Setelah kemenangan mereka, Kael dan Arsel keluar dari arena dengan sorakan menggema di belakang mereka. Di sepanjang jalan menuju ruang istirahat, mereka bisa merasakan tatapan para pesaing lain. Beberapa penuh rasa penasaran. Beberapa penuh kekaguman. Tapi sebagian besar… penuh tantangan. Kael melirik Arsel dan mendengus pelan. "Sepertinya kita sudah menarik perhatian yang tidak diinginkan." Arsel menyeringai. "Itu bagus, kan? Artinya mereka menganggap kita ancaman." Di sudut ruangan, seorang petarung dari Akademi Angin Hitam menyeringai sambil menatap mereka. Di sisi lain, seorang pendekar dari Akademi Bayangan mendekat, hanya untuk menatap Kael sejenak sebelum pergi tanpa sepatah kata pun. Kael mengepalkan tangannya. "Mereka sedang mengukur kita." Tiba-tiba, seorang murid dari Akademi Thunderclaw melangkah ke depan, tubuhnya tinggi dengan petir kecil berkilatan di sekitar tangannya. "Jangan berpikir kemenangan ini berarti kalian akan menang terus," katanya den
Saat Kael membuka pintu kamar dengan perlahan, Arsel sudah duduk di ranjang, menatapnya tajam. "Ke mana saja kau?" tanyanya tanpa basa-basi. Kael terdiam sejenak, lalu menutup pintu dan berjalan masuk. Ia terlihat ragu, seolah menyusun kata. "Aku menemui Asmar," jawabnya pelan. Arsel mengangkat alis. "Kenapa? Soal pil itu, ya?" Kael mengangguk perlahan. "Iya. Aku merasa… ada yang aneh setiap kali meminumnya." "Dan?" Arsel mencondongkan tubuh ke depan, penasaran. "Dia bilang pil itu punya bahan tambahan—akar roh perak. Katanya bisa mempercepat pemulihan dan meningkatkan kekuatan. Tapi…" Kael menunduk, "…dia juga belum tahu efek jangka panjangnya." Arsel terdiam sejenak, lalu bangkit dari ranjang dan berdiri di depan Kael. "Kau merasa berbeda setelah meminumnya?" Kael mengangguk. "Setiap kali. Lebih kuat, lebih cepat, tapi… juga terasa seperti ada sesuatu yang tumbuh di dalam diriku. Sesuatu yang bukan aku." Arsel menghela napas berat. "Jadi apa yang akan kau lak
Arena kembali riuh. Nama Akademi Pedang disebut lagi, dan Kael melangkah ke tengah lapangan dengan langkah pasti.Namun kali ini—aura pertarungan terasa berbeda.Dari sisi seberang, muncul seorang peserta yang belum pernah terlihat sebelumnya. Berselubung jubah hitam panjang, wajahnya tersembunyi di balik tudung, langkahnya tenang… tapi mengancam."Siapa dia?" bisik Arsel yang berdiri di sisi arena, matanya menyipit penuh curiga.Kael memperhatikan gerakan lawannya. Tak ada bendera akademi, tak ada lambang apapun. Hanya keheningan dan tekanan yang terasa semakin berat."Dia bukan peserta biasa," gumam Kael dalam hati."Peserta berikutnya: Kael dari Akademi Pedang... melawan perwakilan khusus—Murnian Tak Terdaftar!"Suara pengumuman membuat arena riuh kembali."Tak terdaftar?" Arsel mengulang, terkejut. Guru Besar yang duduk di tribun pun langsung berdiri. Ekspresinya berubah tegang.Asmar yang berada tak jauh dari sana mengepalkan tangannya erat, tatapannya tertuju lurus pada sosok
Sosok yang baru saja terlempar itu perlahan bangkit, jubahnya compang-camping, namun sorot matanya tetap angkuh. Ren menatap Kael dengan senyum sinis, bibirnya berdarah tapi semangatnya tidak surut.“Ternyata kau sekuat ini, Kael,” katanya dengan nada setengah kagum, setengah mengejek. “Aku tak menyangka... bocah yang dulu cuma tahu diam bisa menebas bayanganku.”Kael menggertakkan gigi. Tangan di gagang pedang mengepal kuat.“Kau ternyata licik,” ucap Kael tajam. “Bayangan hitam itu… akulah salah satu saksi saat menyerang Akademi. Selama ini kami bertanya-tanya siapa dalangnya, dan kau... kau ada di sana bersama kami, seolah tak tahu apa-apa.”Matanya menyipit. “Padahal kau biang keladinya.”Kerumunan mulai gaduh. Desas-desus menyebar cepat di antara penonton dan para pendekar yang menyaksikan.Ren hanya tertawa kecil. “Kael, Kael… Dunia tidak sehitam putih itu. Kadang yang terlihat setia justru yang paling banyak menyimpan rahasia.” Ia menatap Kael tajam. “Seperti kau.”Kael tidak m
Ruangan itu gelap, hanya diterangi obor di sudut dinding. Aroma besi dan tanah lembap menyelimuti udara. Di tengah ruangan, Ren duduk dengan tangan terikat rantai khusus anti-energi. Wajahnya penuh luka, tapi sorot matanya masih menyimpan kesombongan yang belum padam.Guru Besar berdiri di depannya, mengenakan jubah gelap panjang, wajahnya dingin dan tajam. Ia tidak berbicara segera—hanya menatap, dalam dan menusuk, seolah ingin menembus isi kepala Ren.“Aku tak butuh sandiwara, Ren,” ucap Guru Besar akhirnya, suaranya tenang namun berisi tekanan kuat. “Kita sudah menemukan sisa-sisa aura Bayangan Hitam di kamarmu. Dan saat kau jatuh di arena, segel sihir gelapmu pecah. Tak perlu menyangkal lagi.”Ren mengalihkan pandangan. “Kalau kau sudah tahu… kenapa bertanya?”Guru Besar tetap tak bergeming. “Karena yang kami tahu… belum semua. Aku ingin tahu siapa yang memberimu kekuatan itu. Dan… kenapa kau melakukannya.”Ren tertawa kecil, getir. “Kenapa? Karena Kael! Kalian semua memuja-muja d
Langit mulai berubah jingga saat lonceng besar di pusat arena dibunyikan. Para peserta dan penonton berkumpul, mata mereka tertuju pada panggung utama tempat seorang utusan kerajaan berdiri, membawa gulungan emas bersegel.“Perhatian untuk seluruh peserta turnamen!” serunya lantang. “Pertandingan selanjutnya akan mempertemukan dua tim terakhir dari blok elit… yang akan menentukan siapa yang layak masuk ke babak final!”Gulungan dibuka perlahan. Suasana menjadi hening. Semua menanti.“Tim pertama… Kael dan Arsel dari Akademi Pedang!”Sorakan membahana, disertai beberapa tatapan penasaran. Nama mereka kini sudah dikenal luas sejak kekuatan naga Kael terungkap.“Dan tim kedua… perwakilan khusus dari Kerajaan Utara. Dikenal sebagai saudara kembar pemburu sihir—Dara dan Daruk!”Seketika, bisik-bisik terdengar dari para penonton.“Asal mereka dari Kerajaan Utara?” bisik seseorang. “Aku dengar mereka bisa menyegel kekuatan lawan…” “Bukankah mereka dulu pernah memburu penyihir bayangan?”
Keesokan PagiKeduanya bertemu lagi di balkon tempat biasa mereka berdiri. Hanya ada anggukan singkat, tak perlu kata-kata. Keduanya tahu… hari-hari ke depan akan lebih sulit. Tapi mereka mulai mengerti alasan mereka bertarung.Ruang Pemulihan, Sayap Timur Istana Langit Udara di ruangan itu sunyi. Hanya terdengar suara lembut air dari kendi dan dentingan alat medis. Cahaya matahari pagi menyelinap masuk melalui jendela lebar, menyinari dua ranjang sederhana tempat Kael dan Arsel terbaring, tubuh mereka penuh perban dan luka lebam.Asmar duduk di kursi antara mereka, sibuk mencampurkan ramuan dari botol-botol kecil yang dibawanya sendiri. Napasnya dalam, tapi wajahnya tegang.“Ini bukan sekadar kelelahan biasa,” gumamnya. “Pertarungan dengan tekanan spiritual tinggi seperti itu bisa menghancurkan inti energi jika tidak ditangani benar.”Kael membuka matanya perlahan, mengerang pelan saat mencoba bergerak.“Jangan paksakan dirimu,” kata Asmar cepat. “Tulang rusukmu retak tiga, dan kamu
“Tak peduli,” jawab mereka serempak. “Asal dunia terbakar bersama naga hitam, itu cukup.”Aura pertempuran memuncak.Asmar melempar jubahnya. Simbol alkemis tingkat tinggi bersinar di dadanya. Kedua tangannya mulai bersinar biru tua—tanda bahwa ia telah mengaktifkan formasi alkimia tempur yang jarang ia gunakan.“Aku tak butuh banyak waktu. Cukup lima menit... untuk membuat kalian menyesal datang ke tempat ini.”Pemimpin penyusup menyerang duluan, membentuk tombak bayangan yang melesat cepat. Tapi Asmar menjentikkan jari, membentuk pelindung sihir berlapis.Penyusup kedua meluncur dari samping, berusaha menebas dengan bilah bercahaya merah. Tapi Asmar sudah mengantisipasi. Ia memutar tubuh, lalu menghempaskan telapak tangan ke dada lawan—ledakan energi alkemis menghantam balik, melempar lawan ke dinding.Satu lawan tumbang.Namun, aura merah dari segel terus menyembur, membuat dua penyusup tersisa makin kuat.Pemimpin mereka mulai berubah bentuk. Tato kalajengking merah menyebar ke wa
Dengan peta dari altar di tangan Kael, mereka meninggalkan reruntuhan kuil ketiga. Angin lembah membawa aroma tanah basah dan reruntuhan sihir yang perlahan lenyap, namun hati mereka tetap waspada. Kuil keempat tidak berada di permukaan—ia tersembunyi jauh di perut bumi, di sebuah wilayah yang dikenal sebagai Lembah Terlarang, tempat tidak ada kompas sihir yang bisa diandalkan.Hari baru belum mencapai tengah ketika langkah mereka terhenti."Kau dengar itu?" bisik Arsel sambil meraih gagang pedangnya.Kael mengangguk pelan. Udara mendadak menegang. Pepohonan bergoyang meski angin tidak bertiup. Lalu tiba-tiba—sesosok makhluk meluncur turun dari langit, mendarat di hadapan mereka dengan dentuman keras.Tubuhnya tinggi dan ramping, dibalut zirah gelap yang menyerap cahaya. Jubahnya berkibar dengan gerakan lambat seperti asap, dan matanya menyala biru dingin."Kalian telah melangkah terlalu jauh," ucapnya. Suaranya datar, namun mengandung kekuatan yang menekan.Kael melangkah maju, "Siap
Langkah Kael dan Arsel semakin mendekat ke celah batu menjulang itu. Kabut kian menebal, menyelimuti tanah dan memburamkan pandangan. Suasana berubah sunyi—terlalu sunyi. Tidak ada suara burung, tidak ada desir angin. Hanya gemerisik langkah kaki mereka di atas tanah lembap.“Tempat ini… terasa berbeda,” gumam Arsel sambil menajamkan pendengaran.Tiba-tiba, bumi bergetar ringan. Kabut di depan mereka terbelah, memperlihatkan sesuatu yang tak mereka duga.Sosok-sosok hitam bermantel merah darah muncul dari balik celah batu. Wajah mereka tersembunyi di balik topeng kayu tua.“Pengikut Bayangan Hitam…” desis Kael, langsung menarik pedang naga hitamnya.Salah satu dari mereka maju selangkah, suaranya berat dan bergaung—seperti gema dari dunia lain.“Kuil ini bukan milik kalian. Yang tak dipilih, harus binasa.”Seketika tanah di sekitar mereka meledak, menciptakan lingkaran api kehijauan yang melingkupi tempat itu. Sebuah jebakan sihir kuno—dan mereka sudah berada di tengahnya.Arsel langs
Malam turun perlahan, membawa serta udara dingin yang menyusup di balik lapisan pakaian. Kael dan Arsel duduk bersandar di balik batu besar, jauh dari tempat pertempuran sebelumnya. Api unggun kecil menyala redup di antara mereka, cukup untuk mengusir hawa dingin tapi tidak mencolok di tengah hutan yang gelap.Kael menatap api itu lama, diam. Tangannya masih terasa berat, tapi pikirannya jauh lebih tenang.Arsel menyodorkan kantung air. “Minumlah. Kau hampir kehilangan kesadaran tadi.”Kael menerimanya, lalu tersenyum lelah. “Aku tahu. Tapi kalau saat itu aku ragu, kita sudah mati.”“Kau terlalu sering menanggung semuanya sendiri,” sahut Arsel, menatap Kael dengan mata serius. “Aku ada di sini, Kael. Bukan hanya sebagai penjaga punggungmu. Tapi teman. Saudara.”Kael menghela napas. “Aku tahu… dan mungkin itu yang membuatku bisa bertahan.” Ia menunduk, mengingat bayangan kekuatan hitam, luka di tubuh Arsel, dan musuh yang tak pernah berhenti datang.“Tapi aku tak ingin ka
Lembah Untaian Arwah. Sebuah nama yang hampir tak terdengar lagi dalam peta-peta baru. Namun dalam catatan kuno dan bisikan para penjelajah tua, lembah itu disebut-sebut sebagai tempat di mana jiwa-jiwa yang hilang belum menemukan kedamaian.Kael dan Arsel tiba di tepi lembah menjelang senja. Kabut menggulung perlahan seperti napas makhluk besar yang tidur. Angin berdesir tanpa suara, membawa bau tanah basah dan sesuatu yang asing… seperti dupa lama yang pernah terbakar.“Kau yakin ini tempatnya?” tanya Arsel, menatap ke arah kabut tebal yang menutupi lembah.“Pola simbol di peta dan arah energi yang kurasakan… semuanya menunjuk ke sini,” jawab Kael, tegas. Tapi dalam hatinya, bahkan ia tak sepenuhnya yakin. Satu langkah ke dalam lembah, dan suara dunia luar seperti lenyap. Hening, menyesakkan.Mereka terus berjalan, namun kabut tak menipis—justru semakin padat, seolah menolak kehadiran mereka. Arsel terbatuk. Udara di sini berbeda. Kaki mereka kadang menyentuh tanah padat, ka
Asap dan debu perlahan mereda. Kael berdiri di tengah kawah kecil yang tercipta akibat benturan dahsyat tadi. Nafasnya masih berat, tapi sorot matanya tak bergeming.Di seberang sana, sang petinggi Kalajengking Merah terhuyung-huyung. Tubuhnya dipenuhi luka, jubah merahnya hangus terbakar di beberapa bagian. Wajahnya menegang—tak percaya telah dipukul mundur oleh Kael."Bocah sialan..." desisnya, sambil mengangkat kristal kecil dari dalam jubahnya. "Kau… akan menyesali ini. Kau telah menunjukkan terlalu banyak."Seketika, energi kegelapan mengelilingi tubuhnya, menciptakan lorong bayangan.“Tunggu!” Kael melangkah maju, mencoba menghentikannya. Tapi energi itu terlalu cepat.“Kita akan bertemu lagi… dan saat itu, kau takkan berdiri lagi.” Dengan kata terakhirnya, sosok sang petinggi lenyap ke dalam kegelapan, meninggalkan bekas hangus di tanah.Kael berdiri diam, menatap tempat musuh itu menghilang. Arsel menghampiri, tertatih namun masih tegar.“Kau menahan diri, ya?” tanya
Malam mulai menyelimuti kota, tapi Kael dan Arsel belum berhenti bergerak. Mereka berpindah dari satu tempat ke tempat lain—kedai tua, rumah penyimpan barang antik, bahkan berbincang dengan pengemis tua yang katanya pernah melihat "pintu batu yang menelan cahaya".Namun, semuanya masih kabur. Tak ada satu pun informasi yang benar-benar mengarah pada kuil tersembunyi yang mereka cari.Kael duduk di tepi pancuran batu di alun-alun kecil, pandangannya kosong menatap air yang tenang. “Terlalu rapi,” gumamnya. “Seolah kuil itu disembunyikan bukan hanya oleh waktu, tapi oleh kehendak.”Arsel berdiri tak jauh, bersandar pada tiang kayu. "Mungkin memang begitu. Kuil ini… bukan untuk ditemukan dengan mudah."Kael menarik napas dalam-dalam. Ia membuka kembali gulungan peta tua yang ia temukan di kios tadi pagi. Tak ada tanda kuil, tapi bentuk jalan-jalan di bagian barat kota… aneh. Melingkar, seakan memutari sesuatu. Sesuatu yang tak tergambar di peta."Lihat ini," katanya pada Arsel,
Keesokan paginya, Kael dan Arsel bergerak cepat. Mereka berpisah di dalam kota, saling menyamar sebagai pelancong biasa. Target mereka jelas: mencari jejak tentang kuil berikutnya.Kael masuk ke beberapa kios tua di pasar belakang. Ia pura-pura mengamati gulungan peta dan perhiasan antik, sambil mendengarkan percakapan orang-orang."Kau dengar soal reruntuhan di sebelah utara?" bisik seorang pedagang tua pada temannya. "Katanya, tanahnya retak sendiri… ada sesuatu yang terbangun di bawahnya."Kael mencatatnya dalam pikirannya. Reruntuhan di utara—mungkin itu kuil keempat.Sementara itu, Arsel berbicara dengan pemilik kedai. Mencoba mengorek informasi dengan santai, seolah sekadar penasaran tentang legenda lokal. Tapi saat Arsel menyebut "reruntuhan," wajah pemilik kedai itu mendadak kaku."Kau sebaiknya menjauh dari sana," katanya. "Banyak yang pergi… tak ada yang kembali."Arsel hanya tersenyum tipis, membayar minuman, lalu pergi.Mereka bertemu kembali di sudut pasar, sali
Malam itu, mereka beristirahat di sebuah dataran kecil di atas tebing, jauh dari jalur utama. Api kecil menyala di antara mereka, cukup untuk menghangatkan tubuh tanpa menarik perhatian.Kael duduk bersandar di sebuah batu besar, pedangnya bersandar di sisi tubuhnya. Arsel, di sisi lain, sibuk membungkus luka kecil di lengannya sambil sesekali melirik ke arah temannya.“Kita terlalu ceroboh.” Arsel membuka percakapan, nada suaranya santai tapi serius.Kael menghela napas panjang, membenarkan posisi duduknya. “Mungkin. Tapi kita tak punya kemewahan untuk berhenti lama-lama.”Arsel tersenyum tipis, mengambil ranting kecil dan mengaduk-aduk api. “Bukan berarti kita harus membabi buta. Sekarang mereka tahu siapa kita. Mereka akan menunggu, menjebak, bahkan mungkin memanfaatkan kuil-kuil tersisa untuk melawan kita.”Kael memejamkan mata sejenak, berpikir. “Kuil-kuil itu tidak hanya berfungsi sebagai segel… tapi juga sebagai alat komunikasi bagi para pengikut bayang. Jika satu han
Kuil keempat berdiri seperti hantu di tengah reruntuhan batu dan hutan kering. Tak ada suara burung. Tak ada angin. Hanya keheningan yang menekan dada.Kael berdiri di hadapan pintu batu raksasa, telapak tangannya meraba ukiran lama yang hampir terhapus waktu. “Ini kuil yang berbeda,” bisiknya. “Yang ini… bangga.”Arsel menatap sekeliling, berjaga. “Apa maksudmu?”Kael menoleh, matanya serius. “Tiga kuil sebelumnya menyembunyikan bayang hitam. Tapi kuil ini… menjaganya. Menyatu dengannya.”Ia menarik pedangnya—naga hitam berdenyut pelan, seolah merespons aura kelam dari dalam.Kael menancapkan pedangnya ke tanah di depan pintu, lalu menarik gulungan yang dicuri dari Kalajengking Merah. Ia mulai membacakan potongan mantra pemecah segel—sebuah bahasa lama yang bahkan angin pun enggan menyentuh.Tanah bergetar. Pintu batu retak perlahan… tapi saat celah terbuka, kabut hitam menyembur keluar disertai suara raungan rendah, seperti ribuan suara berbisik dalam satu napas.Arsel mundu