Pasir yang diinjak tiga pembokong itu tak bersuara sama sekali. Ketiga orang yang ingin menyerang dari belakang itu merasa mereka bakalan dengan mudah menghabisi Tunggulsaka. Mereka yakin sebentar lagi bekas Senapati Tunggulsaka akan terbujur kaku di atas pasir Pantai Utara.
Secara serentak Jegonglopo dan dua kawannya mengayunkan golok masing-masing sekuat tenaga untuk mencincang tubuh Tunggulsaka. Jegonglopo ingin membelah kepala, dua temannya ingin memangkas bahu kanan dan bahu kiri Tunggulsaka!
Wut! Wuut! Wuuut!
Tiga golok tajam berkilat-kilat terayun kuat menuju sasaran.
Trang!!!
Pedang terpegang kuat di tangan kanan Tunggulsaka menangkis tiga golok secara bersamaan. Benturan keras terjadi. Jegonglopo dan dua anak buahnya terdorong mundur beberapa tombak sambil tetap memagang golok masing-masing yang hampir lepas dari genggaman!
Ketiga pembokong terlongong. Mereka berdiri tegak dalam keadaan bengong. Mulut menganga, mata membelalak saking kagetnya. Mereka tidak percaya sesuatu di luar perhitungan telah terjadi.
Tunggulsaka berdiri tegak seolah-olah kedua kaki menancap di pasir putih. Bekas senapati itu memandang tajam kepada tiga orang yang gagal membokongnya.
“Heran karena aku tahu gerak-gerik kalian?” tanya Tunggulsaka bernada sinis. “Golok tajam kalian yang berkilat-kilat tertimpa sinar matahari dari arah barat, kilatan itu menerpa tubuhku. Aku melihat tangan kananku tertimpa kilatan sinar dari golok kalian. Jadi aku tahu ada yang ingin menyerangku dari belakang. Saat itu aku langsung mencabut pedangku secara diam-diam untuk menangkis golok kalian.”
Sungguh luar biasa senapati dari Karangtirta ini. Kata batin Jegonglopo. Kalau bukan Senapati Tunggulsaka pasti sudah mati dengan tubuh rejam. Namun karena kehebatannya dalam mencium gelagat lawan, bisa terhindar dari bahaya.
”Hebat..., hebat..., kamu benar-benar senapati Karangtirta yang dapat diandalkan,” kata Jegonglopo disertai senyum tipis bernada meremehkan.
”Jangan sebut aku sebagi senapati Karangtirta! Aku sekarang rakyat jelata dari Kerajaan Karangtirta. Siapa namamu? Mengapa kamu dan teman-temanmu ingin membunuhku? Apakah aku pernah bersalah pada kalian atau pun kerabat kalian?”
Jegonglopo memperhatikan wajah Tunggulsaka yang berwibawa dan tegas dalam mengucapkan kata-kata. Kata-kata tanya yang memojokkan orang-orang suruhan Ganggayuda itu. Raut wajah Tunggulsaka terlihat tenang.
”Aku Jegonglopo,” Jegonglopo berterus terang. “Kalau kamu sudah mengenal Olengpati, aku ini salah satu anak buahnya. Dari sekian anak buah Olengpati, aku termasuk yang paling dia percaya untuk melakukan tugas-tugas berat. Kedatanganku kemari hanya satu, melenyapkan sesuatu yang sekarang berada di depan mataku.”
Kata-kata bernada ancaman yang diucapkan Jegonglopo terkesan merendahkan Tunggulsaka. Namun Tunggulsaka kebal terhadap gertakan kelas rendahan seperti itu. Tunggulsaka malah tersenyum mendengar gertakan Olengpati. Kalau Jegonglopo suruhan yang paling dipercaya, berarti punya kehebatan linuwih dibandingkan anak buahnya yang lain. Begitu kata hati Tunggulsaka. Kalau Jegonglopo anak buah andalan Olengpati, kenapa untuk membunuhku saja mesti main keroyokan? Selain itu au curiga, ada orang di belakang Olengpati.
”Jawablah secara terus terang, Jegonglopo!” desak Tunggulsaka. “Siapa sebenarnya yang menyuruhmu? Apakah benar-benar Olengpati yang menyuruhmu? Ataukah orang lain selain Olengpati yang menyuruh kamu dan dua temanmu?”
Tunggulsaka kelihatannya curiga tentang siapa yang menyuruhku. Dia mencurigai ada orang lain yang menyuruhku selain Olengpati. Aku harus merahasiakan siapa yang menyuruhku untuk membunuh Tunggulsaka. Ini rahasia besar yang haruskujaga dengan nyawa sebagai taruhannya.
”Yang menyuruhku untuk mencarimu sampai ketemu adalah Olengpati. Olengpati secara tegas mengatakan, kalau ketemu Tunggulsaka, langsung bunuh. Olengpati memerintahkan kami bertiga untuk membunuhmu.”
”Bohong!” keras kata-kata Tunggulsaka. “Tidak mungkin! Itu tidak mungkin. Dengan alasan apa pun, tidak mungkin Olengpati menyuruhmu untuk membunuhku.”
”Kenapa tidak mungkin? Semua ada kemungkinannya. Kamu meremehkam Olengpati?”
”Terus terang, iya! Olengpati itu siapa kok bisa punya pemikiran untuk membunuhku? Apa untungnya Olengpati membunuhku? Mau menjadi senapati di Kerajaan Karangtirta?”
Jegonglopo terdiam. Dia mendapati jalan buntu untuk menjawab pertanyaan telak dari Tunggulsaka. Pertanyaan Tunggulsaka sulit dijawab karena Olengpati bukan prajurit. Olengpati hanyalah pimpinan gerombolan perampok. Pemimpin gerombolan yang suka menggarong ke rumah-rumah penduduk yang dipandang kaya. Tidak ada hubugannya dengan Senapati Tunggulsaka atau pun pangkat kasenapaten yang melekat pada diri Senapati Tunggulsaka, saat masih menjadi senapati di Kerajaan Karangtirta.
Seseorang menyuruh orang lain untuk membunuh pasti ada keuntungan yang diperoleh saat korban pembunuhan telah mati. Olengpati mendapatkan keuntungan apa kalau Tunggulsaka mati? Itu pertanyaan mendasar yang berkecamuk dalam pikiran Tunggulsaka. Maka Tunggulsaka memastikan bahwa yang menyuruh Jegonglopo untuk membunuh dirinya adalah bukan Olengpati. Kalau begitu siapa?
Pertanyaan ini yang mesti dicari jawabnya dari Jegonglopo sekarang.
“Aku tahu, Olengpati dan kamu beserta cecurut-cecurut itu hanya wayang. Hanya kroco-kroco. Pasti ada dalang di balik ini. Kalian semua ini ini hanya wayang yang dimain-mainan oleh seseorang. Pasti ada dalang atau pemimpin tertinggi yang mengerakkan kalian untuk membuat kekacauan di Kerajaan Karangtirta. Katakan siapa yang menyuruhmu untuk membunuhku! Bila kamu katakan, maka kamu akan kubiarkan menikmati gerlapnya dunia. Kalau kamu bungkam, dirimu tak akan selamat!”
”Huahahaha..., kamu benar-benar pintar, Tunggulsaka!” Jegonglopo mengakui kecerdasan Tunggulsaka. “Sayangnya aku tidak akan menawab pertanyaanmu. Karena kujawab pun tidak ada manfaatnya. Sebentar lagi kamu akan menemui ajal, hiaaat!”
Serentak Jegonglopo dan dua temannya mengayunkan golok masing-masing untuk membunuh Tunggulsaka secepatnya.
Tunggulsaka bergerak cepat. Dia memutar pedangnya dengan sabetan-sabetan kilat. Menangkis serangan ketiga lawannya, sekaligus balas menyerang. Dentingan-dentingan suara senjata beradu memekakkan telinga. Kerasnya dentingan suara senjata beradu, menyaingi suara deburan ombak yang menghantam batu karang.
Suatu saat tubuh Tunggulsaka melenting tinggi dengan sabetan pedang mengarah ketiga lawannya. Dia ingin menebas kepala tiga pengeroyoknya. Bagi Tunggulsaka, tak guna melihat manusia-manusia tengul itu. makin lama menatap wajah mereka, makin membuat mual saja! Daripada hati sebal menyaksikan aksi mereka, lebih baik dilenyapkan saja!
Trang! Ting! Tang!
Ketiga golok menangkis ayunan pedang yang disertai tenaga dalam. Ketiga orang suruhan Ganggayuda itu merasakan tangan mereka kesemutan. Getaran senjata beradu membuat ketiga begundal itu mengakui bahwa Tunggulsaka kesatria tangguh yang layak dikagumi oleh kawan atau pun lawan.
Saat pedang dan golok beradu, kedua kaki Tunggulsaka mendepak dada lawan-lawannya. Ketiga lawan terhayung dengan dada sesak. Tunggulsaka memutar pedangnya dengan gerakan kilat.
Dua lawannya terbabat. Satu tergores kepalanya cukup dalam, satunya lagi teriris lehernya. Keduanya tergeletak di pasir pantai dalam keadaan tak bernyawa!
“Benar kata orang, Tunggulsaka bukan senapati sembarangan,” kata Jegonglopo pada musuh di depannya. Tunggulsaka berdiri tegar dengan pedang yang ujungnya berdarah. Gagang pedang tergenggam erat dalam rengkuhan jari-jari kokoh di telapak tangan kanan.
“Tapi kamu harus tahu bahwa Jegonglopo juga tidak bisa dianggap sepele,” kata Jegonglopo sambil membuang goloknya ke pasir pantai. Golok menancap di pasir putih. Ada ombak yang menelan golok itu.
Dari balik bajunya dia mencabut senjata andalannya. Sebuah tombak pendek yang memancarkan sinar merah membara dan menebarkan hawa panas. Tombak Wisodahono! Sebuah tombak sakti yang pernah menggetarkan dunia persilatan beberapa waktu yang lalu karena kesaktiannya.
”Tunggulsaka..., jangan merasa dirimu berada di atas angin! Nih..., terimalah ajalmu!”
Jegonglopo melesat dengan tombak sakti meluncur ke arah dada lawan. Tunggulsaka cepat-cepat memasukkan pedang ke sarungnya. Tunggulsaka pun mencabut senjata andalannya. Sebilah keris yang diselipkan di pinggang. Keris Tejawulung! Sebilah keris yang memancarkan sinar biru juga berhawa panas menebar ke sekelilingnya.
Trang!
Dua senjata beradu. Jegonglopo terpental mundur dua tombak, Tunggulsaka tetap tegak berdiri di tempatnya semula. Malah dia balik melancarkan serangan ke arah lawan dengan sabetan-sabetan keris saktinya.
Jegonglopo beberapa kali berhasil menangkis serangan lawan. Namun dia terus mundur karena keteter, sehingga Tunggulsaka berhasil menendang perut Jegonglopo. Anggota gerombolan Olengpati itu terhuyung-huyung dengan pandangan mata kabur.
***
Sebelum menemukan satu cara untuk menghadapi jurus lawan, tiba-tiba Suro Joyo tertawa-tawa riang. Dia ingat sesuatu. Sesuatu itu adalah nama jurus terakhir yang akan dikeluarkan lawannya. ”Hehehe..., aku sudah tahu sekarang!” kata Suro Joyo. “Kamu mau mengeluarkan Jurus Ular Api Neraka. Iya kan? Ah..., tapi aku ngak percaya kalau jurusmu itu hebat. Soalnya caranya seperti cacing kepanasan... !” ”Suro Joyo! Tak perlu banyak bacot! Sekarang bersiap-siaplah kukirim ke neraka, hiaaat…!” teriak Sanggariwut sambil melompat tinggi dengan gerakan tangan siap mencakar lawan. Gerakan cepat yang dilakukan Sanggariwut ini merupakan kembangan dari jurus mautnya. Kembangan jurus ini dinamakan gerakan ’Ular Neraka Mematuk Mangsa.’ Sanggariwut meluncur ke arah Suro Joyo untuk mencakar wajah lawan. Secara sigap, Suro Joyo melibaskan pedang saktinya untuk menebas leher Sanggariwut. Namun Sanggariwut malah menggenggam ujung pedang Suro Joyo dengan tangan kanannya. Sedangkan tangan kiri siap mencakar
”Kalau kamu tak percaya, akan kubuktikan sekarang juga, hiaaat...!” seru Wadungsarpa sambil menusukkan kerisnya ke arah leher lawan.Sargo cepat menangkis dengan pedangnya. Terdengar dentingan nyaring disertai sinar berkilatan. Saat pedang Sargo berbenturan dengan keris lawan, pedang itu patah menjadi beberapa bagian.Senapati Pulungpitu itu terbelalak kaget. Wadungsarpa tak memberi kesempatan, dia segera melesat cepat dengan ujung keris mengarah dada lawan.Gerakan Wadungsarpa sangat cepat, membuat Sargo panik. Dia tak mungkin menangkis senjata sakti Wadungsarpa hanya dengan menggunakan pedang yang tinggal gagangnya! Ketika Sargo sedang berpikir untuk menyelamatkan diri, Keris Kawungtunjem terus melesat untuk menembus jantungnya!Secara tak terduga, tiba-tiba terdengar ledakan keras. Baru saja terjadi benturan keras antara Keris Kawungtunjem dengan Pedang Dadaplatu. Benturan dua senjata sakti juga menimbulkan pijaran api. Pedang sakti berkelo
“Bisa saja. Makanya, aku lebih baik menjadi pendekar pengembara.”Kedua pendekar muda itu bercakap-cakap cukup lama. Sampai tak menyadari kehadiran Ratri di dekat mereka.”Oh, Nona Ratri!” sapa Sargo yang lebih dulu mengetahui kehadirannya. ”Belum tidur?””Belum, aku merasa sulit tidur. Maka aku kemari kerena juga ada perlu dengan Suro,” jawab Ratri. Sekaligus menyuruh Sargo meninggalkan tempat itu secara halus.”Kalau begitu, aku permisi dulu,” kata Sargo tahu diri.“Maaf, Senapati, kalau mengganggu.”“Tidak apa-apa, Nona. Mari Suro!””Mari,” sahut Suro Joyo. Lalu Sargo bergegas masuk ke rumah.Samar-samar wajah cantik Ratri diterangi oleh sinar lentera yang tergantung di teras. Sebenarnya dada Suro Joyo sedikit berdesir-desir seperti orang naksir. Namun dia tahan sekuat tenaga. Untuk saat ini dia belum berminat memikirkan kekasih.
Keksi Anjani menghantamkan Ajian Maruta Seketi ke arah dada Miguna. Hantaman angin puting beliung siap menghempaskan tubuh tua itu sejauh ribuan tombak. Atau bisa juga membenturkan tubuh Miguna dengan benda keras hingga remuk!Terdengar suara puting beliung menggiriskan hati.Miguna memutar pedang saktinya di depan dada. Lalu dia silangkan pedang di depan dada. Ketika angin puting beliung menghantam dada, angin deras itu membalik ke arah Keksi Anjani!Keksi Anjani menghindar, angin puting beliung menghantam pendapa kalurahan hingga berkeping-keping! Pendapa Jenggalu hancur berkepingan terkena terjangan Ajian Maruta Seketi.Putri Siluman Alan Waru itu tertegun setelah tahu bahwa ajiannya dapat ditangkis dan dibalikkan oleh lawan. Lawan yang sudah tua renta lagi! Sungguh malu dan geram Keksi Anjani atas kenyataan dihadapi.Keksi Anjani mencabut pedangnya. Pedang tipis tersebut akan dia padukan dengan gerakkan yang cepat seperti siluman untuk menyeran
Di tengah berkecamuknya pertarungan, tiba-tiba Sanggariwut dan Keksi Anjani terjun di arena pertempuran. Mereka mengamuk ke dalam barisan prajurit Pulungpitu. Para prajurit yang bersenjata pedang itu bertumbangan terkena sabetan selendang Keksi Anjani yang mematikan.Sudah beberapa saat berlalu pertarungan semakin seru. Para prajurit yang bertarung melawan anak buah Wadungsarpa tidak merasa kesulitan dalam merobohkan lawan. Karena anak buah Wadungsarpa memang tidak begitu pandai memainkan jurus pedang. Jadi dengan mudah dapat dirobohkan.Pertarungan semakin seru juga terjadi antara Taskara melawan Bremara. Taskara telah mengeluarkan senjata andalannya berbentuk trisula. Bremara pun mengeluarkan tongkat semu dari balik pinggang. Taskara langsung menusukkan senjatanya ke arah lawan. Bremara menangkis senjata lawan dengan tongkat semunya. Beberapa kali dia berhasil menangkis trisula lawan. Pada satu kesempatan Bremara mengetokkan tongkatnya
”Kalau kamu masih penasaran dan ingin bertarung denganku, kutunggu di Jenggalu!” seru Sanggariwut sambil melesat pergi bersama Keksi Anjani. Mereka melesat ke arah selatan, menuju Jenggalu. Sepeninggal mereka, Suro Joyo segera mendekati Sargo yang tertelungkup di tanah. Di punggungnya yang robek terlihat dua tapak kaki yang gosong. Suro Joyo pernah mendengar tentang Jurus Ular Api Neraka yang hanya dimiliki Sanggariwut. Tendangan maut itu kalau dilakukan secara sempurna, maka yang ditendang akan jebol dan gosong. Mungkin tendangannya tadi kurang sempurna, sehingga punggung Sargo hanya gosong. Tapi, masih hidupkah dia? Suro Joyo meraba pergelangan Sargo. Ternyata masih ada denyutan. Berarti senapati muda itu masih hidup. Segera Suro Joyo mencabut pedang saktinya. Dia tempelkan gagang pedang pada punggung Sargo yang gosong. Hal itu untuk menyerap hawa panas akibat tendangan jurus maut dari Sanggariwut. Setelah tubuh Sargo normal, Suro Joyo mengembalikan pedangnya di sarung yang meling