Home / Pendekar / Pendekar Kujang Emas / 4. Bangkitnya Pusaka Kujang Emas

Share

4. Bangkitnya Pusaka Kujang Emas

Author: Ramdani Abdul
last update Last Updated: 2022-01-06 12:50:40

Ki Petot memulai serangan dengan melempar tongkat. Benda itu memutar seperti gangsing ke arah lawan. Kartasura menghindar dengan cara melakukan salto sebanyak tiga kali ke belakang.

“Kau mengarahkan tongkatmu ke mana, Aji Panday?” Kartasura tersenyum mengejak bersamaan dengan tubuhnya yang kembali mendarat di tanah.

Ki Petot balas menyeringai. Tujuan dari tongkatnya saat ini bukanlah Kartasura, melainkan makhluk hitam di belakangnya. Serangan itu sukses mendarat di perut Jurig Lolong sesuai rencananya. Sosok hitam itu langsung tersungkur hingga membuat tanah bergetar. Dengan begitu, para murid padepokan akan memiliki cukup waktu untuk melarikan diri.

“Kurang ajar!” Melihat hal itu, Kartasura seketika dilahap emosi. Ia dengan cepat menerjang ke depan, melayangkan pukulan dan tendangan beruntun ke arah mantan gurunya. Sialnya, pria tua itu dengan mudah mengelak.

Ki Petot melompat ke atas tongkatnya, memastikan jika seluruh muridnya berhasil lolos. Mereka adalah penerus dari padepokan ini, termasuk calon pendekar di masa depan. Meski anak didiknya memiliki potensi untuk berkembang, tetapi Kartasura dan makhluk hitam itu jelas bukan tandingan mereka untuk saat ini.

“Jurig Lolong!” pekik Kartasura menggelegar. Angin seketika menerjang kencang, mengililingi sekitar padepokan. Api obor hampir saja dibuat padam.

Tanpa dinyana, Jurig Lolong kembali berdiri. Dalam satu kedipan mata, makhluk itu berlari mengejar para murid, tersenyum dengan air liur menetes.

“Ja-jangan takut,” ucap Wira dengan menggenggam kuat pedang peraknya.

Jurig Lolong menyeringai, dan secara tiba-tiba menghantam tanah dengan palu godam. Serangan yang dihasilkan dari hantaman senjata itu langsung meluluhlantakkan keadaan sekitar, termasuk beberapa murid yang terhempas ke sekeliling arah. Beberapa di antara mereka menabrak pohon, sisanya berhasil menyelamatkan diri.

“Celaka,” gumam Ki Petot dengan mata membulat. Ia yang fokus pada anak didiknya tak sadar mengendurkan kewaspadaan. Alhasil, Kartasura sukses mendaratkan tendangan di dada hingga dirinya mundur beberapa langkah.

“Ada apa, Aji Panday?” Kartasura terkekeh. “Kau sepertinya menjadi lemah, atau justru aku yang semakin kuat.”

“Apa tujuanmu datang ke sini, Kartasura?” tanya Ki Petot dengan tatapan menyelidik. Lawan yang berada di hadapannya saat ini sudah bertambah berkali-kali lebih kuat dibanding terakhir kali ia hadapi. Meski hanya satu tendangan, ia merasakan dadanya seperti terbakar.

Kartasura terkekeh. “Aku datang ke tempat ini untuk mengambil kujang emas.”

“Kau datang ke tempat yang salah,” ujar Ki Petot, “aku tidak pernah menyimpan senjata itu.”

Kartasura kembali tergelak. “Kau pikir aku bodoh? Aku bisa merasakan energi besar di tempat ini, dan aku tahu kalau itu berasal dari kujang emas. Jika kau mengatakannya, aku akan mengampuni nyawamu dan murid-muridmu.”

“Siapa yang memerintahkanmu datang ke tempat ini?”

“Itu bukan urusanmu.” Kartasura melangkah maju dengan ekspresi tenang. “Sepertinya aku harus memaksamu untuk mengatakannya.”

Ki Petot kembali melemparkan tongkat. Benda itu memutar secara vertikal ke arah lawan. Untuk kedua kalinya Kartasura berhasil menghindar, tetapi ia dipaksa menyaksikan bagaimana tongkat itu membelah batu dan pohon di belakangnya. Saat kembali menoleh ke depan, pria berambut panjang itu sudah dihadapkan dengan sosok sang mantan guru.

Ki Petot menghantam dada Kartasura dengan pukulan kuat. Kakek tua itu yakin jika serangan itu bisa menghasilkan luka dalam yang cukup fatal. Akan tetapi, ia justru dibuat terkejut ketika melihat musuhnya hanya terpental ke belakang, lalu kembali berdiri dengan tawa mengejek seolah tidak pernah diserang.

“Ada apa, Aji Panday?” Kartasura mendekat dengan wajah angkuh. Ia menepuk-nepuk dada seperti baru saja terkena kotoran. “Pukulanmu sama sekali tidak terasa apa-apa.”

Ki Petot melompat mundur, berusaha mencerna peristiwa yang terjadi. Pertama, ia tak bisa merasakan kehadiran Kartasura, bahkan pagar gaibnya bisa ditembus dengan mudah. Kedua, pukulannya sama sekali tidak berefek apa pun. “Aku merasa indra-indraku menumpul. Kekuatanku seolah lenyap. Apa ini karena aku sudah lama tidak terlibat pertarungan?” gumamnya.  

“Bagiku kau bukan lagi ancaman, kakek tua.”

Kartasura lebih dahulu menyerang. Pria itu melayangkan pukulan dan tendangan secara beruntun seraya merangsek maju. Di sisi lain, Ki Petot terdesak meski masih bisa mengimbangi serangan lawan. Kedua pendekar itu saling jual beli serangan untuk sementara waktu.

Debu tanah mulai menyesaki area pertarungan. Cahaya api di sekitar padepokan menjadi saksi bagaimana pukulan dan tendangan saling berbalasan. Bila dahulu keduanya dihadapkan sebagai guru dan murid, maka saat ini mereka dipertemukan untuk saling menghabisi.

Kedua pendekar itu kian tenggelam dalam pertempuran. Saking intens berbalas serangan, keduanya berubah menjadi dua bayangan hitam yang saling bertubrukan dengan gerakan cepat, menghasilkan angin kencang yang menerbangkan daun, ranting, juga menggoyang api obor bergerak ke kiri dan kanan.

Dua bayangan hitam itu kembali menjadi sosok Ki Petot dan Kartasura ketika mendarat di tanah.

“Aku memberimu satu kali lagi kesempatan, Aji Panday. Di mana kau menyembunyikan kujang emas itu?” tanya Kartasura.

“Sudah kukatakan kalau aku tidak pernah menyimpan senjata itu,” jawab Ki Petot, “kau ....”

Ki Petot tiba-tiba terbatuk. Ia terkejut ketika melihat darah keluar dari mulut. Sekujur tubuhnya mendadak lemas hingga dirinya hampir ambruk di tanah. “Sejak kapan dia melakukannya?”

Melihat hal itu, Kartasura terbahak. Suaranya menggelegar seperti petir di siang bolong. Ia melompat ke arah Ki Petot, tetapi kakek tua itu berhasil menghindar. “Kau bukan lagi tandinganku, Aji Panday,” ujarnya dengan mata berkilat merah.

Ki Petot menyeka darah di mulut dengan punggung tangan. “Si-siapa yang menyuruhmu, Kartasura? Katakan!”

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • Pendekar Kujang Emas   677. Petaka di Gunung Sereh Awi

    Langit sore berubah gelap, pertanda malam yang panjang akan tiba. Terlihat titik kecil yang terhampar luas di atas, ditambah bulan yang nyaris sempurna. Angin berembus kencang, menggoyangkan daun ke kiri dan kanan. Beberapa buah berjatuhan dari tangkai, menjadi makan malam untuk beberapa hewan. Para murid mulai keluar dari gubuk masing-masing, berjalan menuju ruangan makan, bergerombol. Mereka saling berbincang dan tertawa.Lingga keluar dari gubuk, tersenyum saat angin berembus. “Semua persiapanku sudah selesai. Aku harus menikmati malam ini dengan baik karena malam besok adalah hari ujianku. Aku merasa sangat tegang sekarang.”Panji Laksana muncul dari pintu yang terbuka, menutup pintu. Ia melihat para murid yang berjalan beriringan menuju ruangan makan. “Pemandangan ini sangat luar biasa untukku. Sejak dahulu, aku ingin merasakan menjadi murid padepokan.”Lingga menoleh sesaat, menuruni tangga. “Padepokan ini adalah tempat yang menyenangkan. Selain belajar untuk menjadi seorang pe

  • Pendekar Kujang Emas   676. Petaka di Gunung Sereh Awi

    Panji Laksana dan Saraswati seketika berdiri dan membungkuk hormat ketika melihat kemunculan Tarusbawa. Lingga berdiri di belakang Tarusbawa, mengamati Ganawirya, Limbur Kancana, Sekar Sari, dan dua sosok asing yang membungkuk hormat pada Tarusbawa. “Siapa mereka? Aku baru pertama kali bertemu dengan mereka. Mereka terlihat kuat.” Panji Laksana dan Saraswati kembali berdiri tegak, menoleh pada Lingga. Keduanya saling melirik sesaat, memberi salam penghormatan untuk Lingga. “Aku Panji Laksana. Aku merasa bangga bisa bertemu dengan pemuda pewaris kujang emas,” ujar Panji Laksana. Saraswati menunduk malu, menyembunyikan pipinya yang memerah. “Pemuda itu memang sangat tampan sesuai dengan perkataan orang-orang,” gumamnya. Saraswati berdeham saat Panji Laksana menyikutnya. “Aku Saraswati. Aku juga merasa bangga bisa bertemu denganmu.” Lingga membalas salam dua saudara kembar itu. “Namaku Lingga. Senang bertemu dengan kalian. Aku harap kita bisa berteman dengan baik.” Sekar

  • Pendekar Kujang Emas   675. Petaka di Gunung Sereh Awi

    Lingga segera mendekati Tarusbawa. “Guru, apa kau baik-baik saja?” Tarusbawa seketika berjongkok, menahan rasa panas dan sesak yang semakin menjalar di dadanya. Ia sontak terdiam saat mendengarkan ucapan seseorang. Sebuah cahaya merah seketika terlihat di dada Tarusbawa, bergerak beberapa kali. “Guru.” Lingga mengamati cahaya itu saksama, melompat mundur saat cahaya itu keluar dari dada Tarusbawa. “Cahaya merah apa itu?” Cahaya itu mengelilingi Lingga selama beberapa kali, terbang ke langit, kemudian perlahan turun hingga berhadapan dengan Lingga. Tak lama setelahnya, cahaya itu berubah menjadi sosok Prabu Nilakendra. “Prabu.” Lingga segera memberikan salam penghormatan. “Kau sudah menunjukkan perjuangan hingga sampai di titik ini. Dengan munculnya mustika merah ini dari Tarusbawa, maka waktu ujianmu akan segera dimulai,” ujar Prabu Nilakendra sembari menunjukkan sebuah benda bulat bercahaya merah di tangannya. “Waktu ujianku sudah dimulai?” “Aku ingin mengingatkanm

  • Pendekar Kujang Emas   674. Petaka di Gunung Sereh Awi

    “Baik, Guru.” Sekar Sari mengangguk.“Indra, antarkan Panji Laksana ke ruangan kalian. Dia juga akan tinggal bersamamu dan yang lain mulai sekarang,” ujar Ganawirya.Panji Laksana mengikuti Indra. Kedua pemuda itu menghilang saat melewati beberapa gubuk. Suasana masih terasa canggung, apalagi bagi Sekar Sari dan Saraswati yang saling mengamati satu sama lain.Sekar Sari dan Saraswati berjalan menuju gubuk para wanita, sedangkan Meswara, Jaka, dan Arya masih berada di depan gubuk saat Ganawirya memberi perintah pada mereka.Sekar Sari melirik Saraswati berkali-kali. Kepalanya penuh dengan pertanyaan saat ini. “Hanya dengan melihat matanya saja, dia pastilah gadis yang sangat cantik. Aku melihat Kakang Indra dan yang lain juga terpana saat melihatnya.”Saraswati mengamati keadaan sekeliling. “Padepokan ini sangat tenang dan menyenangkan. Aku menyukai tempat ini.”Sekar Sari berhenti di depan sebuah gubuk, menaiki undakan tangga kecil, membuka pintu. “Ini adalah gubuk tempat tinggalku. A

  • Pendekar Kujang Emas   673. Petaka di Gunung Sereh Awi

    Panji Laksana mengangguk. “Aki kami, Sanjaya, memerintahkan kami berdua untuk menemui kalian bertiga atau salah satu dari kalian bertiga. Aki ingin memberi tahukan soal keberadaannya pada kalian. Beberapa bulan lalu setelah kami melihat dan merasakan kekuatan pusaka kujang emas, Aki mengingat semua kembali ingatannya yang telah hilang.”“Bangkitnya pusaka kujang emas terjadi untuk ketiga kalinya. Terakhir kali saat kami, pasukan pendekar golongan putih, melawan dua siluman kembar dan para pendekar golongan hitam. Lingga mengurung mereka di Jaya Tonggoh,” ujar Tarusbawa. Panji Laksana memberikan sebuah pisau pada Tarusbawa. “Aki memerintahkan kami untuk memberikan pisau ini pada pemuda pewaris kujang emas. Pisau itu adalah kunci untuk memasuki Nusa Larang, tempat di mana Aki dan kami berada selama ini. Saat pisau itu bersinar, maka saat itulah waktu yang tepat bagi si pewaris kujang emas untuk menemui Aki.”Tarusbawa mengambil pisau itu, mengamati saksama. “Lingga sedang berlatih saat

  • Pendekar Kujang Emas   672. Petaka di Gunung Sereh Awi

    Atap-atap gubuk mulai terlihat saat Panji Laksana dan Saraswati keluar dari kungkungan pohon. Mereka melihat sebuah ari terjun dan sungai yang mengalir jernih. Begitu memasuki padepokan, mereka mendapati beberapa murid dan tabib yang tampak hilir mudik.Panji Laksana dan Saraswati mengamati keadaan sekeliling. Beberapa murid melihat kedatangan mereka dengan tatapan bertanya-tanya, saling berbisik-bisik.“Aku sudah lama tidak melihat sebuah padepokan, Kakang.” Saraswati tersenyum saat melihat beberapa gadis tampak berbondong-bondong menuju sebuah tepat.“Kau tampaknya menyukai tempat ini, Saraswati.” Panji Laksana mengamati beberapa pemuda seusianya yang beriringan menuju arah utara.“Tentu saja aku menyuai tempat ini, kakang. Sejak kecil, kita hidup bersama Aki di tempat rahasia yang tidak dimasuki oleh orang-orang. Kita hanya bisa melihat mereka dari jarak jauh. Aku sejujurnya ingin seperti gadis lainnya.”“Semua yang Aki perintahkan semata-mata untuk melindungi kita, Saraswati.”“Ak

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status