Ratu Penguasa Laut Kidul atau yang lebih sering kita kenal sebagai Nyi Roro Kidul atau Kanjeng Ratu Kidul adalah penguasa Pantai Selatan yang sangat terkenal akan kesaktiannya. Angon Luwak, demikian nama seorang pemuda yang sangat menyukai ilmu kanuragan. Walaupun namanya terkesan unik alias ndeso, tapi siapa sangka kalau dia .adalah anak seorang raja. Entah suatu takdir atau kebetulan, Angon Luwak berjodoh mendapatkan dua pusaka maha dahsyat yang bernama Cemeti Laut Selatan dan Pedang Laut Selatan. Karena berjodoh dengan dua pusaka yang merupakan pilar pusaka istana laut kidul, maka Ratu Penguasa Laut Kidulpun mewariskan kesaktiannya kepada Angon Luwak. Selain mendapatkan kesaktian dari Ratu Penguasa Laut Kidul, Angon Luwak juga berguru pada 2 tokoh yang sangat disegani pada masa itu, yaitu Dedengkot Sinting dan Tabib Tangan Dewa Dari Pulau Hantu. Dengan kesaktiannya yang mumpuni dan gila-gilaan, maka orang-orang persilatan memberikan julukan PENDEKAR SINTING DARI LAUT SELATAN kepadanya. Dan inilah kisahnya…
View MoreHARI itu alam murka. Badai besar mendatangi wilayah tersebut. Ombak raksasa bergulung-gulung di kejauhan bagai tembok hidup menggapai angkasa. Sulit memastikan berapa ketinggian ombak saat itu. Lima enam meter bisa jadi lebih. Dan untuk ombak setinggi itu, tak diragukan lagi akan sanggup memporak-porandakan seluruh keadaan di sekitar pesisir pantai. Awan gelap sudah mengepung beberapa lama sebelumnya. Seperti halnya angin kencang yang terus mendengus-dengus.
Matahari benar-benar terkunci dalam timbunan awan kelam. Siang nyaris bagaikan suasana menjelang malam. Tak ada tanda-tanda bahwa alam akan bersikap ramah pada siapa pun, pada apa pun. Tak peduli barisan pepohonan kelapa, atau gubuk-gubuk rapuh di sekitarnya, serta seluruh manusia yang mendiaminya. Terlalu sulit untuk berkelit dari bencana. Suara-suara riuh bergemuruh yang terdengar tak lebih dari berita menakutkan. Keberanian manusia seperti tak dibutuhkan untuk menjelang kejadian tersebut.
Di salah satu perkampungan yang terletak tepat di bibir pantai Ketawang, berpuluh-puluh penduduk desa berhamburan ketakutan. Masing-masing bersicepat dalam irama kacau balau untuk menyelamatkan jiwa dan harta mereka.
Dalam himpitan ketakutan teramat sangat, mereka keluar dari rumah dengan membopong benda-benda yang perlu diselamatkan. Hewan-hewan ternak berteriak-teriak, menimpali teriakan-teriakan penduduk desa. Kambing mengembik-embik dalam seretan beberapa lelaki, kerbau melenguh-lenguh, ayam berkeok-keok. Dan sehimpun keributan lain berbaur membangun suasana hiruk-pikuk.
Belum lagi para ibu yang serabutan mencari anak-anaknya. Belum pula para lelaki muda yang kelimpungan mencari-cari istri tercinta yang baru dinikahi kurang dari satu purnama. Ada janda ribut kehilangan konde, ada duda kalap terlanggar kerbau. Ada nenek dan kakek pikun meributkan tempayan bocor yang lupa dibawa.
Putus kata, semuanya kacau balau! Di satu sudut desa, seorang anak malah asyik terpulas di atap kandang kambing. Seorang anak lelaki berusia sekitar tiga belas tahun. Berpakaian kumal dengan baju hitam koyak moyak tanpa lengan dan celana pendek. Rambutnya panjang kemerahan. Berwajah lugu bagai tanpa dosa.
Dengkur halusnya seolah menyelinap-nyelinap santai di antara riuh-rendah suara keributan. Entah bagaimana bocah itu bisa tertidur sepulas itu dalam keadaan yang memungkinkan nyawanya terlempar dari raga setiap saat.
Mungkin semalam dia begadang semalam suntuk menyaksikan pagelaran wayang kulit. Mungkin juga dia terlalu lelah bekerja. Tak mungkin dia sedang dalam keadaan mabuk.
Dialah si Angon Luwak, si bocah penggembala kambing yang merupakan sahabat Baraka, Pendekar Kera Sakti, muridnya Ki Bwana Sekarat. Untuk mengetahui lebih banyak tentang Angon Luwak. Bisa dibaca di cerita PENDEKAR KERA SAKTI.
Yang jelas, ketika seorang perempuan setengah baya meneriakinya, barulah Angon Luwak tersentak bangun.
"Ada apa?" Tanyanya polos sambil mengusap-usap kedua bola matanya yang bulat namun bergaris kuat. ‘Ada apa katanya?’ Padahal angin begitu ngotot berseliweran di sekitarnya. Sampai-sampai tubuhnya teroleng-oleng. Bagaimana dia masih bisa bertanya begitu?
"Ada apa?!" Pekik si perempuan setengah baya dengan mata mendelik.
"Apa kau bocah sinting?! Cepat kau turun dari atap itu. Ombak besar sedang menuju ke sini. Kalau mau mampus, teruskan saja tidurmu!" Semburnya lagi dengan suara bagai kaleng rombeng.
"Ada badai memangnya?" Tanya Angon Luwak terperangah kebodoh-bodohan. Matanya membelalak. Sampai gumpalan tahi mata keringnya terpental.
"Iya, Bodoh! Cepat turun!"
Bukannya cepat-cepat turun, Angon Luwak malah melepas pandangannya ke arah laut. Dari atas atap kandang kambing, dia dapat dengan bebas memandang ke arah sana. Dilihatnya sebentang suasana mengerikan.
Menyaksikan gulungan ombak raksasa di kejauhan dan angkasa yang berwarna legam, mata bocah itu jadi tak berkedip. Sesaat dia terpana seperti terkena tenung nenek sihir dari negeri Antah Berantah. Sampai akhirnya teriakan memekakkan telinga perempuan setengah baya tadi menyadarkannya.
Angon Luwak segera turun terbirit-birit dari atap kandang kambing. Nyaris saja dia terpelanting jatuh.
"Cepat bantu aku ke atas bukit!" Seru si perempuan setengah baya lagi. Angon Luwak berhenti bergerak.
"Bantu mengangkat Si Mbok ke atas bukit? Astaga, mana aku kuat...," Gerutunya, salah paham.
"Maksudku, bantu membawa barang-barang, Bocah Bodoh!"
Tahu maksud perintah perempuan yang dipanggil Si Mbok, Angon Luwak bergegas kembali. Dia berlari ke satu gubuk sekitar sepuluh depa dari kandang kambing. Di depan pintu gubuk, tergolek satu buntalan besar. Benda itu segera disambarnya.
"Bocah celaka, jangan kau curi buntalanku!" Teriak seorang lelaki berbadan kurus berkulit hitam.
"Astaga, salah sambar...," Desis Angon Luwak seraya terburu-buru mengembalikan buntalan tadi ke tempatnya.
"Angoonnn!!!"
Perempuan setengah baya tadi berteriak dari bawah satu pohon kelapa. Tertatih-tatih, dia berjalan dengan beban dua buntalan besar di kedua belah tangannya. Rupanya dia sudah siap meninggalkan desa secepatnya.
Badai serupa pernah terjadi beberapa puluh tahun silam. Waktu itu terjadi malam hari, ketika penduduk desa sama sekali tak siap. pulauMereka terlibas gulungan ombak setinggi atap saat terpulas di balai masing-masing. Puluhan nyawa menjadi korban. Seandainya mereka siap saat itu, tentu mereka akan segera menyingkir ke tempat yang lebih tinggi dari permukaan laut.
Sementara desa mereka berada tepat di bibir pantai, di mana ketinggian wilayah itu dari permukaan laut begitu rendah. Itu sebabnya terjangan ombak raksasa dengan begitu empuk mengunyah.
Tempat yang paling tepat untuk itu adalah dataran tinggi berumput yang mereka sebut bukit. Tingginya sekitar dua ratus meter dari permukaan laut. Dengan ketinggian seperti itu, mereka berharap dapat selamat dari terjangan ombak raksasa.
Kini, ke dataran itu para penduduk desa berlarian kalang-kabut. Jaraknya tak begitu jauh. Hanya memakan waktu sekitar setengah peminuman teh.
Angon Luwak segera menyambar satu buntalan dari tangan perempuan setengah baya. Dipanggulnya buntalan berukuran lebih besar dari tubuh kurusnya itu. Satu tangannya cepat menggamit pergelangan tangan perempuan yang dipanggil Si Mbok.
"Cepat lari, Si Mbok! Lari!" Teriak Angon Luwak kalang-kabut.
Perempuan setengah baya yang mengenakan kain di bawah lutut tentu saja tak bisa mengimbangi langkah-langkah cepat si bocah. Dia berlari terhuyung-huyung, tersandung kainnya sendiri. Sebelah tangannya berusaha mengangkat kain setinggi-tingginya, tak terpikir lagi kalau sebagian kulit pahanya berwarna keling matang! Malang tak dapat ditolak.
Meski para penduduk desa sudah berusaha secepatnya tiba di dataran tinggi, gulungan ombak raksasa ternyata lebih cepat tiba di pesisir. Pantai ditanduknya dengan garang. Pepohonan kelapa tua tumbang terlibas, lalu dihanyutkan. Beberapa gubuk nelayan yang berdiri paling dekat pada bibir pantai hancur saat itu juga. Puing-puingnya dilarikan gerakan ombak yang terus memburu ke pesisir.
Angon Luwak dan perempuan setengah baya berbalik dengan wajah mengeras ketat. Mata keduanya membelalak. Di belakang sana, mereka menyaksikan pemandangan mengerikan.
Air laut lebih tinggi dari atap gubuk memburu mereka. Si perempuan setengah baya memekik tinggi. Hampir saja dia semaput di tempat. Meskipun tak kalah terkesiap, Angon Luwak segera tersadar untuk segera menyelamatkan diri. Ditariknya lebih kuat pergelangan tangan perempuan setengah baya.
"Lari, Mbok! Lari!!!!" Teriaknya terpecah seraya berlari jalang menghela perempuan setengah baya di belakangnya.
Serabutan keduanya menggerakkan kaki. Di belakang mereka, air laut lebih cepat lagi memburu. Geraknya lebih garang dari amukan air bah.
Beberapa kejap mata kemudian, keduanya terlibas. Terjangan gelombang laut menggulung dua orang itu bagai dua keping kerikil tak berarti. Mereka dipelantingkan, ditenggelamkan, dihanyutkan dan diputar-putar. Sulit untuk menahan napas dalam keadaan seperti itu, kendati sebagai seorang bocah nelayan Angon Luwak terbiasa menyelam di laut. Cepat air laut menerjang ke jalan napas mereka. Paru-paru mereka diterjang.
Mereka kehilangan kesadaran!
Hal mengagumkan terjadi. Pegangan Angon Luwak pada pergelangan tangan wanita setengah umur ternyata tetap terpagut. Dia memang tak sadarkan diri. Namun, kekuatan hatinya untuk menyelamatkan wanita itu telah membuat kehendak bawah sadar Angon Luwak memerintahnya untuk tetap memegang kuat-kuat pergelangan tangan si wanita setengah umur.
Beberapa kejapan sebelum bocah itu kehilangan kesadaran, satu gulungan cairan berwarna kelabu berasal dari dasar laut amat dalam di sekitar Samudera Hindia tanpa sengaja menutupinya.
Tarikan napas tersedaknya menyebabkan cairan keruh kelabu itu terhisap langsung ke paru-paru Angon Luwak. Tubuh Angon Luwak mengejang saat berikutnya. Menyusul sentakan-sentakan tak terkendali, saat tubuhnya sendiri terus digulung oleh gelombang.
Lalu dunia seperti menghilang dari dirinya.
-o0o-
"Hendak ke mana kau?!" Bentak Ki Kusumo, baru saja empat langkah Angon Luwak menjejakkan kaki di atas pasir pantai.Mendadak saja, tubuh Angon Luwak sulit digerakkan. Bukan cuma sepasang kakinya yang memberat seperti dipaku langsung ke dalam bumi, tubuhnya pun sulit digerakkan. Anak itu mematung dalam posisi orang melangkah, membelakangi Ki Kusumo."Kalau kau ingin terus berdiam diri di situ sampai beberapa hari, kau boleh menolak ajakanku sekarang," Ancam Ki Kusumo. Main-main tentunya. Angon Luwak tidak menyahut. Meski Ki Kusumo tidak membuat otot mulutnya kaku juga."Aku cuma ingin bicara padamu. Apa salahnya?" Bujuk Ki Kusumo."Salahnya, kau terlalu memaksa Pak Tua," Ucap Angon Luwak akhirnya, keras kepala."Tapi aku ingin membicarakan satu hal penting.""Tapi mestinya kau menanyakan dulu padaku, apakah aku mau kau ajak bicara atau tidak," Sengit Angon Luwak.Si orang tua yang sampai saat itu belum diketahui jati diri sesungguhnya
"Kau yang menyebabkan Nyai terluka parah, Kambing Buduk Brengsek!" Makinya seperti suara orang hendak menangis."Sudahlah, Cah Ayu...," Ki Kusumo mencoba menengahi. Kalau tidak, pasti satu jotosan bersarang empuk kembali di wajah Angon Luwak. Bisa jadi juga berkali-kali. Mungkin sampai Angon Luwak pingsan lagi. Siapa tahu? Masih dengan dada turun-naik dibakar kegusaran, si dara tanggung meninggalkan gubuk.Pintu dikuaknya lebar-lebar, membiarkan sinar matahari lancang menerobos masuk. Mata Angon Luwak menyipit, silau diterjang sinar terang."Apa yang terjadi dengan Bibik, Pak Tua?" Tanya Angon Luwak tergesa, ketika terngiang hardikan Tresnasari terakhir."Ibu perempuan itu yang kau maksud?"Ki Kusumo meminta kejelasan seraya menyerahkan gelas bambu pada Angon Luwak. Angon Luwak menerima. Sambil menyambut sodoran gelas bambu tadi, ditunggunya jawaban orang tua yang sedang mengaduk-aduk sesuatu di dalam mangkuk tanah liat dengan tangan kanannya.
Darah hitam termuntah dari mulutnya. Kalau saja dia tak dalam keadaan sakit, tentu luka dalam yang dideritanya tak akan separah itu. Tresnasari meraung-raung memanggil-manggil ibunya. Dari tempatnya berdiri, dia berlari memburu Nyai Cemarawangi! Tiba di dekatnya, disergapnya tubuh perempuan itu sambil bersimpuh."Nyai tidak apa-apa?" Tanya gadis ayu itu tersendat-sendat dihadang isak.Air mata membasahi kedua pipi kemayunya. Ibunya tak bisa menjawab, kecuali menggelengkan kepala. Dia ingin meyakinkan anaknya kalau keadaan dirinya tak perlu dikhawatirkan.Sayang, darah kehitaman yang terus merembes keluar dari sela-sela bibir pucatnya mengatakan suatu yang lain. Beranglah Tresnasari. Cepat dicabutnya kembali sepasang belati dari ikat pinggang. Dia bangkit dengan wajah mengeras."Orang itu harus membayar perlakuannya terhadap Nyai," Geramnya."Jjj... jangan, Tresna...."Sang ibunda hendak menahan. Tresnasari sudah telanjur berlari menghambur k
Orang tua sakti misterius itukah yang telah sengaja menyalurkan tenaga dalamnya ke diri Angon Luwak hingga membuatnya sanggup bertahan terhadap terjangan kekuatan tenaga dalam yang disalurkan Dirgasura dalam bentakannya? Ah, Ki Kusumo sendiri saat itu malah sedang sibuk menggeleng-gelengkan kepala. Biar mampus disambar capung, dia terheran-heran menyaksikan si bocah sehat wal'afiat.Padahal Ki Kusumo sudah mengukur kekuatan teriakan bertenaga dalam kedua Dirgasura. Teriakan itu lebih kuat dari sebelumnya. Mestinya, keadaan Angon Luwak akan semakin parah. Bahkan bisa-bisa pula tak sadarkan diri.Semalam dia dibuat bertanya-tanya dalam hati karena si bocah yang ditaksirnya hendak dijadikan murid ternyata sanggup mengalahkan 'sirap'nya. Kini terjadi hal lain lagi. Benar-benar tak bisa dimengerti!Merasa telah dikelabui dari awal, Dirgasura jadi penasaran. "Siapa kau sebenarnya?" Tanya Dirgasura, ditujukan pada Angon Luwak.Angon Luwak tak memperhatikan. Dia
Sementara sekumpulan orang yang menjadi sasaran rambahan serbuk tadi di udara, tak pernah menyadari bahwa tangan-tangan maut siap menjemput! Mereka hanya menatap tak mengerti dengan wajah penuh tanda tanya. Sampai akhirnya beberapa orang pertama terkena tebaran serbuk. Teriakan mereka memecah keheningan suasana dan keheningan pagi muda.Kala itulah yang lain menyadari kalau serbuk tadi adalah racun ganas. Sayang, mereka sudah terlambat untuk menghindar. Tak ada beberapa tarikan napas saja, seluruh prajurit malang tadi sudah menggelepar-gelepar di lapangan rumput yang masih dilembabi embun. Kulit mereka berubah memerah laksana terpanggang. Ketika tangan mereka menggaruk-garuk liar, kulit pun mengelupas. Mereka bergelinjangan terus. Saling tindih, saling menyentak. Sampai akhirnya, racun yang terserap kulit mereka digiring aliran darah dan sampai ke jantung. Jantung mereka terbakar.Seluruh prajurit tewas! Saat itulah, entah bagaimana salah seorang dari mereka ternyata l
Wrrr....!Krakh!Ketika gulungan tubuh Tresnasari terbuka, sebelah kakinya menghentak amat keras ke tengah-tengah batang tombak. Tombak terpatah dua. Patahannya memburu deras ke arah tubuh lelaki bengis.Creph! "Ukh!"Hanya sempat memperdengarkan hentakan napas teramat pendek tercekat, si lelaki bertubuh kekar ambruk dengan leher tertembus patahan batang tombak dari samping!"Kau tak perlu berbuat itu padanya, Tresna...," Tegur Nyai Cemarawangi."Tapi dia pantas menerimanya. Apa Nyai tak lihat sifatnya tak lebih baik dari binatang?" Kilah Tresna.Si perempuan menjelang tengah baya menggeleng-gelengkan kepala lamat."Bocah perempuan keparat!!!"Sebuah suara lantang melantun kasar. Dedaunan bergemerisik. Sebagian berguguran. Tubuh Angon Luwak tersentak kejang. Pertahanan anak tak berbekal ilmu bela diri itu langsung ambrol. Dia jatuh berlutut dalam keadaan menggigil.Tresnasari pun tersentak.Cuma dia tak sep
Selamat datang di dunia fiksi kami - Goodnovel. Jika Anda menyukai novel ini untuk menjelajahi dunia, menjadi penulis novel asli online untuk menambah penghasilan, bergabung dengan kami. Anda dapat membaca atau membuat berbagai jenis buku, seperti novel roman, bacaan epik, novel manusia serigala, novel fantasi, novel sejarah dan sebagainya yang berkualitas tinggi. Jika Anda seorang penulis, maka akan memperoleh banyak inspirasi untuk membuat karya yang lebih baik. Terlebih lagi, karya Anda menjadi lebih menarik dan disukai pembaca.
Comments