Share

3. Bangkitnya Pusaka Kujang Emas

“Lingga!” sentak Ki Petot dengan suara tertahan. Matanya seakan ingin melompat dari tempatnya.

Lingga dengan cepat berdiri, menepuk-nepuk baju dan celana. “Punteun, Ki,” ucapnya takut.

Pandangan para murid segera tertuju pada Lingga dan Ki Petot. Sepertinya bocah pelayan itu akan kembali menjadi bulan-bulanan sang guru, pikir mereka.

“Kenapa kau ada di sini, hah?” Ki Petot segera menunjuk dahi Lingga dengan ujung tongkat. “Bukannya aku sudah memerintahkanmu untuk menjauh dari semua hal yang berbau silat dan pendekar? Kenapa sekarang kau justru berada di sini?”

“Ma-maaf, Ki. Aku ... tidak sengaja melihat hantu di kamar Aki,” jawab Lingga seraya menunduk.

“Kamar?” Ki Petot sontak mengcengkeram kerah baju Lingga, lalu mengangkat tinggi-tinggi anak itu dengan satu tangan. Pandangannya menguliti Lingga lekat-lekat seperti harimau mengamati buruan. “Siapa yang menyuruhmu masuk ke kamarku, hah? Bukannya aku sudah melarangmu untuk masuk?”

“Ma-maaf, Ki, tadi ... aku tidak sengaja—”

“Kurang ajar!” Ki Petot menampar Lingga hingga tubuh bocah itu terbaring di tanah dengan sudut bibir berdarah. Dalam sekejap, emosi berhasil menguasai diri. “Pergi kau!”

“Maafkan aku, Ki.” Lingga merangkak untuk meraih kaki Ki Petot, tetapi pria tua itu justru menendang tubuhnya. Melihat ekspresi kakek tua di depannya, ia berpikir jika kesalahan yang dirinya lakukan saat ini sangat fatal. Nyatanya ancama Ki Petot tentang kamar itu tidak main-main. “Aku bersalah karena melanggar perintah Aki.”

“Pergi kau!” bentak Ki Petot sembari mengarahkan tongkat ke gerbang padepokan. “Aku tidak butuh pembangkang sepertimu! Kau kuusir dari padepokan ini dan tidak akan kuizinkan untuk kembali sampai kapan pun! Kalau tahu kau akan jadi pembangkang, aku tidak akan sudi lagi membesarkanmu di tempat ini!”

“Ki ...,” lirih Lingga dengan mata berkaca-kaca.

“Pergi!” Ki Petot memunggungi Lingga. Matanya memelotot seperti pedang yang siap menghunus lawan. Para murid yang melihatnya sontak menunduk. Tubuh kakek tua itu bergetar hebat. Ia bahkan harus menekan kaki dengan ujung tongkat. Pandangannya segera mendongak ke langit.

“Aku ... pergi, Ki.” Lingga segera bangkit, mati-matian menahan tangis. “Aku ... tadi mendengar ada getaran dan suara aneh, Ki.”

“Pergi!” usir Ki Petot tanpa menoleh.

Lingga melirik Ki Petot untuk terakhir kali sebelum pergi. Ia berharap kalau hal ini hanya gurauan sang kakek. Akan tetapi, sejak kaki mulai melangkah hingga tubuhnya sudah berada di gapura padepokan, sosok yang sudah merawatnya sejak kecil itu sama sekali tak menarik kata-katanya.

Lingga dengan cepat berlari ke gelapnya hutan. Peninggalan dari padepokan yang ia bawa hanyalah buku-buku silat yang ia gambar sendiri, juga kenangan hidupnya di tempat itu. Ia seharusnya tahu jika memasuki larangan kamar itu adalah mutlak, tak bisa diganggu gugat.

Selepas kepergian Lingga, Ki Petot mulai merasakan gelagat tak beres. Hawa di wilayah ini menjadi pekat dan menyesakkan dada. Getaran dan dengungan aneh juga ikut menyesaki telinga. Pandangannya segera menyisir sekeliling padepokan. Ketika tatapannya tertuju pada gapura padepokan, ia tiba-tiba dikejutkan oleh seseorang pria yang tengah tersenyum ke arahnya.

“Aji Panday, akhirnya aku menemukanmu,” ujar pria itu dengan seringai bengis.

Ki Petot memelotot dengan tatapan tak percaya. “Kartasura.”

Kartasura melompat ke tanah dengan gerakan cepat. Aksinya membuat barisan para murid terbelah menjadi dua seakan membukakan jalan untuknya. “Sudah lama aku tidak bertemu denganmu,” kekehnya.

“Kurang ajar! Mau apa kau, Kartasura?” tanya Ki Petot dengan tatapan tajam. Sungguh aneh, ia tidak merasakan kehadiran mantan muridnya di area hutan ini, padahal dirinya sudah memasang pagar gaib. Bagaimana mungkin ia bisa sampai kecolongan?

Kartasura terbahak, memegangi perut. Pria itu menggurat senyum, lantas memindai keadaan sekeliling. “Kau jahat sekali, Aji Panday. Beginikah sambutanmu untuk murid terbaikmu ini?”

“Pengkhianat sepertimu tidak pantas disambut, dan juga kau bukan lagi muridku,” tegas Ki Petot. Pandangannya segera tertuju pada pemuda tinggi yang tengah menggenggam pedang. “Wira, segera bawa para murid keluar dari sini.”

“Kita bisa melawannya, Ki,” jawab Wira.

“Jangan membantah! Cepat pergi!” perintah Ki Petot.

Wira menoleh pada teman seperguruannya, meminta pendapat. Kebanyakan dari mereka setuju dengan usulannya. Akan tetapi, mereka tidak berani untuk membantah Ki Petot. Untuk itu, mau tak mau ia bersama murid lain mulai meninggalkan padepokan melalui pintu depan.

“Jurig Lolong,” ucap Kartasura dengan seringai bengis.

Secara tiba-tiba, seorang raksasa setinggi tiga meter muncul di depan gerbang padepokan. Sekujur tubuhnya hitam legam dengan bola mata memelotot seperti telur ayam, hidung besar persis babi hutan, juga tanduk melengkuk seperti kerbau.

“Bunuh murid-murid itu,” pinta Kartasura.

Jurig Lolong menggeram.

“Kurang ajar!” Ki Petot segera menerjang ke depan. Namun, aksinya langsung dihadang oleh Kartasura.

“Jika kau ingin murid-muridmu selamat, serahkan kujang emas itu padaku, Aji Panday,” ujar Kartasura dengan mata berkilap merah.

“Aku tidak tahu apa yang kau katakan, Kartasura. Tapi, mengganggu para muridku sama saja kau mencari mati!”

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status