"Apa kau tidak pernah makan?"
"Apa?!" tanya Genjo Li setengah berteriak. Ia sangat yakin kalau kelelahan mulai membuat pendengaran bermasalah. Oleh karena itu, bukannya menjawab pertanyaan aneh Zhouyang Hong, ia justru bertanya dengan suara seperti membentak. Sebetulnya, ia jelas tidak berniat demikian. Ia hanya ... tersentak kaget. Genjo Li lalu membungkuk dan berkata, "Maafkan aku, Tuan."
"Aku lapar. Ayo pulang dan makan dulu!" Zhouyang Hong berjalan meninggalkan sawah.
Genjo Li masih terpaku di tempatnya. Dari semua kemungkinan 'salah dengar' mengapa ia mendengar Zhouyang Hong mengatakan hal yang biasa dikatakan oleh para kaum dermawan? 'Ah, sepertinya aku terlalu lapar hingga mulai berhalusinasi. Tidak mungkin Tuan Zhouyang bermurah hati membagi makanannya padaku. Minum saja aku tidak boleh,' batin Genjo Li tidak mau kecewa karena terlalu berharap bisa makan gratis.
Setelah memikirkan hal itu, Genjo Li pun memutuskan untuk kembali membajak tanah. Seti
“Apa kabar, Menteri Wang? Aku harap, aku tidak datang terlambat.”Wang Weo bergeming beberapa saat melihat lelaki yang terus menghunuskan pedang ke para penyusup yang menyerangnya. Segala pertanyaan yang sejak tadi menganggu benaknya bahkan belum terpecahkan. Kini lelaki yang masih menjadi misteri baginya telah muncul dan ‘menolongnya’. Lagi?Tepat sekali, lelaki yang telah menyelamatkan Wang Weo kali ini tidak lain adalah Liu Xingshen, si ahli botani. Terang saja jika Wang Weo menjadi sangat terkejut. Pengakuan Liu Xingshen sebagai ahli tanaman menyoal bunga Rubah Ungu di istana saja sudah cukup mengagetkan menteri pertahanan itu. Sekarang, lelaki itu juga datang untuk membantunya, bahkan menyelamatkannya dari serangan anak panah.“Tenang, Menteri Wang. Kita berada dalam satu kubu,” ucap Liu Xingshen tiba-tiba seperti mampu membaca pikiran Wang Weo.Meski Wang Weo masih belum begitu mengerti, pada akhirnya ia memutuska
Tidak ada yang bisa Genjo Li lakukan selain memejamkan mata beberapa saat atas reaksi yang diberikan Zhouyang Hong. Memangnya seberapa besar kesalahan yang ia lakukan sampai lelaki tua itu mengumpat padanya? Sejujurnya Genjo Li bahkan tidak tahu perkataannya yang mana yang salah!“Memangnya kau pikir kau itu siapa? Apa aku harus mempersilakanmu dengan ramah dan lembut untuk setiap hal? Aku bahkan tidak bersikap begitu kepada para pejabat!”“Ma-maaf, Tuan.”“Bodoh! Apa selain tidur kau hanya bisa minta maaf?!” bentak Zhouyang Hong dengan kedua mata nyaris keluar. Masih dengan nada yang sama ia kemudian berteriak, “Makan!”Genjo Li tidak tahu apakah kakek di hadapannya itu sebelumnya pernah kehilangan kewarasan atau tidak sehingga menjadi begitu ‘berbeda’. Ia mencoba mengabaikan kebingungannya dan mulai makan saja. Sampai kapan pun pikirannya tidak akan mampu mencerna segala tingkah aneh calon guru
Zhouyang Hong beranjak dari duduknya. Ia berjalan meninggalkan ruangan itu dengan wajah dingin tanpa menjawab pertanyaan Genjo Li. Sesampainya di ambang pintu lelaki tua itu berhenti. Tanpa menoleh ia berkata, “Pergi dan selesaikan tugas keduamu. Jangan lupa bereskan perabot makan itu.” Zhouyang Hong mengambil jeda. Lalu ia tersenyum dan menoleh. “Tanganku sudah gatal ingin memukul murid malas.” Genjo Li masih diam di tempatnya hingga Zhouyang Hong berlalu. Ia berusaha mencerna segala perkataan Zhouyang Hong. Ia bisa mendengar dengan jelas kalau lelaki tua yang sangat kasar itu berbicara seolah memberi pertanda baik pada Genjo Li. Bukankah Zhouyang Hong selalu menyebut Genjo Li sebagai ‘pemalas’? Apa yang dipikirkan Zhouyang Hong sangat sulit untuk ditebak. Awalnya lelaki itu bersikap seperti mempersulit Genjo Li agar berhenti meminta diangkat menjadi murid. Namun, kemudian apa yang dilakukan Zhouyang Hong seolah menunjukkan kalau lelaki itu ‘mempermudah’ Genjo
Pelayan meletakkan anggur kesukaan majikannya di atas meja. Ia mengisi tiga gelas kosong dengan minuman yang aromanya sangat berbeda itu. Tiga lelaki dengan senyum puas tampak bersulang bersama. Mereka melakukan perayaan kecil atas kemenangan yang semakin dekat. “Tunggu, sampai sekarang masih ada satu pertanyaan yang menggangguku.” “Apa Tuan Wang? Katakan saja.” “Bagaimana Tuan Liu bisa tetap baik-baik saja setelah menghirup dan memegang bunga Rubah Ungu secara langsung?” “Hahaha, Ketua Wang ... dia ini seorang ahli! Mendengar bagaimana kau bertanya, aku yakin Tuan Liu telah melakukan pertunjukkan yang bagus.” Ju Shen tidak bisa menahan tawanya lagi. Ia terkekeh menyadari temannya telah melaksanakan tugas dengan sangat baik. “Tuan Ju berlebihan. Semuanya berkat arahan dari Tuan.” Liu Xingshen menggeser pandangannya dari Ju Shen ke Wang Weo. “Tuan Wang, sebenarnya aku sudah meminum penawar dari racun Rubah Ungu. Jika tidak, mungkin aku su
Seorang lelaki menatap lekat seorang tahanan. Beberapa kali ia tampak minum ketika kedua matanya mulai dihinggapi kantuk. Ia sudah bertekad untuk tetap terjaga malam ini. Ia tidak mau kelalaian akan membuatnya mengulangi kesalahan yang telah dilakukan. Demi simpati dari sang kaisar, lelaki itu tidak akan tidur malam ini. “Kasim Qiang, wajahmu tampak pucat. Sepertinya kau memerlukan istirahat,” ucap seseorang dari dalam sel tahanan. Kasim Qiang tersenyum. Lalu menjawab, “Tabib Wu, kau tidak perlu mencemaskan keadaanku. Alangkah baiknya kau pikirkan saja keselamatanmu. Aku cemas jika hal buruk terjadi padamu, tentu akan berpengaruh juga pada Kiasar Long.” Baginya perhatian dari Tabib Wu hanyalah pengalihan supaya dirinya lengah dari penjagaan. ‘Apa kau pikir bisa mengelabuiku?’ Tabib Wu membalasnya dengan senyum pula. Lalu ia mulai merebahkan badannya di lantai. “Kalau begitu aku akan tidur dulu Kasim Qiang. Aku sudah sangat ... hua ... mengantuk.” “Ya,
“Yang Mulia ....” Semua orang di dalam ruangan itu mengembuskan napas lega ketika melihat Long Feng membuka matanya. Beberapa waktu lalu Long Feng tak sadarkan diri usai meminta pelayan untuk mengambilkan minum. Terpaksa Tabib Wu dikeluarkan lebih cepat dari dalam penjara. Semestinya tabib istana itu baru dibebaskan setelah matahari benar-benar terlihat. Akan tetapi laporan dari pelayan Long Feng membuat Kasim Qiang meminta penjaga untuk membuka sel seketika itu juga. “Bagaimana keadaan Yang Mulia?” tanya Kasim Qiang melihat kerutan di dahi Tabib Wu. “Yang Mulia semakin lemah. Denyut nadi Yang Mulia bahkan timbul dan tenggelam. Ini sangat--" “Kalau begitu lakukan sesuatu! Sebagai tabib istana kau memiliki tanggung jawab untuk menjaga kesehatan dan keselamatan Yang Mulia! Jika hak buruk terjadi, kau tentu tahu akibatnya,” seru Kasim Qiang dengan nada agak tinggi. Tabib Wu menghela napas panjang hingga pundaknya sedikit turun. Dengan suara pelan
Long Feng tidak hanya mengeluarkan darah dari mulut saja, tetapi juga hidung, telinga, bahkan mata. Bajunya yang putih telah berubah menjadi merah. Sampai akhirnya Long Feng tak sadarkan diri. “Semuanya pasti karena biji setan ini!” Kasim Qiang meletakkan kotak kecil, yang menjadi tempat biji Kacang Dewa disimpan, di atas meja. Kedua tangannya bergetar hebat. Lalu, kasim itu mengalihkan pandangannya ke Tabib Wu. Dengan cepat ia menarik kerah baju sang tabib hingga wajah keduanya hanya berjarak sejengkal saja. “Tabib Wu, kau pasti yang merencanakan ini semua ‘kan? Kau sudah bersekongkol dengan Liu Xingshen untuk ... pengawal, tangkap Tabib Wu sekarang juga!” Tidak ada satu pun pengawal di ruangan itu yang bergerak melaksanakan perintah Kasim Qiang. Semuanya masih diam terpaku di tempat masing-masing. "Kenapa hanya diam? Cepat tangkap dan penjarakan Tabib Wu!" Kasim Qiang mengulangi perintahnya. “Kasim Qiang, Tabib Wu juga meminum biji itu kemarin. Tapi
Suara tangisan pecah di ruangan itu. Semua orang menunjukkan kesedihan atas kematian sang kaisar. Namun, Liu Xingshen terus menggeleng, lalu berkata cukup lantang, "Berhenti!" "Kenapa Tuan Liu? Kenapa kau meminta kami berhenti menangis atas bencana besar di depan mata?" protes Kasim Qiang yang terduduk dengan berlinang air mata. "Ada yang tidak beres. Kasim Qiang, Tabib Wu, aku memberikan tiga biji Kacang Dewa pada Yang Mulia. Berapa biji yang sudah diminum Kaisar Long dan sejak kapan Yang Mulia muntah darah?" Liu Xingshen menyelidik. Ia merasa harus menuntaskan keganjilan yang terjadi. "Tuan Liu, Yang Mulia baru meminum satu biji dan langsung muntah darah. Sebelumnya, Yang Mulia telah berbaik hati memberikan biji itu pada Tabib Wu," jawab Kasim Qiang diikuti anggukan Tabib Wu. "Apa Tabib Wu sudah meminumnya?" Tabib Wu mengangguk mantap. Kemudian ia menjelaskan yang terjadi sebelumnya. "Iya, Tuan. Yang Mulia memintaku untuk lebih dulu meminum