Keesokan harinya Bima membuka pintu gubuk kecil reyot itu lalu keluar. Langkahnya berjalan menuju ke arah pepohonan di belakang gubuk. Dia melihat kereta kuda yang masih berada di sana tak kurang suatu apa. Arimbi pun keluar setelah memakai pakaiannya. Kini kulitnya sudah kembali ke sedia kala. "Kakang..." panggil gadis itu sambil menenteng pedang suci Shang Widi. Bima berhenti dan menunggu gadis itu berada di dekatnya. "Ada apa?" tanyanya datar. Arimbi menatap wajah Bima dengan wajah malu-malu. "Terimakasih untuk pertolongan mu semalam..." ucap gadis itu. Bima tersenyum kecil lalu kembali melangkah sambil melambai. "Tak usah kau pikirkan," ucapnya. Arimbi mengikuti langkah Bima yang menuju ke kereta kuda. "Hei, apakah kau masih tidur?" seru Bima di dekat kereta. Dari dalam terdengar suara pintu dibuka. Lalu muncullah wajah Banu Wijaya. Bima terkejut melihat sosok yang ada di depannya. "Kau... kau bangsawan tambun yang kemarin kan?" tanya Bima. Sosok itu tersenyum. Dia ad
Kabar kematian Jaya Dipa dan enam murid nya menjadi buah bibir di Perguruan Ular Hitam. Mereka penasaran, siapa yang membunuh secara keji tujuh tersebut. Menyikapi kejadian yang menggemparkan itu, para sesepuh dari Perguruan itu mengadakan rapat dadakan. Mereka tak ingin ada kejadian serupa di Perguruan mereka. Setelah dilakukan penyelidikan, ternyata ada tiga orang murid yang masih berada di ranah Tubuh Besi melapor. Mereka mengaku telah menyewa kakak seperguruan mereka dengan membayar seribu tail emas untuk merampok seorang Bangsawan. "Jadi kalian yang menyuruh mereka merampok bangsawan dari Kota itu!? Kalian gila apa!? Jika kabar ini sampai ke para penguasa di Negara Angin, desa kita bisa di ratakan! Bodoh!" ucap salah satu sesepuh bernama Ki Kalam. "Kami... kami tidak tahu akan jadi seperti ini Ki... kami kira dua pengawal Bangsawan itu tidak begitu Sakti," ucap si murid. "Aku juga menemukan mayat dari pengawal Bangsawan tersebut. Kemungkinan besar dia yang membantai Jaya Dip
Menjelang malam pemilik penginapan itu membawakan makan malam untuk empat orang tersebut. Karena Banu sudah membayar mahal, maka pelayanannya pun sedikit istimewa. Malam itu mereka makan dengan lauk kambing guling. Pemilik penginapan menyiapkan kambing guling itu seharian lamanya. "Dagingnya sangat empuk dan nikmat," puji Banu sambil mengunyah makanannya. Tak ada yang menyahut karena semua asyik dengan makanannya sendiri. Saat mereka tengah asyik makan, tiba-tiba terdengar keramaian di luar sana. Bima menghentikan makannya. Dia segera meraih pedangnya. "Mereka sudah menemukan kita, bersiap terjadinya serangan," ucap Bima. Arimbi segera menyambar pedang suci. Dia mengikuti langkah Bima. Banu malah tetap asyik makan. Suli menggelengkan kepalanya melihat tuannya malah asyik dengan sendirinya. "Tuan, musuh sudah menemukan kita, ini waktu yang tepat untuk melatih kekuatan baru anda," ucap Suli. Seketika Banu tersentak. Dia jadi ingat dengan kekuatan barunya. "Benar Paman, aku haru
Manik mengangkat tangan kanannya. Dari telapak tangannya keluar dengan perlahan satu pedang berwarna merah membara. Bima menatap dengan rasa penasaran. "Jadi pendekar di ranah Keabadian bisa mengeluarkan senjata dari tubuhnya?" batin Bima."Kau tahu, ini adalah senjata roh, hanya mereka yang sudah berada di ranah ini yang bisa membuat senjata roh mereka sendiri, kau tahu, seberapa besar jarak kekuatan di antara kita?" ucap Manik dengan senyuman sinisnya. Bima menggenggam erat pedangnya. Dia tak peduli dengan senjata roh atau apa pun itu. Saat ini dia juga mempunyai senjata sakti milik gurunya. Bima melesat dengan cepat. Saat bergerak dia mengumpulkan kekuatan pada pedang di tangan kanannya. Aura dingin merebak dengan cepat menekan semua orang yang ada di sana. "Bodoh!" ucap Manik lalu melemparkan senjata nya yang berupa tombak berwarna merah. Tombak merah itu menerjang dengan cepat. Bima langsung menangkis menggunakan p
"Aaaaaarrrrghhh"Manik berteriak keras karena pedang Darah milik Bima menembus lengannya. Rasa sakitnya luar biasa. Darah segar pun meleleh dari luka nya tersebut. Bima dengan susah payah bangkit berdiri. Lehernya terasa panas dan sakit. Dengan cepat dia alirkan tenaga dalam inti es miliknya untuk meredakan rasa panas yang menyiksa di lehernya. "Tadi itu sangat berbahaya... Untung ada Banu yang mengeluarkan hawa Iblis miliknya, sepertinya dia tengah mengamuk,"Bima mengarahkan tangannya ke arah pedang yang masih menancap di lengan Manik. Dengan cepat dia mencabut nya menggunakan jurus bayangan. Manik mengerang kesakitan. Seumur hidup baru sekali itu dia terluka parah. "Pemuda keparat...! Aku bersumpah akan mengorek jantungmu dan memakan nya mentah-mentah!" teriak Manik lalu di kejap berikutnya tubuhnya telah melesat cepat ke arah Bima. Senjata jiwa bermunculan dari sekujur tubuhnya. Bima tak peduli lagi dengan
Banu Wijaya melepas pukulan kerasnya ke arah Manik. Di saat yang sama, Manik langsung melesat ke arah Banu. Saat berada di hadapan Banu, tiba-tiba Manik seperti berubah menjadi asap. Namun itu hanyalah ilusi yang membuyarkan pikiran Banu. Di kejap berikutnya tangan Manik telah menghantam dada pemuda itu hingga terpental jauh! Tubuh Banu menghantam beberapa rumah hingga hancur berantakan. Hanya dalam sekali tinju membuat Banu pingsan tak sadarkan diri. Dadanya terluka parah oleh tinju Manik. Arimbi menatap dengan cemas. Dia segera menyusul Banu yang berjarak sepuluh tombak dengannya. Bima menatap Manik yang terlihat bangga dengan kekuatan miliknya. "Sudah?" tanya Bima. Mata Manik berkilat merah mendengar pertanyaan itu. Dengan kekuatan roh miliknya dia menyemburkan gelombang merah dari mulutnya ke arah Bima. Bima tak sempat menghindar karena jarak yang begitu dekat. Dengan pedang Darah miliknya dia menahan serangan gelo
Bimasena masih terbaring lemah setelah seharian tergeletak. Sama halnya dengan Banu Wijaya yang masih merasa sakit pada bagian dadanya. Arimbi dengan sabar merawat dua orang tersebut. Sayangnya luka yang ada pada Banu terlalu parah. Dia butuh waktu lama untuk pulih, sementara tempat itu sudah pasti tidaklah aman. "Kakang, apa yang harus kita lakukan?" tanya Arimbi sambil bersimpuh di sebelah tubuh Bima. "Tunggu aku sehari lagi, aku butuh waktu cukup lama untuk pulih karena tenaga dalamku hampir saja habis..." kata Bima. "Kakang dan Banu mempunyai sesuatu yang sama, bagaimana bisa kang?" tanya Arimbi. Bima tersenyum. DiaDia tatap bola mata gadis itu yang terlihat kuyu. "Nanti akan aku ceritakan padamu, kamu terlihat lelah, tidurlah sebentar, jangan sampai kamu sakit, kita akan kerepotan nanti," kata Bima membuat Arimbi tersenyum senang. Lagi-lagi Bima memberikan perhatian padanya. "Baiklah aku akan tidur, aku
Bima melesat dengan cepat dengan penuh semangat. Hingga akhirnya dia sampai di rumah terakhir yang sudah hancur akibat serangan Manik dan para pengikutnya di desa itu. Bima berdiri di tengah jalan menghadang rombongan berkuda dengan jumlah yang cukup banyak. Rombongan itu berhenti. Wicaksono menatap tajam, lalu dengan cepat dia cabut pedangnya. "Hei, kisanak, apa yang kau lakukan di tengah jalan! Menyingkir lah atau mati!" hardik Wicaksono. Bima tersenyum kecil. Dia cabut pedangnya. "Waktunya makan pedangku..." ucap Bima dengan seringainya yang membuat para murid itu tegang. Tanpa babibu lagi Bima melesat kearah rombongan itu. Mata kanan nya memancarkan sinar biru. "Hati-hati! Dia akan menyerang!" teriak Wicaksono. Namun terlambat, Bima sudah melompati nya dan langsung mengarah ke para murid yang ada di belakang. "Mengirim bocah Tubuh Besi padaku? Kalian sangat konyol!" ucap Bima masih den
Tangan Darah mencoba bangkit berdiri. Meski dengan gontai dia berhasil berdiri kembali. Sekujur tubuhnya melepuh terkena serangan Petir Semesta milik Ki Romo.Sedangkan Ki Romo tak lebih baik dari Tangan Darah, setelah terpental keras tubuhnya malah justru melesat ke arah perisai emas milik Ratu Azalea.Saat tubuhnya menghantam perisai emas milik Ratu Azalea, Ki Romo merasa tubuhnya remuk dan terbakar.Beberapa saat lamanya dia tak bisa bangkit berdiri kerena tubuhnya tak bisa dia gerakan.Tangan Darah berjalan kearah Ki Romo dengan langkah perlahan. Wujudnya yang terlihat hancur menambah keangkeran sosok pengikut Bima tersebut."Harus dibunuh...harus dibunuh..." gumam Tangan darah.Ki Romo mencoba mengangkat tubuhnya. Namun tidak bisa. Kakinya telah patah setelah menghantam perisai emas milik Ratu Azalea."Bagaimana bisa disini terpasang sebuah perisai yang sangat kuat...?bahkan lukaku justru aku dapat karena menghantam perisai aneh ini...!" batin Ki Romo masih mencoba untuk bangkit
Tangan Darah terpental setelah menangkis serangan beruntun dari Ki Romo,salah satu dari Tiga Setan Emas.Ki Romo yang dibantu oleh enam pengikutnya berhasil sedikit mendesak Tangan Darah."Siapa makhluk menyeramkan ini? kalau melihat serangan yang dia lancarkan aku tidak merasa asing. Pukulan itu seperti milik seorang pemburu Harta Karun yang pernah ramai dibicarakan oleh Yang Mulia. Dia adalah Datuk Manggala! Orang yang pernah mengalahkan Ketua Pemburu Senyap, Panglima Kerajaan!" batin Ki Romo dengan wajah berubah sedikit pucat.Kejadian Datuk Manggala mengalahkan panglima Kerajaan adalah sebuah cerita lama. Sebelum para pendekar kerajaan berkembang pesat seperti sekarang.Datuk Manggala pernah di ajak oleh kerajaan untuk bekerjasama dalam mencari sebuah harta karun yang konon bisa membawa mereka keluar dari pulau kutukan tersebut.Namun seperti yang di duga,Datuk Manggala tidak mau bergabung dan memilih untuk mencarinya sendiri.Panglima kerajaan mengancam akan mengurung Datuk Mangg
Wujud Bima saat ini telah berubah menjadi wujud Balaraja. Sosok iblis dengan tanduk berwarna emas.Ki Sutan yang melihat perubahan wujud Bima terkejut. Dia tak pernah menduga jika lawannya dari tadi adalah manusia setengah iblis.''Jadi kau manusia setengah iblis? Tak disangka sama sekali ada manusia selain tuan Anggoro yang juga mempunyai kekuatan ibis,huh! tapi kau berbeda dengannya. Aku tak takut sama sekali pada iblis sepertimu!" umpat Ki Sutan.Bima tersenyum sinis. Matanya menatap tajam ke arah Ki Sutan."Aku tak peduli dengan ocehan mu itu! ayo kita lanjutkan lagi pertarungan kita!" teriak Bima lalu menancapkan Pedang Darah ke tanah. 'Jurus Bayangan Ganda!" seru Bima dalam hati.Pedang Darah miliknya bersinar emas.Dari dalam pedang itu muncul dua sosok yang menyerupai Bima. Keduanya langsung menyerang dengan cepat ke arah Ki Sutan. Terkejut dengan serangan dua bayangan yang menyerupai Bima tak membuat Ki Sutan lengah. Dengan jurus Tinju Semesta, Ki Sutan menyongsong serangan
Bima bangkit berdiri. Dia merasakan dadanya sesak setelah terpental jauh karena ledakan Tinju Semesta milik Ki Sutan. "Kekuatan yang sangat dahsyat, apakah ini kekuatan khusus miliknya?" batin Bima sambil menatap ke depan. Ki Sutan berjalan dengan seringai di bibirnya. Tubuhnya terlihat lebih besar dari saat pertama Bima melihatnya. "Bisa bertahan dari serangan Tinju Semesta milikku, aku akui, kau satu-satunya pendekar kelas atas yang bisa melakukannya," kata Ki Sutan memuji. Bima tak menyahut. Dia berusaha mengembalikan jalan napasnya yang sempat sesak. "Tapi, kau hanya beruntung karena tinju ku ini tidak mengenai wajahmu secara langsung... Jika tinjuku berhasil mengenai wajahmu, mungkin kepalamu sudah hilang..." Ucap Ki Sutan lagi. Bima menyeringai. "Jangan banyak membual, coba saja kau buktikan, apakah benar tinju mu itu sesakit yang kau katakan?" tantang Bima. Ki Sutan menggeram marah. Dia melebarkan kedua kakinya lalu mengeluarkan kekuatan sejati miliknya hingga tanah ber
Dengan Pedang Hantu Biru Bima melesat ke langit lalu terbang mengitari desa. Matanya menyapu sekeliling desa dan dia menemukan tiga kelompok yang terpisah seperti yang Kalabunta katakan. Dengan perlahan Bima terbang rendah mengintai kelompok Ki Sutan dari belakang. "Satu Ranah Puncak Tulang Dewa, lima ranah Tulang Dewa tahap tengah. Tidak buruk," batin Bima. Diambilnya beberapa jarum senjata rahasia. Lalu dengan menggunakan Kekuatan Ruang dan Waktu, Bima menghentikan waktu sesaat. Tubuhnya melesat cepat dan melempar tiga jarum ke arah mereka. Saat jarum itu tepar berada di dekat tubuh mereka, Bima kembali menghilang lalu melepas Waktu kembali. Clep! Clep! Clep! Tanpa suara tiga pemburu Senyap tewas setelah leher mereka di tembus jarum milik Bima. Ki Sutan yang mendengar suara benda menancap di leher anak buahnya segera menoleh. Dia sangat terkejut melihat tiga anak buahnya mati tanpa tahu siapa yang membunuh. "Gawat! Ada yang mengintai kita!" ucap Ki Sutan perlahan. Dia menata
Matahari mulai tenggelam. Cahaya emas yang bersinar dari ufuk barat perlahan mulai menghilang digantikan kegelapan malam. Suara lolongan anjing hutan pun mulai terdengar. Dari balik pohon besar yang ada di pinggir desa, berdiri beberapa sosok berpakaian hitam. Wajah mereka mengenakan topeng. "Kau yakin mereka adalah orang yang berhasil mengalahkan dua tim yang seharusnya menjemput ketua Anjani?" tanya satu sosok dengan topeng bergaris biru. Melihat yang lain semuanya memakai topeng bergaris merah, agaknya orang dengan topeng bergaris biru itu adalah ketua kelompok tersebut. "Benar tak salah lagi, pemuda dengan kekuatan es itu ada di rombongan tersebut. Hanya saja ciri-cirinya tidak begitu jelas," kata sosok lain. "Apakah kau yakin dia bukan murid Perguruan Harimau Perak?" tanya sosok bertopeng garis biru. "Pasti salah satu tetua mereka yang melakukan serangan kepada tim Nyai Anjani. Hanya saja tidak ada berita mengenai ciri-ciri khusus dari pendekar tersebut. Hanya dikatakan pe
Bima memejamkan matanya. Dia pun mulai merasa tidak nyaman setelah mendengar cerita dari Ratu Azalea. "Jadi, selama ini kamu sudah tahu jika kita akan bersama... Kamu juga tahu kita akan menyerang kerajaan, kenapa dari awal kamu tidak melarang ku untuk pergi ke kerajaan?" tanya Bima. "Itu jelas tidak mungkin, kau sudah tahu, hukuman yang akan ku Terima jika aku melawan takdir. Seratus tahun. Aku tak mau dihukum seperti itu lagi. Aku hanya ingin bisa di samping dirimu selama mungkin, baik dalam keadaan senang maupun duka, aku tak akan peduli..." kata Ratu Azalea. Bima mengecup kening istrinya dengan lembut. "Apa yang akan terjadi di masa depan jika kamu ikut membantuku menghancurkan mereka?" tanya Bima. "Kakang akan kehilangan diriku, hanya itu yang aku tahu, kita akan berpisah...dan aku tidak tahu karena apa," jawab Ratu singkat namun membuat Bima seperti dihantam palu raksasa. "Bagaimana bisa aku akan kehilangan dirimu? Apakah tidak ada petunjuk apa yang membuat kita berpisah?"
Bima terdiam setelah Ratu Azalea menjawab pertanyaan nya. "Untuk apa kamu melakukan itu Ratu?" tanya Bima. Ratu Azalea tersenyum. Dia membelai pipi suaminya dengan lembut. "Untuk menjagamu, Sinar Pengikat Jiwa ini juga aku pasangkan pada Tangan Darah. Sebelumnya mereka berdua adalah musuh, ketika kamu menjadikan mereka pengikut, mereka akan mengikuti mu karena kamu lebih kuat. Namun, tak ada yang namanya kesetiaan abadi. Kakang, ingat pemberontakan Lesmana kepadaku?" tanya Ratu Azalea. Bima mengangguk. "Dia adalah orang yang paling ku percaya dalam banyak hal setelah Pamannya. Tapi dengan mudah dia membuang kepercayaan itu, dan menusuk dari belakang setelah aku dalam keadaan lemah. Jika bukan karena pertolongan mu, mungkin aku sedang di permainkan olehnya," kata Ratu Azalea. Kini Bima paham apa tujuan istrinya menaruh Sinar Pengikat Jiwa kepada dua pengikut nya itu. Namun sebenarnya, tanpa Sinar Pengikat Jiwa sekalipun, Tangan Darah tak akan mampu berkhianat. Karena sekali Bima
"Kenapa... Kenapa kamu memilih aku sebagai pengikut mu?" tanya Subali. Bima melangkah mendekati Subali yang tengah di obati oleh Wulan. "Musuhku adalah kerajaan besar. Mereka mempunyai banyak Pendekar kelas atas, dan tidak sedikit dari mereka rata-rata adalah petarung ranah Tulang Dewa. Aku butuh kekuatan untuk menghancurkan mereka," jawab Bima. "Apakah ada dendam yang membuat mu ingin menghancurkan mereka?" tanya Subali. Bima mengangguk. "Dosa mereka sangat banyak, Dewa menutup mata. Itu artinya Iblis lah yang harus menjadi hakimnya, bukan begitu?" jawab Bima. Subali tidak tahu dendam apa yang Bima emban hingga menginginkan kehancuran pada kerajaan Angin. Tapi dia paham, dendam itu pasti sangat dalam dan menyakitkan. "Apakah hanya beberapa Pendekar ini cukup untuk melawan mereka? Aku mendengar kabar mereka mempunyai kekuatan yang dahsyat. Ada beberapa tetua kerajaan yang pernah melewati tempat ini, dan mereka berada di Ranah Cakrawala tahap Tengah." kata Subali. "Ranah Cakraw