jeritan tersebut, Rampog langsung mengurungkan niatnya menebas leher Pisau Terbang."Sadnya! Aneh...kenapa Pendekar Golok Melasa Kepappang mencegahku membunuh salah satu gembong pemberontak ini?" tanya Rampog keheranan dalam hati. Hampir saja ia tetap meneruskan niatnya untuk memenggal leher Pisau Terbang jika Sadnya tak berteriak mencegah untuk kedua kalinya."Rampog! Turunkan pedangmu! Pisau Terbang penting untuk kita!""Apa maksudmu Pendekar? Bukankah si bangsat Pisau Terbang ini adalah orang kepercayaan Rajaputra Aruna? Bukankah ia orang yang sudah jelas-jelas menghabisi ratusan prajurit Sriwijaya! Apakah kenyataan itu belum cukup untuk memenggal lehernya Pendekar?""Rampog, kali ini kumohon dengarkan omonganku! Aku paham kau marah karena perbuatannya pada Sriwijaya! Tapi aku dan Sriwijaya membutuhkannya!"Rampog masih belum mengerti alur berpikir Sadnya. Ia masih dikuasai ole
Sebuah perahu sopek dengan ujung runcing melaju perlahan menyisir pantai timur Swarnadwipa yang tenang. Layar perahu berwarna putih masih terlihat tergulung ditiangnya. Cuaca masih begitu tenang. Belum ada ada yang berhembus. Dua orang pemuda yang menaikinya, dengan tenang mengayuh dayung sambil bersiul gembira."Pagi yang indah!" seru salah seorang dari mereka sambil menyiram air pada temannya."Sial kau Sarpa!" ujar pemuda yang disiram dengan jengkel. Ia lalu meletakkan dayung ditangannya dan balik menyiram temannya. Keduanya terus bermain air laut, bak bocah yang baru saja mendapatkan mainan baru.Dua orang pemuda itu ternyata Sarpa dan Kacung.Sarpa dengan gesit menghindari siraman air dari Kacung. Keduanya lantas tergelak bersama. Seolah telah bebas dari suatu beban besar."Kacung...! Hahaha...namamu kacung bukan? Seorang senapati muda Kedatuan Melayu yang harus rela berperan jadi 'kacung'! Pesuruh orang licik macam Rajaputra Aruna hahaha...!""Aih kau Sarpa...! Hahaha...sampai h
Pagi beranjak siang. Embun-embun mulai luruh satu persatu dari pucuk dedaun dan beranjak mengering. Suara binatang malam telah berganti suara burung Pipit yang terbang ringan dari dahan ke dahan perdu semak. Semua terjadi dibawah cahaya matahari yang pelan tapi pasti terus meninggi.Di pagi itu, suasana di Delta Kematian dan sekitarnya sangat mencekam. Keindahan pagi telah dirampas oleh pemandangan mengerikan. Di sana-sini terlihat mayat-mayat berserakan. Ratusan mayat prajurit Sriwijaya dan pemberontak terlihat mengambang di permukaan air Sungai Komering yang tenang. Banyak juga yang menyangkut di akar-akar pohon rengas atau pohon lain. Sebagian sudah hanyut terbawa oleh arus Sungai Komering.Suasana jadi makin mencekam, saat berekor-ekor buaya muncul pergi menyeret mayat-mayat untuk sarapan pagi. Silih berganti, di tengah air Sungai Komering yang telah berubah warna jadi coklat kemerahan karena darah.Di kejauhan, di salah satu cabang pohon loa besar, Rajaputra Aruna berdiri dengan
Siang yang terik. Sinar matahari bebas mencengkeram permukaan bumi. Cahayanya keperakan menimpa permukaan air laut yang warnanya mulai kecoklatan. Hujan di hulu sebuah muara sungai membawa berton-ton lumpur. Kerja alam membuat air di mulut muara sebuah sungai seperti dibatasi antara warna coklat dan biru. Itulah muara sungai Batanghari [1]. Sungai yang mengalirkan sejarah para raja-raja dari masa lampau hingga ke masa mendatang."Demi Sang Hyang Adi Budha! Batanghari Aditya! Hahaha...Maaaak! Baaaak! Aku pulaaaang...!"Ahaaai...kita hampir sampai Candra! Uuuh...alangkah rindunya aku dengan kampung halaman!"Candra dan Aditya bukan main girang telah sampai ke tempat yang akan mengantarkan mereka pulang ke kampung halaman. Bertahun-tahun mereka harus manahan rindu yang menggelegak.Sambil mengarahkan perahu layar agar tak tertabrak pokok-pokok kayu yang hanyut, Aditya juga Candra tak henti berucap syukur pada Sang Hyang Adi Buddha karena perjalanan mereka lancar dan tak menemui rintangan
Beberapa saat lamanya, suasana di Delta Kematian tenang dan sunyi. Sesekali hanya terdengar suara monyet, tupai, dan binatang lain. Mereka berlarian kesana kemari berburu makanan. Bagi mereka, seolah tak pernah terjadi pertempuran besar di Delta Kematian.Keheningan yang ditingkahi suara-suara alam itu dimanfaatkan Sadnya untuk mencari tahu asal suara perempuan yang memanggilnya tadi. Matanya menatap tajam ke tiap penjuru Delta Kematian. Berulang kali ia lakukan. Berulang kali juga ia tak menemukan yang dicari."Aneh," desis Sadnya penasaran. Disebelahnya, Rampog memperhatikan dengan heran perilaku Sadnya. Rampog kemudian memberanikan diri bertanya pada Sadnya."Pendekar, kulihat kau dari tadi gelisah. Kulihat juga matamu kesana kemari mencari sesuatu. Ada apakah gerangan?"Sadnya tak bereaksi. Ia terus melemparkan pandangan ke tempat jauh. Sesekali matanya membentur ke tempat Rajaputra Aruna berada."Pendekar! Kau dengar suaraku?" tanya Rampog kembali."Eh...iya Rampog. Kau bilang ap