Langkah Kael dan Arsel semakin mendekat ke celah batu menjulang itu. Kabut kian menebal, menyelimuti tanah dan memburamkan pandangan. Suasana berubah sunyi—terlalu sunyi. Tidak ada suara burung, tidak ada desir angin. Hanya gemerisik langkah kaki mereka di atas tanah lembap.“Tempat ini… terasa berbeda,” gumam Arsel sambil menajamkan pendengaran.Tiba-tiba, bumi bergetar ringan. Kabut di depan mereka terbelah, memperlihatkan sesuatu yang tak mereka duga.Sosok-sosok hitam bermantel merah darah muncul dari balik celah batu. Wajah mereka tersembunyi di balik topeng kayu tua.“Pengikut Bayangan Hitam…” desis Kael, langsung menarik pedang naga hitamnya.Salah satu dari mereka maju selangkah, suaranya berat dan bergaung—seperti gema dari dunia lain.“Kuil ini bukan milik kalian. Yang tak dipilih, harus binasa.”Seketika tanah di sekitar mereka meledak, menciptakan lingkaran api kehijauan yang melingkupi tempat itu. Sebuah jebakan sihir kuno—dan mereka sudah berada di tengahnya.Arsel langs
Dengan peta dari altar di tangan Kael, mereka meninggalkan reruntuhan kuil ketiga. Angin lembah membawa aroma tanah basah dan reruntuhan sihir yang perlahan lenyap, namun hati mereka tetap waspada. Kuil keempat tidak berada di permukaan—ia tersembunyi jauh di perut bumi, di sebuah wilayah yang dikenal sebagai Lembah Terlarang, tempat tidak ada kompas sihir yang bisa diandalkan.Hari baru belum mencapai tengah ketika langkah mereka terhenti."Kau dengar itu?" bisik Arsel sambil meraih gagang pedangnya.Kael mengangguk pelan. Udara mendadak menegang. Pepohonan bergoyang meski angin tidak bertiup. Lalu tiba-tiba—sesosok makhluk meluncur turun dari langit, mendarat di hadapan mereka dengan dentuman keras.Tubuhnya tinggi dan ramping, dibalut zirah gelap yang menyerap cahaya. Jubahnya berkibar dengan gerakan lambat seperti asap, dan matanya menyala biru dingin."Kalian telah melangkah terlalu jauh," ucapnya. Suaranya datar, namun mengandung kekuatan yang menekan.Kael melangkah maju, "Siap
Malam itu, langit desa Batu terlihat muram. Awan hitam pekat menggantung di atas desa, seakan memberi pertanda buruk. Hembusan angin dingin membawa keheningan yang mencekam, seolah seluruh alam tahu bahwa malam itu akan menjadi malam berdarah. Kael, seorang pemuda berusia tujuh belas tahun, sedang duduk di luar rumah bersama keluarganya. Mereka baru saja selesai makan malam, dan obrolan ringan antara ayahnya, ibu, dan adik perempuannya, mengisi suasana hangat di tengah dinginnya malam. "Besok, kita akan pergi ke ladang lebih pagi," kata ayah Kael, suaranya tenang namun tegas. "Panen kali ini harus maksimal sebelum cuaca benar-benar buruk." Kael mengangguk sambil menatap adiknya yang masih kecil. Lana yang sedang bermain-main dengan boneka jerami buatan ibu mereka. Senyum di wajahnya membuat Kael merasakan kehangatan, meskipun cuaca semakin mendingin. Dia sangat menyayangi Lana. Tiba-tiba, suara langkah kaki berat terdengar dari kejauhan. Kael yang sensitif segera berdiri dan mengali
Pagi hari di dalam hutan terasa dingin, dan ketika Kael membuka matanya, dia mendapati dirinya berada di sebuah gubuk kecil. Rasa sakit di tubuhnya belum hilang, tetapi setidaknya dia bisa bernapas dengan lebih tenang. Di sudut ruangan, seorang kakek tua dengan rambut putih panjang sedang duduk, menatapnya dengan mata penuh perhatian. "Kau sudah bangun," kata kakek itu dengan suara lembut. "Tenanglah, kau aman di sini."Kael ingin berbicara, ingin bertanya siapa kakek ini dan bagaimana dia bisa berada di sini, tetapi mulutnya terasa kering. Kakek itu menyodorkan semangkuk air hangat. "Minumlah. Kau butuh istirahat."Dengan lemah, Kael mengambil mangkuk itu dan meminumnya sedikit demi sedikit. Rasa segar dari air tersebut memberi sedikit kekuatan bagi tubuhnya. Setelah beberapa saat, dia mencoba berbicara. "Siapa... siapa Anda?" suaranya serak dan lemah.Kakek itu tersenyum tipis. "Namaku Ling. Aku menemukanku di tengah hutan, dalam keadaan sekarat. Untung saja aku tiba tepat waktu."
Kael memandang Pedang Naga di tangannya, pedang itu tidak lagi tampak seperti benda tua yang berkarat. “Kalau kau tidak yakin kau bisa mencoba untuk menarik pedang itu, jika pedang itu memilihmu maka karat itu akan hilang dengan sendirinya,” kata Kakek Ling melihat Kael yang terus memandangi pedang itu dengan tidak yakin.“Tapi Kek, aku tidak memiliki tekad murni seperti apa yang kakek katkan. Aku hanya ingin kekuatan besar untuk balas dendam,” ucap Kael yang masih saja ragu-ragu.“Aku masih ingat kekejaman para bandit. Aku pasti akan menemukan orang dengan tato kalajengking merah,” sambung Kael dengan penuh keyakinan membuat pedang naga yang ada di tangannya bersinar.Tekat balas dendamnya membangkitkan pedang naga yang sedang tertidur selama ini, Aura kuat keluar dari pedang itu membuat Kael terkejut dan mulai menarik pedangnya.“Pedang itu memilih mu,” Kaka Kakek Ling melihat cahaya pada bilah pedang yang begitu tajam, karat yang sudah menghilang membuktikan kekuatan tekad balas d
Latihan hari itu berlangsung lebih intens daripada biasanya. Kakek Ling membawa Kael melalui serangkaian gerakan yang jauh lebih rumit, menggabungkan teknik pedang dengan pengendalian napas dan konsentrasi batin. Setiap kali Kael mengayunkan pedangnya, dia harus memusatkan seluruh energinya pada satu titik, membiarkan tenaga dalamnya mengalir melalui gagang pedang dan menyatu dengan bilahnya.Awalnya, Kael merasa kesulitan. Tenaga dalamnya tidak selalu mengalir dengan lancar, dan terkadang emosinya masih menghalangi konsentrasinya. Tetapi dengan setiap latihan, ia mulai merasakan perubahan. Perlahan, dia mulai memahami bagaimana mengalirkan energinya ke dalam Pedang Naga. Setiap serangan menjadi lebih kuat, setiap gerakan lebih halus dan tepat. Pedang itu mulai merespons dengan lebih baik, seolah-olah ia dan pedang itu menjadi satu kesatuan.Ujian sesungguhnya datang ketika Kakek Ling memutuskan untuk menyerang Kael secara serius. Tanpa peringatan, Kakek Ling melancarkan serangan cepa
Ketika Kael tiba di rumah Kakek Ling, matahari sudah mulai tenggelam, menandakan hari yang panjang telah berlalu. Kael masih merasakan kegelisahan dalam hatinya, terutama setelah mengalahkan bandit, ia tahu belum cukup kuat. Pikiran itu terus menghantuinya sepanjang perjalanan pulang.Saat membuka pintu pondok, Kael disambut oleh Kakek Ling yang duduk di depan perapian. Wajah tua itu tetap tenang, tapi Kael tahu bahwa kakek itu bisa merasakan ada yang mengganggu pikirannya."Bagaimana pencarianmu hari ini, Kael?" tanya Kakek Ling dengan lembut, namun penuh perhatian.Kael duduk di seberang Kakek Ling, berusaha menenangkan dirinya sebelum mulai berbicara. "Aku menemukan beberapa informasi tentang para bandit. Mereka tidak hanya menyerang desa-desa di kerajaan Zarkan, tapi juga desa-desa di luar perbatasan.”Kakek Ling menaikkan alisnya, menunggu Kael melanjutkan."Aku bertemu dengan seorang pria yang sedang dikejar oleh bandit aliran hitam. Aku melindunginya dan berhasil melawan mereka
Rasa penasaran Kael membawanya mendekat. Matanya menajam saat melihat sekelompok bandit bertarung dengan dua pemuda berpakaian bangsawan. Ia tak peduli apa yang mereka perebutkan, yang ia tahu hanyalah bahwa ia membenci bandit. Tanpa ragu, ia menghunus pedangnya dan menerjang ke dalam pertempuran. Kael bergerak cepat, setiap ayunan pedangnya membawa kehancuran bagi para bandit. Kekacauan melingkupi tempat itu, namun Kael tetap tenang, setiap langkahnya penuh keyakinan. Ia bukan satu-satunya yang tangguh, kedua pemuda bangsawan itu pun menunjukkan keterampilan bertarung yang luar biasa. Dalam waktu singkat, para bandit berhasil dikalahkan. Salah satu dari mereka, seorang pemuda dengan sorot mata tajam dan postur tegap, mendekat dan berkata, "Terima kasih atas bantuannya." Kael mengembalikan pedangnya ke sarungnya. "Aku hanya sedang lewat dan sedikit membantu. Melihat bandit, aku jadi geram." Pemuda itu tersenyum tipis. "Kau boleh tahu, hendak ke mana?" "Akademi kerajaan," jawa
Dengan peta dari altar di tangan Kael, mereka meninggalkan reruntuhan kuil ketiga. Angin lembah membawa aroma tanah basah dan reruntuhan sihir yang perlahan lenyap, namun hati mereka tetap waspada. Kuil keempat tidak berada di permukaan—ia tersembunyi jauh di perut bumi, di sebuah wilayah yang dikenal sebagai Lembah Terlarang, tempat tidak ada kompas sihir yang bisa diandalkan.Hari baru belum mencapai tengah ketika langkah mereka terhenti."Kau dengar itu?" bisik Arsel sambil meraih gagang pedangnya.Kael mengangguk pelan. Udara mendadak menegang. Pepohonan bergoyang meski angin tidak bertiup. Lalu tiba-tiba—sesosok makhluk meluncur turun dari langit, mendarat di hadapan mereka dengan dentuman keras.Tubuhnya tinggi dan ramping, dibalut zirah gelap yang menyerap cahaya. Jubahnya berkibar dengan gerakan lambat seperti asap, dan matanya menyala biru dingin."Kalian telah melangkah terlalu jauh," ucapnya. Suaranya datar, namun mengandung kekuatan yang menekan.Kael melangkah maju, "Siap
Langkah Kael dan Arsel semakin mendekat ke celah batu menjulang itu. Kabut kian menebal, menyelimuti tanah dan memburamkan pandangan. Suasana berubah sunyi—terlalu sunyi. Tidak ada suara burung, tidak ada desir angin. Hanya gemerisik langkah kaki mereka di atas tanah lembap.“Tempat ini… terasa berbeda,” gumam Arsel sambil menajamkan pendengaran.Tiba-tiba, bumi bergetar ringan. Kabut di depan mereka terbelah, memperlihatkan sesuatu yang tak mereka duga.Sosok-sosok hitam bermantel merah darah muncul dari balik celah batu. Wajah mereka tersembunyi di balik topeng kayu tua.“Pengikut Bayangan Hitam…” desis Kael, langsung menarik pedang naga hitamnya.Salah satu dari mereka maju selangkah, suaranya berat dan bergaung—seperti gema dari dunia lain.“Kuil ini bukan milik kalian. Yang tak dipilih, harus binasa.”Seketika tanah di sekitar mereka meledak, menciptakan lingkaran api kehijauan yang melingkupi tempat itu. Sebuah jebakan sihir kuno—dan mereka sudah berada di tengahnya.Arsel langs
Malam turun perlahan, membawa serta udara dingin yang menyusup di balik lapisan pakaian. Kael dan Arsel duduk bersandar di balik batu besar, jauh dari tempat pertempuran sebelumnya. Api unggun kecil menyala redup di antara mereka, cukup untuk mengusir hawa dingin tapi tidak mencolok di tengah hutan yang gelap.Kael menatap api itu lama, diam. Tangannya masih terasa berat, tapi pikirannya jauh lebih tenang.Arsel menyodorkan kantung air. “Minumlah. Kau hampir kehilangan kesadaran tadi.”Kael menerimanya, lalu tersenyum lelah. “Aku tahu. Tapi kalau saat itu aku ragu, kita sudah mati.”“Kau terlalu sering menanggung semuanya sendiri,” sahut Arsel, menatap Kael dengan mata serius. “Aku ada di sini, Kael. Bukan hanya sebagai penjaga punggungmu. Tapi teman. Saudara.”Kael menghela napas. “Aku tahu… dan mungkin itu yang membuatku bisa bertahan.” Ia menunduk, mengingat bayangan kekuatan hitam, luka di tubuh Arsel, dan musuh yang tak pernah berhenti datang.“Tapi aku tak ingin ka
Lembah Untaian Arwah. Sebuah nama yang hampir tak terdengar lagi dalam peta-peta baru. Namun dalam catatan kuno dan bisikan para penjelajah tua, lembah itu disebut-sebut sebagai tempat di mana jiwa-jiwa yang hilang belum menemukan kedamaian.Kael dan Arsel tiba di tepi lembah menjelang senja. Kabut menggulung perlahan seperti napas makhluk besar yang tidur. Angin berdesir tanpa suara, membawa bau tanah basah dan sesuatu yang asing… seperti dupa lama yang pernah terbakar.“Kau yakin ini tempatnya?” tanya Arsel, menatap ke arah kabut tebal yang menutupi lembah.“Pola simbol di peta dan arah energi yang kurasakan… semuanya menunjuk ke sini,” jawab Kael, tegas. Tapi dalam hatinya, bahkan ia tak sepenuhnya yakin. Satu langkah ke dalam lembah, dan suara dunia luar seperti lenyap. Hening, menyesakkan.Mereka terus berjalan, namun kabut tak menipis—justru semakin padat, seolah menolak kehadiran mereka. Arsel terbatuk. Udara di sini berbeda. Kaki mereka kadang menyentuh tanah padat, ka
Asap dan debu perlahan mereda. Kael berdiri di tengah kawah kecil yang tercipta akibat benturan dahsyat tadi. Nafasnya masih berat, tapi sorot matanya tak bergeming.Di seberang sana, sang petinggi Kalajengking Merah terhuyung-huyung. Tubuhnya dipenuhi luka, jubah merahnya hangus terbakar di beberapa bagian. Wajahnya menegang—tak percaya telah dipukul mundur oleh Kael."Bocah sialan..." desisnya, sambil mengangkat kristal kecil dari dalam jubahnya. "Kau… akan menyesali ini. Kau telah menunjukkan terlalu banyak."Seketika, energi kegelapan mengelilingi tubuhnya, menciptakan lorong bayangan.“Tunggu!” Kael melangkah maju, mencoba menghentikannya. Tapi energi itu terlalu cepat.“Kita akan bertemu lagi… dan saat itu, kau takkan berdiri lagi.” Dengan kata terakhirnya, sosok sang petinggi lenyap ke dalam kegelapan, meninggalkan bekas hangus di tanah.Kael berdiri diam, menatap tempat musuh itu menghilang. Arsel menghampiri, tertatih namun masih tegar.“Kau menahan diri, ya?” tanya
Malam mulai menyelimuti kota, tapi Kael dan Arsel belum berhenti bergerak. Mereka berpindah dari satu tempat ke tempat lain—kedai tua, rumah penyimpan barang antik, bahkan berbincang dengan pengemis tua yang katanya pernah melihat "pintu batu yang menelan cahaya".Namun, semuanya masih kabur. Tak ada satu pun informasi yang benar-benar mengarah pada kuil tersembunyi yang mereka cari.Kael duduk di tepi pancuran batu di alun-alun kecil, pandangannya kosong menatap air yang tenang. “Terlalu rapi,” gumamnya. “Seolah kuil itu disembunyikan bukan hanya oleh waktu, tapi oleh kehendak.”Arsel berdiri tak jauh, bersandar pada tiang kayu. "Mungkin memang begitu. Kuil ini… bukan untuk ditemukan dengan mudah."Kael menarik napas dalam-dalam. Ia membuka kembali gulungan peta tua yang ia temukan di kios tadi pagi. Tak ada tanda kuil, tapi bentuk jalan-jalan di bagian barat kota… aneh. Melingkar, seakan memutari sesuatu. Sesuatu yang tak tergambar di peta."Lihat ini," katanya pada Arsel,
Keesokan paginya, Kael dan Arsel bergerak cepat. Mereka berpisah di dalam kota, saling menyamar sebagai pelancong biasa. Target mereka jelas: mencari jejak tentang kuil berikutnya.Kael masuk ke beberapa kios tua di pasar belakang. Ia pura-pura mengamati gulungan peta dan perhiasan antik, sambil mendengarkan percakapan orang-orang."Kau dengar soal reruntuhan di sebelah utara?" bisik seorang pedagang tua pada temannya. "Katanya, tanahnya retak sendiri… ada sesuatu yang terbangun di bawahnya."Kael mencatatnya dalam pikirannya. Reruntuhan di utara—mungkin itu kuil keempat.Sementara itu, Arsel berbicara dengan pemilik kedai. Mencoba mengorek informasi dengan santai, seolah sekadar penasaran tentang legenda lokal. Tapi saat Arsel menyebut "reruntuhan," wajah pemilik kedai itu mendadak kaku."Kau sebaiknya menjauh dari sana," katanya. "Banyak yang pergi… tak ada yang kembali."Arsel hanya tersenyum tipis, membayar minuman, lalu pergi.Mereka bertemu kembali di sudut pasar, sali
Malam itu, mereka beristirahat di sebuah dataran kecil di atas tebing, jauh dari jalur utama. Api kecil menyala di antara mereka, cukup untuk menghangatkan tubuh tanpa menarik perhatian.Kael duduk bersandar di sebuah batu besar, pedangnya bersandar di sisi tubuhnya. Arsel, di sisi lain, sibuk membungkus luka kecil di lengannya sambil sesekali melirik ke arah temannya.“Kita terlalu ceroboh.” Arsel membuka percakapan, nada suaranya santai tapi serius.Kael menghela napas panjang, membenarkan posisi duduknya. “Mungkin. Tapi kita tak punya kemewahan untuk berhenti lama-lama.”Arsel tersenyum tipis, mengambil ranting kecil dan mengaduk-aduk api. “Bukan berarti kita harus membabi buta. Sekarang mereka tahu siapa kita. Mereka akan menunggu, menjebak, bahkan mungkin memanfaatkan kuil-kuil tersisa untuk melawan kita.”Kael memejamkan mata sejenak, berpikir. “Kuil-kuil itu tidak hanya berfungsi sebagai segel… tapi juga sebagai alat komunikasi bagi para pengikut bayang. Jika satu han
Kuil keempat berdiri seperti hantu di tengah reruntuhan batu dan hutan kering. Tak ada suara burung. Tak ada angin. Hanya keheningan yang menekan dada.Kael berdiri di hadapan pintu batu raksasa, telapak tangannya meraba ukiran lama yang hampir terhapus waktu. “Ini kuil yang berbeda,” bisiknya. “Yang ini… bangga.”Arsel menatap sekeliling, berjaga. “Apa maksudmu?”Kael menoleh, matanya serius. “Tiga kuil sebelumnya menyembunyikan bayang hitam. Tapi kuil ini… menjaganya. Menyatu dengannya.”Ia menarik pedangnya—naga hitam berdenyut pelan, seolah merespons aura kelam dari dalam.Kael menancapkan pedangnya ke tanah di depan pintu, lalu menarik gulungan yang dicuri dari Kalajengking Merah. Ia mulai membacakan potongan mantra pemecah segel—sebuah bahasa lama yang bahkan angin pun enggan menyentuh.Tanah bergetar. Pintu batu retak perlahan… tapi saat celah terbuka, kabut hitam menyembur keluar disertai suara raungan rendah, seperti ribuan suara berbisik dalam satu napas.Arsel mundu