Semua orang di tempat itu tersentak kaget karena sang putri yang memakai pakaian mewah itu kini berdiri di tengah arena bersama dengan Indra. Tatapan Mira dengan tajam menatap Indra yang berdiri di depannya.
“Di mana pendekar terakhirnya nona?” tanya Indra sambil tersenyum.
“Kau sudah melihatnya sendiri sekarang,” jawab Mira dengan dingin.
“Maksudnya? Ah jangan bilang kalau dia berbuat curang dengan menggunakan aji halimunan,” kata Indra sambil berjalan.
“Tidak akan ada yang melanggar peraturan di sini, aku pendekar terakhir yang akan kau lawan!” tegas Mira sambil bertolak pinggang.
“Tunggu sebentar nona, saya bingung. Jika nona pendekar terakhirnya, lalu siapa yang akan saya nikahi nanti?” tanya Indra dengan serius.
“Kau tidak akan menikahi siapapun!” bentak Mira sambil melepas pakaian mewahnya.
“Tunggu, aduh saya belum siap nona. Sekarang kita ada di depan orang banyak,” tukas Indra sambil menutup matanya dengan jari-jari tangannya yang terbuka.
Mira langsung melemparkan pakaian mahalnya ke panggung, anehnya kain yang biasa begitu ringan tertiup angin itu terlihat melesat seakan batu yang dilemparkan. Ternyata Mira sudah mengenakan pakaian khas pendekar di dalam pakaian mewahnya tersebut, semua orang yang ada di tempat itu juga tampak kaget karena tidak pernah menyangka jika pendekar terakhir yang harus dilawan para peserta sayembara adalah putri Sang Adipati sendiri.
“Jangan pernah berpikir kau bisa memenangkan sayembara ini!” tegas Mira sambil memasang kuda-kuda.
“Tunggu dulu, kita mungkin bisa bicarakan semuanya baik-baik. Aku tidak mau mencari masalah dengan gadis yang akan menjadi istriku nantinya, aku tidak mau malam-malam malah ditikam pisau dapur, ataupun dimasakin sop cicak,” kata Indra sambil bergidik, kedua tangannya memberi isyarat agar Mira tenang.
Tapi sebaliknya, Mira malah terlihat begitu kesal. Dia langsung melesat melayangkan pukulan tangan kanannya mengincar pipi Indra, tapi dengan sigap Indra langsung menangkap pukulan tangan kanan Mira. Tapi dengan lincah Mira langsung melayangkan tendangannya mengincar selangkangan Indra, tentu saja Indra langsung melepaskan pegangan tangannya dan melompat mundur ke belakang.
“Waduh jangan gitu atuh neng, bisa hancur masa depan saya,” ucap Indra sambil bergidik.
Tapi Mira tidak menanggapi ucapan Indra, dia langsung maju lagi dengan pukulan tangan kirinya. Indra kembali menahan pukulan Mira dengan telapak tangan kanannya sampai terdengar suara benturan keras, Indra terlihat meringis kesakitan dan langsung melompat ke samping. Tapi Mira tidak tinggal diam, dia segera menghantamkan tumit kaki kirinya, meskipun Indra berhasil menahan hantaman kaki Mira dengan lengannya tapi tubuhnya langsung terdorong agak jauh.
“Gadis ini, dia lebih tangguh dari dugaanku,” gumam Indra sambil mengepretkan lengan kanannya yang terasa sakit. Indra kali ini langsung serius memasang kuda-kudanya, dia sadar meskipun seorang wanita tapi Mira jelas-jelas pendekar yang terlatih.
“Menurut Kang Tara apa pemuda itu akan mampu mengalahkan Neng Mira?” tanya Sarmad.
“Aku tidak tahu, mereka berdua sama-sama memiliki kemampuan yang hebat,” jawab Tara sambil terus melihat pertarungan Mira dan Indra yang mulai jual beli serangan.
“Akang terlalu berlebihan, bagaimanapun Neng Mira adalah murid terhebat mendiang Aki Waruga. Ilmu kanuragan dan keterampilannya bahkan melebihi ayahnya sendiri,” sela Kusna yang tampak tidak setuju dengan pendapat Tara.
“Memang benar, tapi kita tidak boleh meremehkan lawan selemah apapun penampilannya. Aku yakin Neng Mira juga mengetahuinya, karena itu dia masih belum menunjukan tehnik-tehnik silat yang diajarkan Tuan Guru Aki Waruga,” kata Tara yang tetap dengan pendapatnya.
Indra terus bertarung dengan Mira, pola serangannya hampir mirip dengan yang dilakukan oleh Tara. Tapi bedanya kecepatan dan kekuatan Mira tidak menurun sedikitpun meski dia melakukan serangan terus menerus secara beruntun, suara hentakan dan benturan tangan kosong terdengar menggelegar saat beradu. Jerami yang dihamparkan di atas tanah kering pesawahan kini semuanya sudah berada di pinggir arena karena terhempaskan angin yang timbul akibat benturan tenaga dalam mereka berdua.
Indra terus melayani serangan beruntun Mira dengan gerakan silat Saptabayu, Mira langsung menghantamkan pukulan tangan kirinya yang langsung ditahan oleh telapak tangan kanan Indra. Benturan kembali terjadi sampai suaranya terdengar oleh para penonton. Indra dengan cepat langsung melayang dan menghantamkan kedua telapak kakinya mengincar bahu Mira.
Akan tetapi Mira dengan cepat mendoyongkan tubuhnya ke belakang, kedua telapak tangan Mira juga langsung menyongsong punggung Indra yang melesat di atasnya, tapi serangan Mira itu tak luput dari perhatian Indra yang langsung memutar tubuhnya di udara dan menahan kedua telapak tangan Mira menggunakan kedua telapak tangannya.
‘Bbgghh’
Terdengar suara benturan keras, tubuh Mira langsung roboh menyentuh tanah sementara tubuh Indra terlontar ke atas akibat benturan serangan mereka yang dialiri tenaga dalam. Tapi Mira langsung berbalik dan bertumpu ke tanah menggunakan kedua tangannya, kedua kakinya diangkat lurus ke atas hendak menyambut tubuh Indra yang jatuh.
‘Dddakkh’
‘Bbbggghh’
Indra hendak menahan kedua kaki Mira dengan tangannya, tapi ternyata itu hanya pengalihan saja. Saat tubuh Indra sudah hampir menyentuh kaki Mira, dengan segera Mira melebarkan kakinya dan menjepit pinggang Indra dengan kedua kakinya, lalu Mira menghantamkan tubuh Indra ke tanah sampai berguling-guling.
“Sial, gadis itu ternyata cukup cerdik juga,” gerutu Indra sambil bergerak untuk bangkit. Tapi Mira tidak menyia-nyiakan kesempatan di depannya. Dia langsung melompat dan menghujamkan kakinya mengincar punggung Indra.
‘Bbaakkhh’
Terdengar suara benturan yang kencang saat tumit kaki kiri Mira menghantam permukaan tanah pesawahan sampai berhamburan, Indra ternyata sudah berguling dan langsung bangkit hanya dengan satu hentakan. Meskipun kakinya menghantam tanah pesawahan kering yang keras namun wajah Mira tidak terlihat meringis sedikitpun.
Baru saja Mira hendak menyerang lagi, tiba-tiba saja tanah terasa bergetar hebat. Semua orang yang berada di pinggir arena terlihat mulai panik karena getaran tanah bertambah kencang. Mereka langsung berhamburan dan berteriak ada gempa bumi, beberapa pendekar yang ada di tempat itu terlihat langsung saling memandang karena mereka tahu kalau getaran tanah itu bukanlah gempa bumi melainkan efek dari luapan ilmu kanuragan tingkat tinggi yang entah berasal dari mana.
‘Ddddhhooommrrr..’
Tiba-tiba saja terdengar suara ledakan yang memekakan telinga seiring dengan guncangan tanah yang semakin hebat, panggung di sana langsung roboh. Semua orang langsung tiarap di tanah pesawahan termasuk Mira dan Indra.
‘Deg’
Entah kenapa jantung Indra mendadak berdetak kencang, hatinya semakin berdebar, pikirannya langsung terasa gelisah. Indra langsung mengalihkan pandangannya ke arah suara ledakan terdengar, tidak salah lagi suara ledakan itu berasal dari Pasir Gede tempat perguruannya berada.
“Apa itu ledakan gunung berapi?” ujar beberapa orang warga.
“Bukan, itu di sana hanya ada bukit biasa,” timpal lainnya yang tahu tentang Pasir Gede.
“Apa yang sedang terjadi? Perasaan ini, ini adalah ajian pamungkas milik kakek,” gumam Indra saat melihat asap hitam membumbung tinggi dari puncak Pasir Gede, tubuhnya langsung merinding seketika. Jantungnya berdetak semakin cepat, hatinya juga semakin berdebar tak karuan. Di tengah getaran tanah yang mulai mereda, Indra langsung melompat keluar arena dan bersiap kembali ke Pasir Gede.
“Tunggu! Pertarungan kita belum selesai!” teriak Mira.
“Aku yang menang! Simpan seribu koin emasnya, nanti akan aku ambil lagi!” balas Indra yang berteriak di kejauhan. Mira hanya tertegun mendengarnya, dia tidak tahu harus berkata apa. Baru kali ini ada orang yang meninggalkan sayembara mengaku sebagai pemenangnya.
“Siapa yang menggunakan ilmu kanuragan tingkat tinggi ini,” batin Adipati Mangkuwira.
Sementara itu, Indra berlari sekuat tenaga dari Desa Legokpare, dia benar-benar merasakan firasat yang buruk. Untuk mempercepat langkahnya Indra langsung menggunakan ajian hampang raga. Dia dengan lincah melompat dari satu atap rumah ke rumah lainnya untuk memotong jalan agar cepat sampai di Pasir Gede yang ada di Desa Panuntungan.
Bersambung…
Selamat siang sobat semuanya. Mudah-mudahan sobat semua dalam keadaan sehat selalu. Novel Pendekar Tengil di Tanah Para Jawara akhirnya tamat juga. Cerita novel ini hanyalah fiktif belaka. Karena masih banyak kekurangan dan kesalahan dalam penulisan saya mohon maaf yang sebesar-besarnya. Mungkin masih ada beberapa misteri yang belum terungkap di novel ini karena masih berhubungan dengan Novel Jawara, jadi di sana ada jawabannya. Jika di sana tidak menemukan jawabannya maka bisa request ke saya di media sosial tentang jawabannya. Saya ucapkan terima kasih banyak kepada sobat semua yang sudah mendukung saya selama ini. Semoga support yang telah sobat berikan kepada saya nanti akan mendapatkan balasan yang berkali-kali lipatnya. Mungkin untuk sementara saya tidak akan membuat novel baru di GN dulu, jika ingin tahu perkembangan karya lama atau karya baru saya selanjutnya silahkan ikuti media sosial saya di bawah. Sampai jumpa lagi. Igagram: @jajakareal Fanebuk: jalanfantasy Yoshzube:
Waktu berlalu dengan cepat. Dalam jangka waktu tiga hari tiga malam saja Indra sudah sampai di Desa Kowala. Dia juga tak lupa menyempatkan waktu untuk singgah di kediaman Badra dan Surti. Setelah menginap satu malam di sana, Indra kembali melanjutkan perjalanannya ke tepi pantai guna mencari nelayan yang bersedia membawanya ke kapal yang hendak pergi ke Kerajaan Panjalu.Tanpa perlu kesulitan Indra berhasil menumpang di kapal yang pergi menuju ke Kerajaan Panjalu. Dua hari dua malam lebih yang dibutuhkan oleh kapal untuk sampai ke Dermaga Nanggala. Dari Nanggala, Indra bergegas segera pergi ke Kadipaten Mandala untuk singgah di Desa Panungtungan sekalian berziarah ke pusara Braja Ekalawya dan Lingga.Dalam waktu kurang dari tiga hari saja Indra sudah sampai ke Desa Panungtungan, rasa gembira bisa langsung dia rasakan. Risau dan cemas yang sempat terlintas saat dia di Perguruan Jatibuana kini sudah terlupakan. Indra buru-buru pergi ke Pasir Gede untuk menziarahi pusara Braja Ekalawya,
Tak lama kemudian muri Jatibuana yang tadi pergi meninggalkan Indra sudah kembali lagi. Dia mengatakan bahwa Mahaguru Waluya bersedia bertemu dengan Indra. Saat itu juga Indra dan dua murid Pancabuana lainnya segera pergi menuju Perguruan Jatibuana. Suara ramai murid yang latihan mulai terdengar dari kejauhan, rasanya suaranya jelas lebih ramai dibandingkan saat dulu Indra datang ke Jatibuana.Setelah sampai di area perguruan, tampak ada puluhan pendekar sedang berlatih gerakan silat di halaman perguruan. Saat melihatnya Indra tersentak kaget sebab tidak hanya ada satu atau dua orang saja pendekar yang pernah dia lihat sebelumnya, kebanyakan pendekar lainnya sama sekali belum pernah Indra lihat. Saat Indra datang tampak semua pendekar mengalihkan pandangannya kepada Indra. Sementara itu di pendopo perguruan terlihat Mahaguru Waluya sedang duduk bersila bersama dengan Darga.“Silahkan temui Mahaguru di sana,” tukas dua pendekar yang mengantar Indra, mereka berdua segera pergi lagi ke d
“Itu mustahil. Aku belum pernah ke Paguron Jatibuana. Aku hanya bisa sampai ke kaki Gunung Jatibuana saja,” potong Laila.“Itu sudah bagus. Lagipula Indra kelihatannya tidak akan keberatan jika diantar sampai ke sana,” kata Purnakala.“Eh? Sebenarnya apa yang kalian maksud sejak tadi?” tanya Indra yang masih kebingungan dengan percakapan dua anggota Balapoetra Galuh tersebut.‘Set’‘Tap’Tiba-tiba saja secepat kilat Laila melayangkan tangan kanannya mengincar leher Indra, namun kemampuan Indra sudah meningkat pesat jika dibandingkan beberapa tahun yang lalu. Dia dengan mudah menangkap tangan Laila menggunakan tangan kirinya.“Ada apa ini?” tanya Indra dengan waspada.“Cih, gesit juga,” gerutu Laila.‘Beukh’“Heukh..” pekik Indra. Tanpa dia sadari Purnakala sudah menotok lehernya dari belakang, sontak saja tubuh Indra menjadi lemas, pandangannya juga samar-samar mulai kabur.“Maafkan aku Indra, ini adalah bagian dari perjanjianku,” terdengar suara Purnakala pelan.“Kenapa?” batin Indra
Malam itu semua murid Perguruan Pancabuana tampak senang karena sudah lama sekali mereka tidak mengadakan jamuan seperti itu. Indra sendiri merasa lega karena malam ini kemungkinan adalah malam terakhir dia menginap di Pancabuana. Setelah selesai makan, Indra juga tidak langsung tidur dan memilih untuk mengobrol bersama dengan Dewa dan murid Pancabuana lainnya.Esok paginya. Setelah selesai sarapan Indra langsung pergi ke kediaman Mahaguru Adiyaksa guna berpamitan. Kali ini di sana juga sudah ada Purnakala dan Jaka yang seakan sudah menunggu kedatangan Indra. Saat itulah Mahaguru Adiyaksa memberikan wejangan untuk terakhir kalinya kepada Indra, dia juga meminta Indra untuk mengamalkan ilmu yang dia dapat di Pancabuana dalam jalan yang benar.“Aku juga tidak keberatan jika kau mengajarkan ajian gelap ngampar yang kau kuasai itu kepada muridmu kelak, tapi kau harus berhati-hati agar kau tidak salah dalam memilih murid yang ingin kau ajari ajian terlarang itu. Sebab kau akan bertanggung
“Saya juga sudah berniat untuk mengambil jalan pintas saja Mahaguru, soalnya kalau berputar seperti jalan awal saya ke sini mana mungkin cukup satu atau dua bulanan. Kalau begitu saya akan menunggu sampai Purnakala pulang saja,” ucap Indra sembari tersenyum.Indra kemudian pamit dari kediaman Mahaguru Adiyaksa. Dia memutuskan untuk menunggu sampai satu minggu lagi, lagipula sebisa mungkin dia juga ingin pamit dulu kepada Purnakala. Tapi jika Purnakala tidak kunjung pulang maka mau tidak mau dia akan langsung pamit saja tanpa menunggu Purnakala dulu.“Padahal aku juga berharap bisa bertemu dengan kang Raka Adiyaksa, tapi tampaknya aku tidak akan bertemu dengannya di sini,” batin Indra. Selama hampir dua tahunan ini dia berguru di Pancabuana, dia belum pernah juga bertemu dengan Raka Adiyaksa.***Hari kembali berlalu sejak Indra berniat meminta izin meninggalkan Pancabuana dari Mahaguru Adiyaksa, lima hari sudah Indra kembali menjalani aktifitasnya di Perguruan Pancabuana. Hari keenamn