MasukDi sampingnya, Bupati Kudus turut melangkah terburu. Seorang lelaki menjelang tua. Penghormatannya wajar-wajar saja. Tak seperti sang Saudagar. Senyum tulusnya mengembang. Wajahnya bersih dan enak dipandang.
"Waduh, waduh Gusti Patih, selamat datang!" sambut sang Saudagar, berlebihan.
Bagaspati turun dari punggung kuda. Diikuti Angon Luwak dan Tresnasari. Kuda mereka digiring seorang kacung ke kandang. Dengan terbungkuk-bungkuk dalam, sang Saudagar mempersilakan Bagaspati, Angon Luwak dan Tresnasari untuk melangkah ke pendapa rumahnya.
Beberapa undangan di pendapa serentak bangkit dan menghaturkan hormat pada tiga orang tamu yang baru datang. Hidung Angon Luwak kembang-kempis. Baru sekali ini dia merasakan suasana seperti itu. Biarpun dia tahu sebenarnya penghormatan itu ditujukan untuk Bagaspati. Jalannya digagah-gagahkan. Rasanya, dialah sang Patih yang dihormati.
‘Sekali-kali, bolehlah bermimpi,’ gumam Angon Luwak dalam hati. Ngaco! Coba ka
Tiga sodokan sisi telapak kakinya kembali lolos begitu saja. Kepala lawan yang hendak dijadikan sasaran bergerak nyaris tak kentara. Bahkan oleh mata lawan yang banyak tahu tentang ilmu olah kanuragan. Terbukti dengan dimenangkannya satu partai pertandingan belum lama.Kepala lawan yang tertutup tudung seperti berpindah-pindah tempat meski badannya sendiri sama sekali tak bergeming. Bila kaki lelaki perlente menohok ke samping kiri, kepala orang bertudung tahu-tahu sudah condong ke samping kanan. Begitu sebaliknya. Di akhir serangan beruntun, kaki lelaki perlente membuat satu putaran dengan bertumpu pada sends lututnya. Seakan hendak dipeluntirnya kepala orang bertudung.Jika orang bertudung hanya menggerakkan lehernya sekali ini, maka tak akan ada kemungkinan baginya untuk selamat. Sebab, putaran kaki lawan menutup ruang gerak yang bisa dijangkau otot lehernya.Wukh! Tep!Bergerak bagai bayangan, tangan orang bertudung mendadak sontak terangkat, dan disa
Disana terdapat taman kecil asri. Beberapa jenis bebungaan ditanam di sana. Di tengah-tengah taman, ada semacam kolam pemandian. Sejuk airnya, mengundang. Kalau bukan di tempat orang, dia akan segera buka pakaian dan langsung terjun. Kalau perlu bugil, bugil sekalian! Dia jadi ingat masa kecilnya dulu. Bagaimana dia terjun bugil-bugil ke laut lepas di pantai Ketawang....Hey, Angon Luwak terhenyak. Sebagian ingatan masa lalunya kini mulai kembali! Selama ini, bayang-bayang masa kecilnya itu sama sekali tak terngiang di benaknya. Selagi tertakjub dengan sekelumit ingatannya, perhatian pemuda itu diusik oleh suara tangisan seorang wanita dari balik dinding kayu bangunan. Karena suara tangisan itu begitu halus, Angon Luwak beringsut mendekati dinding kayu di bawah jendela. Dia ingin meyakinkan diri.‘Jangan-jangan cuma salah dengar,’ pikirnya.Ditempelkannya telinga ke dinding. Benar, memang ada seorang perempuan sedang menangis di dalam sana."S
Di sampingnya, Bupati Kudus turut melangkah terburu. Seorang lelaki menjelang tua. Penghormatannya wajar-wajar saja. Tak seperti sang Saudagar. Senyum tulusnya mengembang. Wajahnya bersih dan enak dipandang."Waduh, waduh Gusti Patih, selamat datang!" sambut sang Saudagar, berlebihan.Bagaspati turun dari punggung kuda. Diikuti Angon Luwak dan Tresnasari. Kuda mereka digiring seorang kacung ke kandang. Dengan terbungkuk-bungkuk dalam, sang Saudagar mempersilakan Bagaspati, Angon Luwak dan Tresnasari untuk melangkah ke pendapa rumahnya.Beberapa undangan di pendapa serentak bangkit dan menghaturkan hormat pada tiga orang tamu yang baru datang. Hidung Angon Luwak kembang-kempis. Baru sekali ini dia merasakan suasana seperti itu. Biarpun dia tahu sebenarnya penghormatan itu ditujukan untuk Bagaspati. Jalannya digagah-gagahkan. Rasanya, dialah sang Patih yang dihormati.‘Sekali-kali, bolehlah bermimpi,’ gumam Angon Luwak dalam hati. Ngaco! Coba ka
Bagaspati terpaksa tersenyum lagi mendengar cerocos Angon Luwak. Padahal, sebelumnya pemuda itu justru yang tak sabar meminta penjelasan. Sampai akhirnya Angon Luwak menyadari sendiri kebodohannya."He he he, aku terlalu banyak ngomong, ya Kang?" ujarnya lugu, dengan ringisan malu-malu (dan sedikit 'malu-maluin'!).“Kau siap mendengar penjelasanku?" tanya Patih Bagaspati.Angon Luwak mengangguk. Dia tak ingin membiarkan mulutnya ngoceh lagi. Kalau sedang bingung. mulutnya sering kali sulit dikendalikan. Maunya "nyambar' terus seperti mercon."Begini..." Bagaspati memulai. "Sebenarnya, tindakanku menyelinap di atas wuwungan adalah rencana Kanjeng Susuhan sendiri....""Ah, masa'!" perangah Angon Luwak. Matanya membesar. Langkahnya terhenti."Ya. Beliau bermaksud menguji kepandaianmu selaku seorang pendekar muda. Lalu, aku diperintah untuk mengujinya.'"Ah, buat apa menguji aku segala" Angon Luwak tak percaya. Benar-benar tak perca
KERATON Demak di penghujung dini hari. Kekacauan baru saja pupus, berkawal kokok ayam jantan pertama di pagi buta, Seluruh prajurit Keraton Demak berkumpul di luar, di Taman Sari dekat dengan ruang peristirahatan raja. Raden Fatah berdiri di antara mereka, mengawasi kejadian di samping satu tiang keraton. Meski baru saja berkecamuk kekacauan, parasnya sama sekali tak berubah. Tetap tenang, tetap dengan kesejukannya. Seolah badai hebat pun tak bisa mempengaruhi paras lelaki tua berwibawa itu.Di tengah-tengah pelataran Taman Sari, seorang lelaki berpakaian hitam-hitam tergeletak lemah. Mulut dan hidungnya mengalirkan darah. Wajahnya yang keras dan kokoh demikian pucat. Menderita sekali tampaknya. Terlihat dari caranya mendekap dada. Juga dari garis-garis di wajahnya. Susah payah dia berusaha bergerak bangkit.Di atas wuwungan ruang peristirahatan, berdiri seorang pemuda gagah berambut lurus panjang kemerahan hingga sebatas bahu. Dia mengenakan rompi putih dari kulit bin
Lagi-lagi Angon Luwak cengar-cengir lugu. Dalam hati, Angon Luwak merasa tak pantas mendapat pujian dari orang besar dan mulia seperti Raden Patah yang sudah berusia cukup lanjut. Kalau mengingat bagaimana masa-masa muda gemilang pendiri Kerajaan Demak itu yang sering didengarnya dari cerita-cerita masyarakat, Angon Luwak merasa tak berarti apa-apa.Pernah Angon Luwak mendengar, masa muda Raden Patah sudah diisi dengan perjuangan tak kunjung padam. Tak kenal letih. Tak kenal waktu. Bahkan sampai kini, di usianya yang sudah cukup tua. Bukan karena dalam dirinya masih mengalir darah raja-raja Majapahit. Melainkan karena keluhuran budi pekertinya dalam godokan pemuka-pemuka masyarakat yang tak diragukan pula keluhuran jiwanya.Membayangkan masa muda Raden Patah; membuat dorongan semangat dalam diri Angon Luwak untuk mengikuti jejaknya.Malam sudah cukup larut. Angon Luwak diberi kamar di dekat ruang pasang-rahan. Tresnasari mendapat kamar tersendiri, berseberangan







