Home / Pendekar / Pendekar Kujang Emas / 3. Bangkitnya Pusaka Kujang Emas

Share

3. Bangkitnya Pusaka Kujang Emas

Author: Ramdani Abdul
last update Last Updated: 2022-01-06 12:36:52

“Lingga!” sentak Ki Petot dengan suara tertahan. Matanya seakan ingin melompat dari tempatnya.

Lingga dengan cepat berdiri, menepuk-nepuk baju dan celana. “Punteun, Ki,” ucapnya takut.

Pandangan para murid segera tertuju pada Lingga dan Ki Petot. Sepertinya bocah pelayan itu akan kembali menjadi bulan-bulanan sang guru, pikir mereka.

“Kenapa kau ada di sini, hah?” Ki Petot segera menunjuk dahi Lingga dengan ujung tongkat. “Bukannya aku sudah memerintahkanmu untuk menjauh dari semua hal yang berbau silat dan pendekar? Kenapa sekarang kau justru berada di sini?”

“Ma-maaf, Ki. Aku ... tidak sengaja melihat hantu di kamar Aki,” jawab Lingga seraya menunduk.

“Kamar?” Ki Petot sontak mengcengkeram kerah baju Lingga, lalu mengangkat tinggi-tinggi anak itu dengan satu tangan. Pandangannya menguliti Lingga lekat-lekat seperti harimau mengamati buruan. “Siapa yang menyuruhmu masuk ke kamarku, hah? Bukannya aku sudah melarangmu untuk masuk?”

“Ma-maaf, Ki, tadi ... aku tidak sengaja—”

“Kurang ajar!” Ki Petot menampar Lingga hingga tubuh bocah itu terbaring di tanah dengan sudut bibir berdarah. Dalam sekejap, emosi berhasil menguasai diri. “Pergi kau!”

“Maafkan aku, Ki.” Lingga merangkak untuk meraih kaki Ki Petot, tetapi pria tua itu justru menendang tubuhnya. Melihat ekspresi kakek tua di depannya, ia berpikir jika kesalahan yang dirinya lakukan saat ini sangat fatal. Nyatanya ancama Ki Petot tentang kamar itu tidak main-main. “Aku bersalah karena melanggar perintah Aki.”

“Pergi kau!” bentak Ki Petot sembari mengarahkan tongkat ke gerbang padepokan. “Aku tidak butuh pembangkang sepertimu! Kau kuusir dari padepokan ini dan tidak akan kuizinkan untuk kembali sampai kapan pun! Kalau tahu kau akan jadi pembangkang, aku tidak akan sudi lagi membesarkanmu di tempat ini!”

“Ki ...,” lirih Lingga dengan mata berkaca-kaca.

“Pergi!” Ki Petot memunggungi Lingga. Matanya memelotot seperti pedang yang siap menghunus lawan. Para murid yang melihatnya sontak menunduk. Tubuh kakek tua itu bergetar hebat. Ia bahkan harus menekan kaki dengan ujung tongkat. Pandangannya segera mendongak ke langit.

“Aku ... pergi, Ki.” Lingga segera bangkit, mati-matian menahan tangis. “Aku ... tadi mendengar ada getaran dan suara aneh, Ki.”

“Pergi!” usir Ki Petot tanpa menoleh.

Lingga melirik Ki Petot untuk terakhir kali sebelum pergi. Ia berharap kalau hal ini hanya gurauan sang kakek. Akan tetapi, sejak kaki mulai melangkah hingga tubuhnya sudah berada di gapura padepokan, sosok yang sudah merawatnya sejak kecil itu sama sekali tak menarik kata-katanya.

Lingga dengan cepat berlari ke gelapnya hutan. Peninggalan dari padepokan yang ia bawa hanyalah buku-buku silat yang ia gambar sendiri, juga kenangan hidupnya di tempat itu. Ia seharusnya tahu jika memasuki larangan kamar itu adalah mutlak, tak bisa diganggu gugat.

Selepas kepergian Lingga, Ki Petot mulai merasakan gelagat tak beres. Hawa di wilayah ini menjadi pekat dan menyesakkan dada. Getaran dan dengungan aneh juga ikut menyesaki telinga. Pandangannya segera menyisir sekeliling padepokan. Ketika tatapannya tertuju pada gapura padepokan, ia tiba-tiba dikejutkan oleh seseorang pria yang tengah tersenyum ke arahnya.

“Aji Panday, akhirnya aku menemukanmu,” ujar pria itu dengan seringai bengis.

Ki Petot memelotot dengan tatapan tak percaya. “Kartasura.”

Kartasura melompat ke tanah dengan gerakan cepat. Aksinya membuat barisan para murid terbelah menjadi dua seakan membukakan jalan untuknya. “Sudah lama aku tidak bertemu denganmu,” kekehnya.

“Kurang ajar! Mau apa kau, Kartasura?” tanya Ki Petot dengan tatapan tajam. Sungguh aneh, ia tidak merasakan kehadiran mantan muridnya di area hutan ini, padahal dirinya sudah memasang pagar gaib. Bagaimana mungkin ia bisa sampai kecolongan?

Kartasura terbahak, memegangi perut. Pria itu menggurat senyum, lantas memindai keadaan sekeliling. “Kau jahat sekali, Aji Panday. Beginikah sambutanmu untuk murid terbaikmu ini?”

“Pengkhianat sepertimu tidak pantas disambut, dan juga kau bukan lagi muridku,” tegas Ki Petot. Pandangannya segera tertuju pada pemuda tinggi yang tengah menggenggam pedang. “Wira, segera bawa para murid keluar dari sini.”

“Kita bisa melawannya, Ki,” jawab Wira.

“Jangan membantah! Cepat pergi!” perintah Ki Petot.

Wira menoleh pada teman seperguruannya, meminta pendapat. Kebanyakan dari mereka setuju dengan usulannya. Akan tetapi, mereka tidak berani untuk membantah Ki Petot. Untuk itu, mau tak mau ia bersama murid lain mulai meninggalkan padepokan melalui pintu depan.

“Jurig Lolong,” ucap Kartasura dengan seringai bengis.

Secara tiba-tiba, seorang raksasa setinggi tiga meter muncul di depan gerbang padepokan. Sekujur tubuhnya hitam legam dengan bola mata memelotot seperti telur ayam, hidung besar persis babi hutan, juga tanduk melengkuk seperti kerbau.

“Bunuh murid-murid itu,” pinta Kartasura.

Jurig Lolong menggeram.

“Kurang ajar!” Ki Petot segera menerjang ke depan. Namun, aksinya langsung dihadang oleh Kartasura.

“Jika kau ingin murid-muridmu selamat, serahkan kujang emas itu padaku, Aji Panday,” ujar Kartasura dengan mata berkilap merah.

“Aku tidak tahu apa yang kau katakan, Kartasura. Tapi, mengganggu para muridku sama saja kau mencari mati!”

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • Pendekar Kujang Emas   677. Petaka di Gunung Sereh Awi

    Langit sore berubah gelap, pertanda malam yang panjang akan tiba. Terlihat titik kecil yang terhampar luas di atas, ditambah bulan yang nyaris sempurna. Angin berembus kencang, menggoyangkan daun ke kiri dan kanan. Beberapa buah berjatuhan dari tangkai, menjadi makan malam untuk beberapa hewan. Para murid mulai keluar dari gubuk masing-masing, berjalan menuju ruangan makan, bergerombol. Mereka saling berbincang dan tertawa.Lingga keluar dari gubuk, tersenyum saat angin berembus. “Semua persiapanku sudah selesai. Aku harus menikmati malam ini dengan baik karena malam besok adalah hari ujianku. Aku merasa sangat tegang sekarang.”Panji Laksana muncul dari pintu yang terbuka, menutup pintu. Ia melihat para murid yang berjalan beriringan menuju ruangan makan. “Pemandangan ini sangat luar biasa untukku. Sejak dahulu, aku ingin merasakan menjadi murid padepokan.”Lingga menoleh sesaat, menuruni tangga. “Padepokan ini adalah tempat yang menyenangkan. Selain belajar untuk menjadi seorang pe

  • Pendekar Kujang Emas   676. Petaka di Gunung Sereh Awi

    Panji Laksana dan Saraswati seketika berdiri dan membungkuk hormat ketika melihat kemunculan Tarusbawa. Lingga berdiri di belakang Tarusbawa, mengamati Ganawirya, Limbur Kancana, Sekar Sari, dan dua sosok asing yang membungkuk hormat pada Tarusbawa. “Siapa mereka? Aku baru pertama kali bertemu dengan mereka. Mereka terlihat kuat.” Panji Laksana dan Saraswati kembali berdiri tegak, menoleh pada Lingga. Keduanya saling melirik sesaat, memberi salam penghormatan untuk Lingga. “Aku Panji Laksana. Aku merasa bangga bisa bertemu dengan pemuda pewaris kujang emas,” ujar Panji Laksana. Saraswati menunduk malu, menyembunyikan pipinya yang memerah. “Pemuda itu memang sangat tampan sesuai dengan perkataan orang-orang,” gumamnya. Saraswati berdeham saat Panji Laksana menyikutnya. “Aku Saraswati. Aku juga merasa bangga bisa bertemu denganmu.” Lingga membalas salam dua saudara kembar itu. “Namaku Lingga. Senang bertemu dengan kalian. Aku harap kita bisa berteman dengan baik.” Sekar

  • Pendekar Kujang Emas   675. Petaka di Gunung Sereh Awi

    Lingga segera mendekati Tarusbawa. “Guru, apa kau baik-baik saja?” Tarusbawa seketika berjongkok, menahan rasa panas dan sesak yang semakin menjalar di dadanya. Ia sontak terdiam saat mendengarkan ucapan seseorang. Sebuah cahaya merah seketika terlihat di dada Tarusbawa, bergerak beberapa kali. “Guru.” Lingga mengamati cahaya itu saksama, melompat mundur saat cahaya itu keluar dari dada Tarusbawa. “Cahaya merah apa itu?” Cahaya itu mengelilingi Lingga selama beberapa kali, terbang ke langit, kemudian perlahan turun hingga berhadapan dengan Lingga. Tak lama setelahnya, cahaya itu berubah menjadi sosok Prabu Nilakendra. “Prabu.” Lingga segera memberikan salam penghormatan. “Kau sudah menunjukkan perjuangan hingga sampai di titik ini. Dengan munculnya mustika merah ini dari Tarusbawa, maka waktu ujianmu akan segera dimulai,” ujar Prabu Nilakendra sembari menunjukkan sebuah benda bulat bercahaya merah di tangannya. “Waktu ujianku sudah dimulai?” “Aku ingin mengingatkanm

  • Pendekar Kujang Emas   674. Petaka di Gunung Sereh Awi

    “Baik, Guru.” Sekar Sari mengangguk.“Indra, antarkan Panji Laksana ke ruangan kalian. Dia juga akan tinggal bersamamu dan yang lain mulai sekarang,” ujar Ganawirya.Panji Laksana mengikuti Indra. Kedua pemuda itu menghilang saat melewati beberapa gubuk. Suasana masih terasa canggung, apalagi bagi Sekar Sari dan Saraswati yang saling mengamati satu sama lain.Sekar Sari dan Saraswati berjalan menuju gubuk para wanita, sedangkan Meswara, Jaka, dan Arya masih berada di depan gubuk saat Ganawirya memberi perintah pada mereka.Sekar Sari melirik Saraswati berkali-kali. Kepalanya penuh dengan pertanyaan saat ini. “Hanya dengan melihat matanya saja, dia pastilah gadis yang sangat cantik. Aku melihat Kakang Indra dan yang lain juga terpana saat melihatnya.”Saraswati mengamati keadaan sekeliling. “Padepokan ini sangat tenang dan menyenangkan. Aku menyukai tempat ini.”Sekar Sari berhenti di depan sebuah gubuk, menaiki undakan tangga kecil, membuka pintu. “Ini adalah gubuk tempat tinggalku. A

  • Pendekar Kujang Emas   673. Petaka di Gunung Sereh Awi

    Panji Laksana mengangguk. “Aki kami, Sanjaya, memerintahkan kami berdua untuk menemui kalian bertiga atau salah satu dari kalian bertiga. Aki ingin memberi tahukan soal keberadaannya pada kalian. Beberapa bulan lalu setelah kami melihat dan merasakan kekuatan pusaka kujang emas, Aki mengingat semua kembali ingatannya yang telah hilang.”“Bangkitnya pusaka kujang emas terjadi untuk ketiga kalinya. Terakhir kali saat kami, pasukan pendekar golongan putih, melawan dua siluman kembar dan para pendekar golongan hitam. Lingga mengurung mereka di Jaya Tonggoh,” ujar Tarusbawa. Panji Laksana memberikan sebuah pisau pada Tarusbawa. “Aki memerintahkan kami untuk memberikan pisau ini pada pemuda pewaris kujang emas. Pisau itu adalah kunci untuk memasuki Nusa Larang, tempat di mana Aki dan kami berada selama ini. Saat pisau itu bersinar, maka saat itulah waktu yang tepat bagi si pewaris kujang emas untuk menemui Aki.”Tarusbawa mengambil pisau itu, mengamati saksama. “Lingga sedang berlatih saat

  • Pendekar Kujang Emas   672. Petaka di Gunung Sereh Awi

    Atap-atap gubuk mulai terlihat saat Panji Laksana dan Saraswati keluar dari kungkungan pohon. Mereka melihat sebuah ari terjun dan sungai yang mengalir jernih. Begitu memasuki padepokan, mereka mendapati beberapa murid dan tabib yang tampak hilir mudik.Panji Laksana dan Saraswati mengamati keadaan sekeliling. Beberapa murid melihat kedatangan mereka dengan tatapan bertanya-tanya, saling berbisik-bisik.“Aku sudah lama tidak melihat sebuah padepokan, Kakang.” Saraswati tersenyum saat melihat beberapa gadis tampak berbondong-bondong menuju sebuah tepat.“Kau tampaknya menyukai tempat ini, Saraswati.” Panji Laksana mengamati beberapa pemuda seusianya yang beriringan menuju arah utara.“Tentu saja aku menyuai tempat ini, kakang. Sejak kecil, kita hidup bersama Aki di tempat rahasia yang tidak dimasuki oleh orang-orang. Kita hanya bisa melihat mereka dari jarak jauh. Aku sejujurnya ingin seperti gadis lainnya.”“Semua yang Aki perintahkan semata-mata untuk melindungi kita, Saraswati.”“Ak

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status